SUJUD
TILAWAH
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ،
اِعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُوْلُ: يَاوَيْلَهُ، أُمِرَ بِالسُّجُوْدِ فَسَجَدَ
فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُوْدِ فَعَصَيْتُ فَلِيَ النَّارُ.
“Jika anak Adam membaca ayat sajdah kemudian bersujud, maka setan
menjauh darinya sambil menangis dan berkata, “Alangkah celakanya”. Dia
diperintah sujud kemudian bersujud, lalu ia mendapat Surga. Sedangkan aku
diperintah sujud namun membangkang, sehingga aku mendapat Neraka”
(HR. Muslim)
Status
Hadis:
Hadis
tersebut statusnya sahih dan terhimpun
dalam kitab Sahih Muslim No. 254. Selain diriwayatkan Muslim, hadis
tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam al-Sunan No. 1052, Imam
Ahmad dalam al-Musnad No. 9713, Ibn Hibban dalam al-Sahih No.
2759, Ibn Khuzaimah dalam al-Sahih No. 549, al-Bayhaqi dalam al-Sunan
No. 3853,
dan lain-lain). Menurut al-Albani, hadis tersebut sahih (M. Nashiruddin al-Abani, Sahih
al-Targhib Wa al-Tarhib, II/81).
Pembahasan:
Salah satu amalan penting yang kini
kurang diperhatikan oleh banyak orang adalah sujud tilawah, yaitu sujud yang dilakukan ketika seseorang membaca ayat-ayat
sajdah dengan cara sujud satu kali
seperti sujud dalam salat (Muhammad Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, I/241).
Beberapa masjid di sekitar kita agaknya sudah jarang ditemukan imam yang
melaksanakan sujud tilawah saat menjumpai
ayat sajdah, padahal sujud tilawah
telah disyariatkan oleh Allah dan RasulNya sebagai ibadah dan bentuk taqarrub,
tunduk, serta mengagungkan Allah dan merendahkan diri di hadapan-Nya (Ibn
Muflih, Manasik Min al-Furu’, I/94). Karena itu, seyogjanya kita bisa menghidupkan
kembali kebiasaan (sunnah) sujud tilawah
ini.
Para ulama telah sepakat bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Ibnu ‘Umar
meriwayatkan bahwa Nabi Saw. pernah membaca Alquran yang di dalamnya
terdapat ayat sajdah. Ketika itu
beliau bersujud, dan kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara
kami ada yang tidak mendapati tempat karena posisi dahinya”(HR. Bukhari No.
1076 dan Muslim No. 1323). Hadis ini semakin mempertegas tentang
disyariatkannya sujud tilawah.
Ada perbedaan pendapat mengenai hukum sujud tilawah. Sebagian ulama mengatakan
wajib, dan sebagian yang lain mengatakan sunnah. Imam Hanafi termasuk yang
berpendapat sujud tilawah itu
hukumnya wajib, tetapi mayoritas ulama seperti Malik, al-Syafii, al-Awza’i dan
lain-lain berpendapat bahwa sujud tilawah
itu hukumnya sunnah (Ibn Abd al-Barr, al-Istidzkar, II/508). Ulama yang mengatakan bahwa sujud tilawah itu wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Alquran dibacakan
kepada mereka, mereka tidak bersujud” (QS. Al-Insyiqaq: 20-21). Para
ulama yang mewajibkan sujud tilawah
beralasan, dalam ayat ini terdapat perintah, dan hukum asal perintah
adalah wajib. Dalam ayat tersebut juga terdapat celaan bagi
orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah diberikan kecuali kepada
orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib. Berdasarkan alasan tersebut, ulama
ini, terutama Imam Hanafi dan penganutnya berpendapat bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib.
Adapun mayoritas ulama seperti Malik,
al-Syafii, al-Awza’i dan lain-lain yang berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah, mereka ini berdasarkan pada beberapa
hadis sahih, di antaranya hadis dari
Zaid bin Tsabit, dia berkata: “Qara’tu ‘ala al-Nabi (wa al-Najm) falam yasjud
fiha”, (Aku pernah membacakan pada Nabi (Alquran Surat Al-Najm), namun
(tatkala bertemu pada ayat sajdah
dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud” (HR. al-Bukhari No.1073); dan juga
hadis yang menerangkan bahwa Umar bin Khatthab pernah membaca ayat sajdah dalam surah Al-Nahl, namun beliau
tidak melakukan sujud tilawah,
Beliau berkata: “Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat sajdah, barangsiapa bersujud, maka dia
mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak bersujud, maka dia tidak
mengapa/tidak berdosa” (HR. al-Bukhari No. 1077). Dua hadis tersebut sudah cukup
menjadi dasar bahwa melakukan sujud tilawah hukumnya sunnah.
Jumlah
Ayat Sajdah Dalam Alquran
Ulama berbeda pendapat tentang jumlah ayat sajdah dalam Alquran, sebagian
berpendapat ada sebelas ayat, ada yang berpendapat dua belas ayat, ada yang
berpendapat empat belas ayat, dan ada yang berpendapat lima belas ayat sajdah. ‘Amr bin al-Ash meriwayatkan bahwasanya
Nabi Saw pernah membacakan lima belas ayat sajdah
dalam Alquran, di antaranya sebanyak tiga ayat dalam surat al-Mufassal,
dan dua ayat dalam surat al-Sajdah
(HR. Abu Dawud No. 1403; Ibn Majah No. 1057; al-Hakim No. 811; al-Daruqutni No.
8; dan al-Bayhaqi No. 3884). Hadis ini kesahihannya diperselisihkan ulama. Menurut
Imam al-Nawawi, hadis riwayat Abu Dawud yang menerangkan bahwa jumlah ayat sajdah itu ada lima belas statusnya hasan (al-Nawawi, al-Majmu’,
IV/60).
Lima belas
ayat sajdah tersebut adalah surah
Al-A’raf [7]: 206, surah Al-Ra’d [13]: 15, surah Al-Nahl [16]: 49, surah
Al-Isra [17]: 107, surah Maryam (19): 58, surah Al-Hajj (22): 18 dan 77, surah
Al-Furqan [25]: 60, surah Al-Naml [27]: 25, surah Al-Sajdah [32]: 15, surah
Shaad [38]: 24, surah Fushilat [41]: 37, surah Al-Najm [53]: 62, surah Al-Insyiqaq
[84]: 21 dan surah Al-‘Alaq (96): 19.
Tata Cara Sujud tilawah
Para
ulama sepakat bahwa sujud tilawah itu
dilakukan dengan satu kali sujud. Cara bersujudnya sama dengan sujud dalam salat
biasa. Sujud tilawah harus dilakukan
setelah sampai pada bacaan akhir ayat sajdah
(al-Qastalani, Irsyad al-Sari Syarh Sahih al-Bukhari, II/281). Sebelum
sujud, setelah membaca atau mendengar ayat sajdah,
terlebih dahulu bertakbir ketika hendak sujud dan bertakbir lagi saat akan bangkit
dari sujud. Sebagian ulama berpendapat, jika sujud tilawah dilakukan di luar salat lebih utama dimulai dari
keadaan berdiri. Inilah pendapat yang dipilih Hanabilah, salah satu pendapat
ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Ibn
Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, II/262). Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah langsung dari keadaan
duduk (tanpa berdiri dulu), maka ini tidaklah mengapa. Bahkan di kalangan Syafi’iyah
berpendapat bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan sujud tilawah di luar salat harus dimulai dari berdiri. (al-Dimyati,
I’anat al-Talibin, I/245). Karena tidak ada dalil yang mensyariatkan
harus berdiri dulu, maka sujud tilawah boleh dilakukan mulai dari posisi
duduk.
Bacaan Sujud tilawah
Bacaan ketika sujud tilawah
sama dengan bacaan ketika sujud dalam salat, tidak ada bacaan khusus. Beberapa
bacaan ketika sujud tilawah di
antaranya berdasarkan HR. Muslim no. 772, yakni bacaan “Subhaana robbiyal
a’laa” (Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi). Imam Ahmad bin Hambal mengatakan:
“Adapun (ketika sujud tilawah), maka
aku biasa membaca: “Subhaana robbiyal a’laa” (Ibn Qudamah, Al Mughni,
I/686); dan HR. Bukhari No. 817 dan Muslim No. 484 dengan bacaan “subhanakallahumma
rabbana wa bihamdika Allahummaghfirlii (Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb
kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku).
Selain bacaan tersebut, boleh juga dengan bacaan berdasarkan
riwayat dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah Saw membaca doa pada saat sujud Alquran
(sujud tilawah) di malam hari berkali-kali dengan bacaan:
سَجَدَ وَجْهِى
لِلَّذِى خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ (رواه ابو داود)
“Wajahku bersujud pada Dzat Yang menciptakannya, serta membuka
pendengaran dan penglihatannya dengan daya serta kekuatan-Nya (HR. Abu Dawud
No. 1416). Hadis ini telah dinyatakan sahih
oleh al-Tirmidzi, al-Hakim, dan al-Dzahabi (al-Albani, Sahih Abi Dawud,
V/157). Bacaan “sajada wajhi” ini adalah salah satu pilihan yang dapat
dibaca saat melakukan sujud tilawah.
Syarat Sujud tilawah
Ulama berbeda pendapat mengenai syarat sujud tilawah. Menurut Ibn Qudamah, syarat sujud tilawah sama dengan syarat ketika salat, yaitu suci dari
hadas (kecil maupun besar), suci dari najis, menutup aurat, menghadap qiblat,
dan berniat(Ibn Qudamah, al-Mughni, I/685). Namun al-Syaukani tidak sepakat
dengan pendapat Ibn Qudamah. Al-Syaukani berpendapat bahwa dalam hadis-hadis
tentang sujud tilawah tidak ditemukan
adanya syarat harus suci dari hadas kecil maupun besar dalam sujud tilawah, juga tidak disyaratkan
harus suci pakaian dan tempat. Adapun menutup aurat dan menghadap kiblat,
banyak ulama yang menyepakatinya. (al-Syaukani, Nayl al-Authar,
III/127). Dalam hal ini Tarjih Muhammadiyah cenderung pada pendapat tidak
mensyaratkan harus suci dari hadas dan pakaian saat mau melakukan sujud tilawah di luar salat, karena
tidak ditemukan dasarnya (www.fatwatarjih.com/2011/07/sujud
syukur dan tilawah).
Wallahu A’lam !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar