MERENGGANGKAN
SHAF SHALAT, BOLEHKAH ?
Oleh:
Dr.H. Achmad Zuhdi
Dh, M.Fil I
Nabi saw.
bersabda:
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
وَتَرَاصُّوا، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
“Luruskan
shaf kalian dan hendaknya kalian saling menempel, karena aku melihat kalian
dari balik punggungku”(HR. Al-Bukhari No.719 dari Anas Bin Malik).
Status Hadis
Hadis
tersebut dinilai sahih oleh Imam al-Bukhari dalam al-Jami al-Sahih,
I/184 hadis No. 719. Selain Imam al-Bukhari, beberapa ulama hadis yang
meriwayatkan hadis tersebut adalah Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal, XIX/69 hadis No.
12011, Imam al-Nasai dalam Sunan al-Nasai, II/92 hadis No.814, Imam Ibn
Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah, I/309 hadis No. 3536, Imam
al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubra, II/21 hadis No. 2381, Imam al-Syafii
dalam al-Sunan al-Ma’tsurah, I/72 hadis No. 65, Imam al-Thahawi dalam Syarh
Musykil al-Atsar, XIV/286 hadis No.5632, dan Imam Abu Ya’la dalam Musnad
Abi Ya’la, VI/460 hadis No. 3858.
Kandungan Hadis
Hadis
tersebut menunjukkan perintah untuk meluruskan shaf dalam shalat berjamaah dan perintah
merapatkannya. Hadis tersebut juga menerangkan bahwa Nabi saw., dengan mukjizat
dari Allah swt., bisa melihat orang di belakangnya tanpa membalikkan badan. Tentang
kalimat wataraashshu(وَتَرَاصُّوا), Ibn Rajab menjelasan
bahwa kalimat tersebut mengandung perintah untuk saling bergabung, berdekatan,
dan menempel(Ibn Rajab, al-Fath al-Bari, IV/252). Sedangkan Al-Qasthalani
menjelaskan bahwa makna wataraashshu adalah perintah untuk bergabung dan
menempelkan satu sama lain sehingga berhubungan satu sama lain (al-Qasthalani, Irsyad
al-Sari Lisyarh Shahih al-Bukhari, II/65).
Mengenai
pemahaman sahabat terhadap hadis tersebut dan bagaimana cara mengaplikasikannya
pada shalat berjamaah dapat ditemukan dalam beberapa hadis, di antaranya hadis
riwayat Anas Bin Malik dan hadis riwayat Nu’man Bin Basyir. Anas
Bin Malik menceritakan: “Seorang dari kami (para sahabat),
merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Al-Bukhari No.725). al-Nu’man Bin Basyir juga mengatakan:
“Maka saya melihat seseorang melekatkan (merapatkan)
pundaknya dengan pundak temannya (orang di sampingnya), demikian pula antara
lututnya dengan lutut temannya, dan antara mata kakinya dan mata kaki temannya.
(H.R. Abu Dawud No.662). al-Albani mensahihkan hadis ini (al-Albani, al-Silsilah
al-Sahihah, I/71).
Hukum Meluruskan Shaf dan Merapatkannya
Jumhur ulama
berpendapat bahwa meluruskan shaf dan merapatkannya hukumnya sunnah, tidak
wajib. Hanya Ibn Hazm dari kalangan madzhab al-Dhahiriyah yang mewajibkannya(al-Suyuti,
al-Hawi Li al-Fatawa, I/54). Menurut Ibn Hazm, karena menegakkan shalat
itu wajib maka segala sesuatu yang terkait dengan penegakan shalat termasuk wajib,
dengan demikian meluruskan shaf dan merapatkannya itu juga wajib (Ibn Hazm, al-Muhalla,
IV/55). Sebagian ulama Hanabilah juga cenderung mewajibkan berdasarkan riwayat
Abu Mas’ud bahwasanya dahulu Rasulullah saw. memegang pundak-pundak
kami sebelum shalat, dan beliau bersabda: “luruskanlah (shaf) dan jangan
bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula”
(HR. Muslim No. 1000).
Menurut Syekh al-Utsaimin, berdasarkan
hadis tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwasanya meluruskan shaf hukumnya
wajib. Mereka berdalil dengan perintah Nabi saw. dalam hadits tersebut, dan ancaman beliau terhadap
orang yang menyelisihi perintahnya. Maka perkara yang diperintahkan dan diancam
pelakunya ketika meninggalkannya ini tidaklah mungkin dihukumi dengan hukum
sunnah saja. Oleh karena itu maka pendapat yang rajih(kuat) dalam
masalah ini adalah bahwa meluruskan shaf itu hukumnya wajib. Dan jama’ah
yang tidak meluruskan shaf, mereka berdosa. Ini adalah pendapat yang dikuatkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” (al-Utsaimin, Syarhul Mumthi’, III/10).
