HUKUM MENGUSAP
KEPALA DALAM BERWUD{U
oleh:
DR. H. ACHMAD ZUHDI DH, M.FIL. I |
Dalam
hal wud}u, ‘ulama> sepakat bahwa membasuh muka, membasuh kedua tangan,
mengusap kepala dan membasuh kedua kaki adalah fard}u hukumnya.
Dalam hal mengusap kepala, mereka
berbeda pendapat apakah diusap seluruhnya atau sebagian saja.
Kadar Mengusap Kepala
Saat Melakukan Wud}u
-
‘Ulama> Ma>liki>ah berpendapat bahwa
yang difard}ukan ialah mengusap seluruh
kepala
-
‘Ulama> Sha>fi’i>ah berpendapat bahwa
yang difard}ukan ialah mengusap sebagian
kepala saja, walau sehelai rambut atau beberapa helai rambut.
-
‘Ulama> H{anafiah ada dua pendapat; menurut
suatu riwayat yang dipegang oleh ulama Mutaakhirin
berpendapat bahwa yang difard}ukan ialah
seperempat kepala, sedangkan menurut ‘ulama> Mutaqaddimi>n
berpendapat bahwa yang difard}ukan ialah sebatas tiga jari.
-
‘Ulama> H{ana>bilah juga ada dua pendapat.
Yang pertama, dan inilah yang
dipandang terkuat, yaitu sama dengan
‘Ulama Maliki>ah, yakni bahwa yang difard}ukan adalah mengusap seluruh
kepala; sedangkan yang kedua berpendapat bahwa yang difard}ukan
hanyalah sekedar ubun-ubun saja.[1]
Alasan Mengusap kepala secara keseluruhan
‘Ulama>
Ma>liki>ah mengambil dalil dengan firman Allah :
وَامْسَحُوْا
بِرُؤُوْسِكُمْ
“Dan usaplah
kepalamu”[2]
Menurut ulama Malikiah, bahwa ba’
pada “"برؤوسكم itu ada kalanya zaidah
(tambahan) atau untuk ilshaq (melekat). Tidak ada pengertian yang ketiga lagi yang mungkin diartikannya. Berdasarkan kedua kemungkinan itu, maka susunan kalimat
tersebut memberi pengertian mengusap seluruh kepala saat wudu. [3]
Keterangan yang menyebutkan
bahwa ba’ mempunyai pengertian ketiga, maka yang paling dekat dan dapat digambarkan sesudah zaidah
(tambahan) dan ilshaq (melekat) ialah tab’idl (menunjukkan
sebagian).
Yang
pasti menurut ahli bahasa ialah bahwa tab’idl tidak termasuk di
antara makna ba’. Di antara ulama ahli bahasa adalah Ibnu Burhan yang
mengatakan: “Barang siapa berpendapat bahwa ba’ menunjukkan arti tab’idl,
maka ia mengantarkan ahli bahasa pada perkara yang tidak dikenal oleh mereka”.
Asy-Syaukani mengatakan bahwa Imam Syibawaih memungkiri adanya ba’ yang menunjukkan arti tab’idl
pada lima belas tempat dalam kitabnya.
Pengertian
umum yang menerangkan masalah ba’ berarti ilshaq ialah bahwa kepala pada hakikatnya
dimaksudkan untuk “seluruh”. Sedangkan pengertian yang mengarah pada “sebagian”
adalah majaz, yang tidak boleh diartikan demikian kalau tidak
ada petunjuk untuk itu. Oleh karena
di sini tidak ada petunjuk yang mengarah pada arti “sebagian”, maka haruslah
diusap seluruh kepala.
Secara keseluruhan bahwa pengertian zaidah
juga tetap ada pada pengertian ilshaq. Dengan demikian ayat itu adalah mujmal,
yang mana untuk memahami apa yang telah dimaksud memerlukan penjelasan dari
Rasulullah Saw.
Ulama Malikiah berpendapat bahwa tidak ada
hadits yang shahih yang
menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mencukupkan mengusap sebagian kepala.
Dengan demikian tetaplah bahwa yang
dimaksud dari ayat itu ialah mengusap seluruh kepala. [4]
Hadits yang menerangkan mengusap seluruh
kepala
عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِم فِى صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ: وَمَسَحَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ
(متفق عليه)
Artinya:
“Dari
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, tentang sifat wudu : ia berkata :….dan Rasulullah
Saw.. mengusap kepalanya, yaitu ia jalankan dua tangannya ke belakang dan ia
kembalikannya. (Muttafaq ‘alaih). [5]
وَفِىْ
لَفْظٍ لَهُمَا: بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ
ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِىْ بَدَأَ مِنْهُ
Artinya :
“Dan di satu lafadz (lain) dari riwayat keduanya
(Bukhari dan Muslim), ia mulai
(mengusap) dari depan kepalanya hingga ia jalankan dua tangannya sampai
tengkuknya, kemudian ia kembalikan (kedua) nya ke tempat yang ia mulai daripadanya” .[6]
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عَمْرِو فِى صِفَةِ الْوُضُوْءِ قَالَ: ثُمَّ مَسَحَ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِرَأْسِهِ وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَبَاحَتَيْنِ فِيْ أُذُنَيْهِ
وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ (أخرجه
أبو داود والنسائي وصححه ابن خزيمة)
Artinya:
Dan dari Abdillah bin ‘Amr tentang sifat wudunya
(Rasulullah Saw.), ia berkata: “Kemudian ia (Rasulullah Saw.) mengusap
kepalanya, kemudian memasukkan kedua jari telunjuknya ke dalam telinganya dan
mengusap bagian luar telinganya dengan kedua ibu jarinya” (HR. Abu Dawud dan
al-Nasa-i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).[7]
Berdasarkan hadits-hadits tersebut
dapat diambil pengertian bahwa cara Rasulullah Saw. mengusap kepala ialah
dengan meletakkan kedua telapak tangannya yang
basah di depan kepala dekat dahi, lalu memundurkan (menarik ke
belakang) keduanya sampai ke tengkuk
lantas menarik keduanya kembali ke tempat permulaan, kemudian menurunkan kedua
tangan itu pada dua telinga, dan mengusap bagian dalam dua telinga itu dengan dua jari telunjuknya
serta mengusap sebelah luarnya dengan kedua ibu jari.
Alasan Mengusap sebagian kepala
Ulama Syafi’iah juga sama mengambil
dalil ayat “Wamsahuu biru-uusikum”
. (QS. Al-Maidah, 6), sedangkan penjelasannya adalah bahwa “ ba’
” pada lafadz tersebut dalam arti ilshaq,
yaitu makna yang hampir tidak pernah
ada. Maka ayat itu adalah mutlaq, yang mengandung arti melekatkan usapan ke
kepala, dan ini dapat berarti dengan
mengusap sebagian atau seluruh kepala.[8]
Ulama
Syafi’iah berpendapat : Kalau kita menerima bahwa ba’ itu zaidah, tentu ayat itu menjadi mujmal,
dan untuk memahami apa yang telah
dimaksudkan maka perlu penjelasan dari Nabi Saw., sedangkan penjelasan mengenai itu sudah ada
yaitu yang terdapat pada Hadits
al-Mughirah bin Syu’bah bahwa Nabi pernah mengusap sebagian kepala, sebagaimana
keterangan hadits shahih riwayat Muslim berikut ini:
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَة أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari al-Mughirah bin Syu’bah, bahwasanya Rasulullah
SAW., telah berwudu dengan mengusap
ubun-ubun dan dari atas surban dan dua sarung kaki. (HR.Muslim)[9]
Pada riwayat lain Nabi Saw..
mengusap ubun-ubunnya dan surban. Demikian juga pada riwayat Abu Daud dari Anas
ra. ia berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW. berwudu sedang di atas kepalanya
surban Qathariyah, maka beliau memasukkan tangannya di bawah surban lalu mengusap
bagian muka dari kepalanya. Begitu pula hadits riwayat al-Baihaqi dari Atha’
bahwa Rasulullah SAW. berwudu lalu menggeser surbannya, dan mengusap bagian
muka dari kepalanya. Atau ia berkata : Ubun-ubunnya.
[10]
Hadits-hadits tersebut dengan tegas
menerangkan tentang bolehnya mengusap
sebagian kepala. Berdasarkan ini, pastilah ba’ itu untuk ilshaq
dan tidak mungkin zaidah, demikian pandangan ulama al-Syafi’iah.[11]
Ulama Hanafiah mengambil dalil dengan
ayat itu juga, yakni “Wamsahuu biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6) dan
mereka berpendapat bahwa dijadikan ba’
itu zaidah adalah bukan asal dan oleh karena itu pastilah ia untuk ilshaq.
Yang dimintakan ialah melekatkan tangan
dengan kepala, karena firman Allah “Wamsahuu” membutuhkan maf’ul
(obyek), yaitu alat mengusap yakni tangan. Maka ayat itu lengkapnya menurut
pengertian ialah: “Wamsahuu aidiyakum mulshaqatan biru-usikum” (Usaplah
tanganmu menyentuh kepalamu). [12]
Kaidah
mengatakan bahwa bila ba’
masuk kepada yang diusap, maka
yang dikehendaki adalah mencakup alat sebagaimana apabila ia masuk kepada alat
menghendaki pula mencakup yang diusap.
Misalnya, jika ada orang mengatakan bahwa dirinya mengusap kepala anak yatim
dengan tangannya, maka orang lain akan memahami bahwa yang diusap adalah
seluruh kepala. Dan jika ada orang mengatakan bahwa dirinya mengusapkan
tangannya pada kepala anak yatim, maka orang lain akan memahami bahwa ia
mengusap kepala anak yatim dengan seluruh tangannya. Ayat tersebut termasuk dalam
kategori pengertian yang kedua, yaitu mengusap dengan seluruh tangannya[13]
Mereka
berkata : “Seluruh tapak tangan yang menyentuh kepala biasanya tidak
dapat mencakup kepala kecuali seperempatnya.
Dengan demikian, maka itulah yang
dimaksud dari ayat tersebut”.
Mereka
juga dapat menerima bahwa ba’ itu zaidah. Mereka berpendapat bahwa ayat tersebut adalah mujmal,
karena ada kemungkinan berarti zaidah dan juga kemungkinan berarti ilshaq; sedang
hadits-hadits yang datang dalam masalah ini menerangkan bahwa yang diminta ialah ilshaq, yaitu ilshaq
tertentu sekedar ubun-ubun atau lebih. Hal ini karena Rasulullah Saw. tidak
membiasakan mengusapkan seluruhnya atau sebagaimana tidak pernah mengusap
kurang dari ubun-ubun atau bagian muka dari kepala. Ubun-ubun dan bagian muka
dari kepala adalah sama dengan seperempat. Maka tentulah yang difardlukan itu adalah seperempat
(kepalanya). [14]
Dari
pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya perbedaan
pendapat di kalangan ulama mengenai wajibnya batas mengusap kepala saat berwudu
adalah disebabkan adanya perbedaan dalam memahami ba’ pada ayat “Wamsahuu
biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6). Sebagian ulama cenderung memahami dalam
arti zaidah, yang mengandung arti mujmal sehingga yang dimaksud
oleh ayat itu adalah mengusap seluruh kepala. Kecuali jika ada dalil khusus
yang menunjukkan pengecualiannya, misalnya Nabi Saw. pernah mengusap sebagian
kepala. Dalam hal ini ulama Malikiah memandang
bahwa tidak ada hadits yang shahih yang menjelaskan tentang
mengusap hanya sebagian kepala. Pendapat ini diperkuat oleh sebagian ulama
Hanabilah.
Pendapat
yang lain, terutama dari kalangan ulama Syafi’iah berpendapat bahwa ba’
pada ayat “Wamsahuu biru-uusikum” . (QS. Al-Maidah, 6) dapat berarti mutlaq,
hal ini bisa berarti seluruh kepala dan juga bisa berarti sebagian kepala (li
al-tab’idl). Lebih lanjut ulama
Syafi’iah menjelaskan bahwa bila kita menerima ba’ itu zaidah
maka berarti menjadi mujmal, dan untuk memahami maksudnya diperlukan
keterangan dari Nabi Saw.. Menurut ulama Syafi’iah, dalil yang menerangkan
tentang mengusap sebagian kepala saat wudu
itu memang ada, yaitu hadits riwayat Muslim[15]
dari al-Mughirah bin Syu’bah yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah mengusap
ubun-ubunnya dan surbannya saat berwudu. Pendapat ini hampir sama dengan
pendapat ulama Hanafiah, hanya saja ulama Hanafiah menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan sebagian kepala adalah seperempatnya saja.
Perbedaan antara kedua golongan yang
mengatakan bahwa yang wajib dalam hal
batas mengusap kepala saat wudu itu adalah seluruh kepala atau hanya
sebagian kepala, kedua-duanya memiliki dalil yang dapat dijadikan hujjah.
Bagi ulama yang cenderung memahami makna ba’ pada ayat tersebut adalah zaidah,
maka wajib mengusap kepala seluruhnya, sedangkan ulama yang memahami makna ba’
itu li al-tab’idl, maka yang wajib diusap hanya sebagian kepalanya[16].
Dari bahasan perbedaan ulama mengenai
batas mengusap kepala yang diwajibkan saat berwudu, dapat disimpulkan bahwa
ulama Hanabilah dan Malikiah sepakat
bahwa yang diwajibkan dalam berwudu adalah mengusap
seluruh kepala. Adapun ulama Hanafiah
dan Syafi’iah memandang bahwa yang diwajibkan hanya mengusap sebagian kepala saja, sedangkan untuk
mengusap seluruh kepala hanya disunnahkan saja. Lebih lanjut ulama Syafi’iah
menjelaskan bahwa yang wajib itu hanya mengusap sebagian kepala saja, walaupun
mudah melakukannya. Adapun ulama Hanafiah cenderung pada pendapat bahwa yang
wajib itu seperempat kepala saja, yakni diperhitungkan dengan lebarnya telapak
tangan yang memungkinkan menyentuh kepala saat wudu.[17]
Apa pun pendapat mereka, yang jelas
masing-masing kelompok (ulama) sudah memiliki dalil-dalil yang diyakininya kuat
dan shahih. Tentang kita harus pilih yang mana di antara
pendapat-pendapat itu, tentu kita harus memperhatikan dulu dalil-dalil yang
digunakannya. Jika kita lebih cenderung pada pendapat tertentu (dengan
pertimbangan dalil-dalilnya yang lebih kuat) setelah melakukan kajian terhadap
masing-masing dalil yang digunakan, maka pendapat itulah yang harus kita
pegangi. Namun demikian kita harus tetap
menghormati pendapat orang lain yang tidak sejalan dengan kita. Dengan
demikian, insya Allah persaudaran di antara kita sesama muslim akan tetap
terpelihara dengan baik dan harmonis.
Wallahu a’lam bi al-Shawab!
[1]Ibn Rushd, Bida>yat
al-Mujtahid wa Niha>yat al-Muqtas}id, Vol.I (Tt: Da>r al-Ih}ya>
al-‘Arabi>yah, tt), 8. Baca juga Mah}mu>d Shaltu>t dan Ali As-Sayis, Fiqh Tujuh Madzhab,
terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung : CV.Pustaka Setia, 2000),35.
[2] QS. Al-Maidah, 6
[3]
Syaltout, Fiqh Tujuh,, 36.
[4]
Ibid., 37.
[5]
Muhammad Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, Vol, I
(tt: Dar al-Fikr, tt), 44.
[6]
Ibid. Baca juga Muhammad al-Shalih al-‘Utsaimin, Tanbih al-Abham Bisyarh
Umdat al-Ahkam, Vol.I (Saudi Arabia: tp, 1403 H), 26-27.
[7]
Al-Shan’ani, Subul al-Salam, 45.
[8]Syalthut,
Fiqh Tujuh, 37.
[9]
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1983), 39.
Baca juga Al-Shan’ani, Subul al-Salam, 50.
[10]
Syalthut, Fiqh Tujuh, 37.
[11]
Ibid.
[12]Ibid.,
38.
[13]
Ibid.
[14]
Ibid.
[15]
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim,
Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), 141.
[16]
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, 9.
[17]
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Tt:
Dar al-Fikr, 1986), 63.
mohon izin copy hadistnya pak, jazakallah
BalasHapusBagus Sekali silahkan memilih pendapat yang anda lebih yakini tanpa harus menyalahkan yang lain
BalasHapus