Pendapat
tersebut berbeda dengan pendapat jumhur ulama seperti Madzhab Hanafi, Maliki,
dan Syafii yang berpendapat bahwa meluruskan shaf (termasuk merapatkannya)
itu hukumnya sunnah. Perintah dalam hadis tersebut, yakni meluruskan dan
merapatkan shaf, serta tidak merenggangkan, menurut jumhur ulama menunjukkan
sunnah (al-Mubarakfuri, Misykat al-Mahsabih Ma’a Syarhihi Mir’at al-Mafatih,
III/252). Ibn Abdillah al-Hamd mengatakan bahwa meluruskan shaf itu sunnah
termasuk meluruskan dan merapatkannya dengan menempelkan pundaknya ke pundak
temannya dan tumitnya ke tumit temannya (al-Hamd, Syarh Zad al-Mustaqni’,
V/6). Intinya, jumhur ulama berpendapat bahwa meluruskan shaf dan merapatkannya
itu tidaklah wajib, tetapi sunnah, untuk keutamaan dan kesempurnaan shalat
berjamaah.
Hukum Merenggangkan Shaf di saat Darurat
Dalam keadaan normal, hukum meluruskan shaf
dan merapatkannya menurut jumhur ulama adalah sunnah, tidak sampai wajib.
Dengan demikian, apabila jamaah shalat tidak sempat meluruskan shaf dan tidak merapatkannya,
maka hal ini tidak sampai membatalkan shalatnya, tetapi kehilangan keutamaan
dan kesempurnaannya.
Ulama
kalangan mazhab Syafii berpendapat bahwa kalau imam dan makmum berkumpul dalam
satu masjid, maka status kemakmumannya dinyatakan sah meskipun jaraknya lebih
dari 300 hasta (al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Madzahib al-Arba’ah, I/660). Imam
al-Nawawi berkata bahwa sahnya makmum dalam shalat berjamaah itu adalah asal
makmum bisa mengetahui gerakan-gerakan imam, sama saja apakah antara imam dan
makmum itu dalam sebuah masjid atau di tempat yang lainnya (al-Nawawi, al-Majmu’,
IV/309).
Ibn
Hajar al-Haytami mengatakan: “Disunnahkan merapikan shaf (barisan). Perintah
itu berlaku untuk setiap orang, mulai dari imam sendiri, atau yang diseru
(makmum) untuk benar-benar mematuhinya, dengan ancaman bagi yang mengabaikannya.
Maksudnya adalah menyempurnakan shaf yang pertama dan seterusnya, kemudian menutup
celah, dan meluruskan dada dengan orang yang di sebelahnya. Jika hal itu
dilanggar, maka hukumnya makruh, tidak disukai”(Ibn Hajar al-Haytami,
al-Minhaj al-Qawim, I/345).
Dalam
keadaan normal, pengaturan shaf yang tidak sempurna hanya dihukumi makruh,
bagaimana jika situasinya dalam keadaan gawat darurat, seperti saat terjadi
wabah yang menuntut setiap orang untuk mengambil jarak (social distancing)
antara satu dengan yang lainnya? Apakah merenggangkan shaf dapat membatalkan
shalat jamaahnya?
Meluruskan
dan merapatkan shaf memang disunnahkan dalam shalat berjamaah. Tetapi,
bagaimana jika dengan merapatkan shaf lalu menimbulkan bahaya, yakni terjadinya
penularan virus dari satu orang kepada orang lain yang berjarak dekat
dengannya? Apakah meluruskan dan merapatakan shaf masih harus diterapkan?
Mempertimbangkan
kaidah-kaidah fiqhiyyah, (لاضررولاضرار), tidak boleh membahayakan diri dan
membahayakan orang lain(HR. Ibn Majah No.2340); (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح), menolak kerusakan harus diprioritaskan
daripada mencari kemaslahatan(al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith Fi Ushul
al-Fiqh, IV/199); (المشقة تجلب التيسير), kesulitan bisa membuka adanya kemudahana(Ibn
Badran, al-Madkhal, I/298); (الضرر يزال), bahaya harus dihilangkan; (الضرر يدفع بقدر الامكان), bahaya harus dicegah dalam batas-batas
yang memungkinkan (al-Barakati, Qawaid al-Fiqh, I/19); (الضرورات تبيح المحظورات), darurat itu bisa membolehkan yang
dilarang” (Abd al-Mukmin al-Hanbali, Taysir al-Wushul Ila Qawaid al-Ushul,
I/58), maka
meluruskan shaf dan merapatkannya bila dikhawatitkan bisa menjadi penyebab
timbulnya bahaya; yakni terjadinya penularan virus wabah yang mematikan, maka boleh
diabaikan, tidak perlu dipaksakan.
Sesuai dengan prinsip al-maqashid al-syariah (tujuan diturunkannya
syariat), di mana tujuan syariat Islam adalah mememlihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta benda, maka dalam kondisi jiwa yang berpotensi tertular virus
wabah seperti saat ini, agama membenarkan upaya tindakan atau prilaku yang
dapat menyelamatkan jiwa seseorang. Dengan demikian, menyelenggarakan shalat
berjamaah dengan cara merenggangkan shaf agar terhinfar dari wabah berbahaya
dari jamaah lainnya adalah dibolehkan. Wallahu
A’lam !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar