MANASIK HAJI
ANTARA HPT-1 DAN HPT-3[1]
Oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I[2]
Muqaddimah
Makalah ini
memaparkan tentang kajian manasik haji yang merujuk kepada buku HPT-1 dan HPT-3
untuk dibandingkan dan dikritisi (dikomentari) seperlunya. Yang dimaksud dengan
HPT-1 adalah buku Himpunan Putusan Majelis Tarjih PP. Muhammadiyah yang berisi putusan-putusan
tarjih mulai tahun 1929 sampai dengan tahun 1972. Khusus bab haji dalam HPT-1
dibahas sebanyak 39 halaman, mulai halaman 185 sd. 224. Sedangkan HPT-3 adalah himpunan
putusan tarjih mulai tahun 2003 (Munas Tarjih ke-26 di Padang) sampai dengan
tahun 2015 (Munas Tarjih ke-29 di Jogjakarta). Untuk bab haji, dalam HPT-3
dibahas sebanyak 49 halaman, mulai halaman 465 sd. 514.
Selain membandingkan antara dua
HPT tersebut juga dibandingkan dengan buku lain atau pandangan masyarakat yang
berkembang, terutama di kalangan warga Muhammadiyah sendiri. Adapun topik-topik
yang dibahas dalam makalah ini adalah (1) Niat haji; (2) Miqat makani; (3) Tawaf;
(4) Tarwiyah; (5) Wukuf di Arafah; (6) Mabit di Muzdalifah; (7) Manasik di
Mina; (8) Hadyu/dam; (9)Badal haji; (10)Haji berkali-kali; dan (11)Umrah berkali-kali.
1.
Niat Haji
Dalam
HPT-1, saat memulai (niat haji) tidak menggunakan istilah “niat haji” tetapi “ihram”,
apabila engkau telah sampai di miqat (Dzul Hulaifah atau Juhfah atau Qarnul
Manazil atau Yalamlam) di dalam bulan-bulan haji (Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul
Hijjah sampai tanggal 9) maka berihramlah untuk berhaji.
Lebih
lanjut mengenai niat haji ini tidak perlu membaca niat (mis. Nawaitu
al-hajja…), tetapi cukup dengan ber-ihlal yang singkat sesuai dengan
Sunnah Nabi. Untuk haji ifrad dan tamattu’ dengan membaca “labbaika hajjan”;
sedangkan untuk haji qiran dengan membaca “labbaika umratan wahajjan”.[3]
Lafal ihlal ini berdasarkan hadis dari Anas Ra:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَقُولُ « لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا »
Aku mendengar Rasulullah
Saw membaca (ihlal untuk haji qiran): “labbaika ‘Umratan Wa
Hajjan”, aku penuhi panggilanMu untuk umrah dan haji” (Muttafaqun ‘alaih).[4]
Dalam HPT-3, terdapat istilah niat haji. Disebutkan dalam buku
ini, niat haji atau umrah terkait dengan masalah ihram, yaitu berniat ikhlas di
dalam hati karena Allah untuk melaksanakan haji dan umrah kemudian diiringi
dengan mengucapkan lafal labbaika umratan atau labbaika umratan wa
hajjan atau labbaika hajjan sesuai dengan jenis haji yang hendak
dilakukan di tempat-tempat (miqat makani) yang sudah ditentukan.[5]
Secara umum tidak ada perbedaan antara HPT-1 dengan HPT-3
dalam masalah niat haji. Bedanya, dalam HPT-1 hanya menggunakan istilah ihram
haji atau ihram umrah, sedangkan dalam HPT-3 sudah menggunakan istilah niat
haji, sekedar untuk memperjelas tentang niat haji. Sedangkan dalil-dalil yang
digunakan dalam hal melafalkan ihlal (niat haji), secara umum sama,
yaitu merujuk kepada hadis Muttafaqun alaih(al-Bukhari dan Muslim) dari
Anas ra, dan lain-lain.
2.
Miqat Makani
Dalam HPT-1, tentang miqat makani tidak dibahas khusus,
hanya disinggung sedikit, yaitu “apabila engkau telah sampai di miqat (Dzul Hulaifah atau Juhfah
atau Qarnul Manazil atau Yalamlam) di dalam bulan-bulan haji (Syawal, Dzul
Qa’dah, dan Dzul Hijjah sampai tanggal 9) maka berihramlah untuk
berhaji.[6]
Dalam HPT-3,
pembahasan miqat makani dibahas agak panjang dan lebar. Miqat makani adalah
batas yang menunjukkan tempat dimulainya seluruh rangkaian ibadah haji. Nabi
Saw menetapkan ada tiga arah, yaitu (1) sebelah utara untuk penduduk Madinah
dan Syam dengan miqatnya Dzul Hulaifah dan Juhfah; (2) sebelah timur
untuk penduduk Najed dengan miqatnya Qarn al-Manazil; dan (3) sebelah selatan
untuk penduduk Yaman dan Yalamlam. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَّتَ لأَهْلِ
الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ، وَلأَهْلِ
نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ
وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ
وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ
مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan
miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di Juhfah,
penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam. Miqat-miqat
tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga
bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan
penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa
yang kondisinya dalam daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun
dia memulainya, sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.”
(HR. Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1181).
Dalam HPT-3, lebih lanjut dijelaskan bahwa bagi mereka yang tidak
melewati tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Nabi dalam hadis tersebut,
seperti zaman sekarang maka harus memposisikan searah dan terdekat dari batas
yang ada. Pandangan ini merujuk pada kebijakan atau ijtihad Umar bin
al-Khattab yang memerintahkan
memulai ihram dari miqatnya kira-kira dua marhalah (90 km) dari Makkah. Ini
jarak terpendek (Qarn al-Manazil) dari Makkah. Hal ini berdasarkan riwayat
sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ اْلمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوْا: يَا
أَمِيْرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَدَّ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْناً وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيْقِنَا، وَإِنَّا إِنْ
أَرَدْنَا قَرْناً شَقَّ عَلَيْنَا. قَالَ: فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ
طَرِيْقِكم. فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ. (رواه البخاري)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Ketika dua kota
ini (Basrah dan Kufah) ditaklukkan, orang-orang menghadap Umar lalu mengatakan:
Wahai Amirul-Mukminin, sesungguhnya Rasulullah saw telah menentukan
Qarnul-Manazil (sebagai miqat) bagi penduduk Najd, tetapi tempat itu menjauh (menyimpang)
dari jalan yang kami lalui. Kalau kami harus menuju Qarnul-Manazil maka kami
merasa sukar. Lalu Umar berkata: Coba lihatlah arah yang setentang dengan
Qarnul-Manazil pada jalan yang kamu lalui. Kemudian Umar menentukan Dzatu Irqin
(sebagai miqat) bagi mereka.”(HR. al-Bukhari No. 1531).
Berdasarkan hadis dan ijtihad Umar
tersebut, HPT-3 menyimpulkan bahwa bagi jamaah yang menggunakan pesawat terbang
tidak wajib berihram kecuali setelah mendarat di daratan yang akan ditempuh
perjalanan selanjutnya. Karena Bandara Internasional untuk kedatangan jamaah
haji yang langsung ke Makkah berada di Jeddah, maka jamaah yang datang melalui
jalur penerbangan miqat berihramnya adalah Bandara King Abdul Aziz di Jeddah.[7]
Pandangan HPT-3 ini agak mengejutkan,
karena selama ini sejumlah warga Muhammadiyah dan KBIH yang bernaung
dalam Muhammadiyah tidak sependapat dengan pandangan yang membenarkan miqat
makani di Bandara King Abdul Aziz di Jeddah, yang jauh sebelumnya memang telah
diputuskan oleh MUI tahun 1980 dan Kementerian Agama RI. Di antara KBIH yang
menentang pendapat tersebut adalah KBIH Jabal Nur PDM Sidoarjo dengan alasan
posisi Jeddah itu melampaui posisi kota Makkah. Ulama Saudi, dalam Fatwa Lajnah al-Daimah, termasuk yang tidak membenarkan Bandara
King Abdul Aziz di Jeddah sebagai miqat makani bagi orang yang melewati
batas-batas miqat yang ada. Jika seseorang naik pesawat melalui Madinah
misalnya, maka miqatnya adalah sebelum atau saat melewati Madinah, yaitu Bir
Ali.[8]
3. Tawaf.
Ada dua masalah yang menarik dicermati dalam tawaf
ini, yaitu persyaratan suci bagi orang yang mau tawaf, dan hukum wanita haid sebelum
tawaf ifadah.
Pertama, syarat suci dalam tawaf. Dalam
HPT-1 tidak dijelaskan secara tegas mengenai dua hal tersebut. Secara tekstual
dalam HPT-1 mensyaratkan tawaf dengan tidak berhadas besar.[9]
Kesannya, kalau berhadas kecil boleh (?). Oleh Tim Majelis Tarjih dan Tajdid
PP. Muhammadiyah kemudian dijelaskan bahwa
seseorang yang melakukan tawaf haruslah suci dari hadas kecil maupun besar.
Apabila batal wuduknya maka harus wuduk lagi dan melanjutkan kekurangannya,
tidak usah mengulangi dari permulaan.[10]
Berbeda dengan HPT-3 yang menjelaskan bahwa tawaf
harus diusahakan dalam keadaan suci dari hadas dan najis, karena tawaf dalam
banyak aspek sama dengan salat. Rasulullah Saw bersabda:
الطَّوَافُ
بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَحَلَّ لَكُمْ فِيهِ الْكَلاَمَ،
فَمَنْ يَتَكَلَّمُ فَلاَ يَتَكَلَّمُ إِلاَّ بِخَيْر
Tawaf di Baitullah itu merupakan salat,
hanya saja Allah Swt membolehkan kamu berbicara di dalamnya, akan tetapi
barangsiapa berbicara, jangan bicarakan kecuali yang baik (HR. al-Hakim No.
1686; dan Ibn Hibban No. 3836). Al-Albani mensahihkan hadis ini.[11]
Ada yang baru dari HPT-3, yaitu
mengecualikan jika terjadi hadas kecil (batalnya wuduk) saat sedang tawaf dalam
keadaan jamaah penuh sesak dan tidak memungkinkan mendapatkan air atau jika
mendapatkan air akan sangat menyusahkan dan memberatkan, maka berdasarkan
prinsip taisir (memudahkan) dan ‘adamul haraj (meniadakan
kesulitan), maka tawaf dapat dilanjutkan tanpa mengulangi wuduk.[12]
Prinsip memudahkan ini berdasarkan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185.
HPT-3
dengan sangat hati-hati terkesan tetap mempersyaratkan wudu sebelum melakukan tawaf,
sehingga bila batal wuduk saat sedang tawaf tetap diperintahkan untuk
mengulangi wuduknya, kecuali jika dalam kondisi yang sangat membahayakan, dalam
hal ini tidak dituntut.[13]
Ada
lompatan hukum dalam hal ini, yakni dari tidak bisa berwuduk karena kesulitan
mendapatkan air (saat terjadi masyaqqah) langsung bebas tanpa
wuduk. Mengapa tidak tayamum lebih dulu sebagai ganti wuduk jika mampu?
Kedua, hukum wanita haid tawaf ifadah.
HPT-1 tidak membahas tentang ini. Sedangkan HPT-3 menyatakan bahwa wanita haid
tetap dibolehkan melakukan tawaf ifadah, apabila kondisinya tidak memungkinkan
lagi menunggu sampai berhentinya haid lantaran akan tertinggal rombongan yang
harus segera meninggalkan kota Makkah. Ibn Taymiyah dan Ibn al-Qayyim
mengemukakan bahwa suatu yang diharamkan dalam keadaan normal dibolehkan dalam
keadaan darurat apabila ada keperluan mendesak. Seperti daging babi yang
mestinya haram dalam keadaan normal akan dibolehkan saat keadaan darurat (QS. Al-Baqarah,173).
Dengan demikian keadaan darurat tersebut (tertinggal rombongan apabila tidak
segera tawaf) merupakan pembatasan (taqyid) dan pengecualian terhadap
larangan melakukan tawaf bagi wanita haid.[14]
Ibn Taymiyah mengatakan:
ويجوز
للحائض الطواف عند الضرورة ولا فدية عليها
Orang yang sedang haid dibolehkan tawaf saat
dalam keadaan darurat dan tidak perlu membayar fidyah.[15]
4.
Tarwiyah
Dalam HPT-1, pembahasan tarwiyah hampir sama
dengan HPT-3, yaitu menganjurkan para jamaah haji pada tanggal 8 Dzul Hijjah
untuk ihram haji dari Makkah pada pagi hari, kemudian menuju ke Mina. Di Mina
satu hari, mulai dhuhur, asar, maghrib, isya, sampai subuh tanggal 9 Dzul
Hijjah.[16]
Kebanyakan jamaah haji Indonesia pada hari itu berihram haji dari Makkah
langsung ke Arafah. Karena itu, jamaah haji yang berhaluan lain, yaitu ke Mina
dulu satu hari baru ke Arafah disebut dengan istilah tanazul (memisahkan
diri dari program umum pemerintah).
HPT-1 dan HPT-3 mendasarkan pada hadis riwayat
Jabir bin Abdillah:
فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ
تَوَجَّهُوا إِلَى مِنًى فَأَهَلُّوا بِالْحَجِّ وَرَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- فَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ
وَالْفَجْرَ ثُمَّ مَكَثَ قَلِيلاً حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ
"Ketika hari Tarwiyyah maka mereka menuju
Mina, lalu mereka berihram haji kemudian Rasulullah shallallahu 'alayhi wa
sallam menaiki untanya dan sampai di Mina beliau shalut zhuhur, Ashar, Maghrib,
'Isya, dan Subuh. Kemudian beliau berdiam sejenak sampai terbit
matahari."_(HR. Muslim No.1218; Abu Dawud No. 1907; dan Ibn Majah No. 3074).[17]
HPT-3
ada tambahan keterangan bahwa secara Sunnah memang pada tanggal 8 Dzul Hijjah
(hari tarwiyah) disunnahkan ke Mina dulu baru ke Arafah, akan tetapi bilamana
terjadi kemacetan (krodit) sehingga dikhawatirkan bisa mengganggu kegiatan
wukuf di Arafah nantinya, maka pelaksanaan tarwiyah tidak perlu
dilaksanakan.[18]
Hal ini sesuai dengan kaidah: “الْوَاجِبُ
لَا يُتْرَكُ لِسُنَّةٍ”,
yang wajib tidak ditinggalkan karena yang Sunnah.[19]
5. Wukuf di Arafah
HPT-1 dalam membahas wukuf di Arafah terlalu
singkat, hanya menjelaskan tentang keberangkatan dari Mina ke Namirah dulu
(kalau bisa) lalu ke Arafah, setelah terbit matahari pagi tanggal 9 Dzul
Hijjah. Setelah matahari mulai condong ke Barat (saat dzuhur), maka waktunya
wukuf di Arafah, kemudian salat dhuhur dan asar dilaksanakan secara jama’
selanjutnya banyak berdoa.[20]
HPT-3 lebih lengkap dalam membahas wukuf di
Arafah. Arafah adalah salah satu tempat pelaksanaan manasik haji yang terletak
paling jauh dari Makkah. Arafah tidak termasuk dalam kawasan tanah haram (tanah
suci).
Ibadah yang dilakukan di Arafah setelah
memulai wukuf adalah khutbah Arafah yang disampaikan oleh imam atau pemimpin
rombongan, kemudian salat dzhuhur dan asar dengan qasar dan jamak takdim dengan
satu adzan dan dua iqamat. Selanjutnya membaca tahmid, tahlil, takbir, berdoa,
bertaubat, dan berdzikir kepada Allah serta membaca al-Qur’an.[21] Nabi bersabda:
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ
عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik
doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi
sebelumku ucapkan adalah La Ilaaha IllAllah wahdahu laa syariika lahu, lahul
mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syai-in qadir.” (HR.
at-Tirmidzi, no.3585). al-Albani menghasankan hadis ini.[22]
Lebih lanjut HPT-3 memaparkan bahwa
setelah matahari terbenam pada hari Arafah, maka jamaah haji segera
meninggalkan Arafah berangkat menuju Muzdalifah untuk mabit (bermalam)
di sana. Salat maghrib dan isya dilakukan di Muzdalifah secara qasar dan jamak
ta’khir. Jamaah yang tidak dapat segera meninggalkan Arafah karena problem
keterlambatan transportasi dan harus menunggu di Arafah dalam waktu lama dan tidak bisa diprediksi
kapan datangnya penjembutan, maka jamaah dibolehkan melakukan salat maghrib
dan isya secara qasar dan jamak di Arafah.[23]
Solusi ini diambil berdasarkan prinsip taysir (memudahkan), yaitu
kaidah: المشقَّةُ تجلِبُ التَّيسيرَ, kesulitan bisa membawa kemudahan.[24]
6. Mabit di Muzdalifah
HPT-1 secara singkat dan padat menjelaskan
manasik haji saat berada di Muzdalifah, yaitu salat maghrib dan isya secara
jamak, kemudian bermalam di sana. Bagi jamaah yang kondisinya lemah dibolehkan
meninggalkan Muzdalifah menuju Mina sebelum fajar. Jamaah bisa ambil batu
kerikil di Muzdalifah untuk persiapan lempar jumrah di Mina. Bagi jamaah yang
normal, maka berangkatnya menuju ke Mina setelah salat subuh sebelum matahari
terbit.[25]
Untuk manasik haji di Muzdaifah tidak ada
perbedaan yang prinsip antara HPT-1 dengan HPT-3. Secara umum dalam HPT-3 juga
dijelaskan tentang apa saja yang dilakukan jamaah saat berada di Muzdalifah,
yaitu salat maghrib dan isya dilakukan
dengan qasar dan jamak ta’khir, setelah itu
boleh juga mencari batu kerikil
untuk persiapan melempar jumrah di Mina,
selanjutnya istirahat tidur sampai datangnya waktu subuh.[26]
Hal ini berdasarkan hadis berikut ini:
عَنْ
جَاَبِرٍ قاَلَ.....حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ
وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
ثُمَّ اضْطَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ
وَصَلَّى الْفَجْرَ - حِينَ تَبَيَّنَ لَهُ الصُّبْحُ - بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ
Dari Jabir, ia berkata:…sampai di Mzdalifah
beliau melakukan salat maghrib dan isya dengan satu kali adzan dan dua iqamat,
dan tidak melakukan salat antara keduanya, kemudian beliau tidur hingga terbit
fajar lalu salat subuh saat waktu subuh tiba dengan adzan dan iqamat (HR.
Muslim No. 3009).
Setelah salat subuh, jamaah haji dianjurkan
untuk banyak berdzikir dan berdoa menghadap kiblat.[27]
Jabir meriwayatkan:
ثُمَّ
رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى أَتَى الْمَشْعَرَ الْحَرَامَ فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ فَدَعَاهُ وَكَبَّرَهُ وَهَلَّلَهُ وَوَحَّدَهُ فَلَمْ يَزَلْ
وَاقِفًا حَتَّى أَسْفَرَ جِدًّا فَدَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْس
Kemudian
beliau naik unta meneruskan perjalanannya hingga ke Masy’aril Haram. Beliau
kemudian menghadap kiblat, lalu membaca doa, takbir, dan tahlil. Beliau tetap
berada di situ hingga terang benderang, lalu bertolak (menuju Mina) sebelum
matahari terbit (HR. Muslim No. 3009).
Bagi jamaah yang lemah, boleh mabit di Muzdalifah sampai
tengah malam saja, tidak harus menunggu sampai subuh. Sebagaimana yang
diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
berkata:
كَانَتْ سَوْدَةُ
امْرَأَةً ضَخْمَةً ثَبِطَةً، فَاسْتَأْذَنَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُفِيضَ مِنْ جَمْعٍ بِلَيْلٍ، فَأَذِنَ لَهَا
“Saudah adalah perempuan yang lambat jalannya karena badannya gemuk.
Beliau meminta ijin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
meninggalkan Muzdalifah di waktu malam. Lalu Rasulullah mengijinkannya.” (HR.
Bukhari no. 1680 dan Muslim no. 1290).
Riwayat di atas menunjukkan bolehnya orang-orang lemah dan perempuan
(baik perempuan tersebut memiliki ‘udzur ataukah tidak) untuk meninggalkan
Muzdalifah di waktu malam dan tidak menunggu sampai pagi (subuh).
7. Manasik di
Mina
HPT-1 dalam membahas manasik
di Mina terdiri dari dua bagian yang ringkas, yaitu: Pertama, pada
tanggal 10 Dzul Hijjah saat sudah tiba di Mina melaksanakan lempar jumrah
‘Aqabah dengan tujuh butir kerikil dengan mengucapkan: “Allahu Akbar, dan
Allahummaj’alhu hajjan mabruran wa dzanban maghfuran (HR. Ahmad No. 4061).
Setelah itu hendaklah menyembelih hadyu (dam), selanjutnya tahallul awal dengan
mencukur rambut, maka halal segala hal yang tadinya dilarang saat berihram,
kecuali bersetubuh. Setelah itu pergi
menuju ke Makkah untuk tawaf dan sa’i .[28]
Kedua, dari Makkah
kembali ke Mina untuk mabit (bermalam) dua atau tiga malam, melempar jumrah
ketiga-tiganya (Ula, Wusta, dan ‘Aqabah), setelah matahari condong ke barat
pada tanggal 11, 12, dan 13 dengan cara seperti sebelumnya (melempar jumrah
‘Aqabah). Bila ingin segera ke Makkah, boleh meninggalkan Mina pada tanggal 12
Dzul Hijjah.[29]
Pada HPT-3, masalah manasik di Mina isinya hampir sama dengan HPT-1.
Bedanya, dalam HPT-3 ada beberapa tambahan penjelasan agak rinci tentang suatu
ritual dan realitasnya di lapangan. HPT-3 ada penjelasan bahwa setelah melempar
jumrah ‘Aqabah, ucapan takbir dan talbiyah pun dihentikan. Hal ini berdasarkan
hadis Nabi riwayat al-Bukhari No. 1544.[30]
Secara realistis, HPT-3
mengakui bahwa setelah melempar jumrah ‘Aqabah tanggal 10 Dzul Hijjah sangat
sulit kemungkinannya untuk bisa langsung ke Makkah guna melakukan tawaf dan
sa’i. Karena itu, pelaksanaan tawaf dan sa’i tidak harus langsung pada tanggal
10 Dzul Hijjah, tetapi boleh pada waktu lain yang memungkinkan (kebanyakan
jamaah Indonesia melakukan tawaf dan sa’i setelah nafar awal atau nafar sani
dari Mina ke Makkah, tanggal 13 atau 14 Dzul Hijjah).
Dalam HPT-3 ada tambahan
keterangan tentang amalan setelah melempar jumrah, khususnya setelah melempar
jumrah ula dan jumrah wusta, yaitu mencari tempat yang kosong untuk berdoa apa
saja yang dikehendaki dengan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat.
Adapun untuk jumrah ‘aqabah, setelah melemparnya tidak perlu berdoa, tetapi
langsung keluar.[31]
Hal ini berdasarkan hadis berikut ini:
عَنْ
عَائِشَةَ، قَالَتْ: " أَفَاضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ حِينَ صَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِنًى،
فَمَكَثَ بِهَا لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ، يَرْمِي الْجَمْرَةَ إِذَا
زَالَتِ الشَّمْسُ، كُلُّ جَمْرَةٍ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ ، يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ
حَصَاةٍ ، وَيَقِفُ عِنْدَ الْأُولَى، وَعِنْدَ الثَّانِيَةِ، فَيُطِيلُ
الْقِيَامَ وَيَتَضَرَّعُ ، وَيَرْمِي الثَّالِثَةَ لَا يَقِفُ عِنْدَهَا
Aisyah ra berkata: “Rasulullah Saw melakukan tawaf ifadah di akhir
harinya setelah beliau salat dhuhur, kemudian beliau kembali ke Mina dan
tinggal di sana selama malam tasyriq. Beliau melempar jumrah saat matahari
sudah condong, setiap lemparan dengan tujuh kerikil dan beliau bertakbir setiap
melempar kerikil. Beliau berdiri (berhenti) di jumrah pertama (Ula) dan jumrah kedua
(wusta), kemudian melamakan berdiri, mengkhusyukkan diri (berdoa), dan tidak
berhenti lagi setelah melempar jumrah ketiga (Aqabah) (HR.Ahmad No. 24592, Abu
Dawud No. 1975). Hadis ini sahih menurut al-Albani kecuali kalimat “حِينَ
صَلَّى الظُّهْرَ”, setelah beliau salat dhuhur.
Kata al-Albani, kalimat tersebut munkar.[32]
Ada pandangan menarik dalam
HPT-3 tentang waktu melempar jumrah, yaitu bolehnya melempar jumrah di luar
waktu utama (afdaliyah) yang sesuai sunnah. Hal ini dibenarkan
manakala situasi kawasan jamarat sangat padat dan membahayakan jiwa jika
dipaksakan melempar jumrah pada waktu yang utama tersebut. Pandangan ini
didasarkan kepada prinsip agama yang tidak mempersulit tetapi memudahkan (taysir).[33]
HPT-3 juga mengemukakan
pandangan yang longgar dan fleksibel tentang area Mina (Mina Jadid,
perluasan Area Mina). Jamaah haji tetap dipandang mabit di Mina meski posisinya
berarsiran dengan lokasi Muzdalifah. Karena bagian terluar dari Muzdalifah itu
adalah batas terluar Mina, dan batas terluar Mina adalah batas terluar
Muzdalifah.[34]
Perluasan Mina dilakukan karena jumlah jamaah haji terus bertambah, sementara
Area Mina tetap. Karena itu berlaku kaidah fiqhiyah اذا ضاق الامر اتسع, “apabila segala sesuatu sudah
sempit maka menjadi luas”.[35]
Ada keterangan yang perlu
dipertanyakan, baik dalam HPT-1 maupun HPT-3, tentang bacaan pada saat
melempar jumrah, yaitu mengucapkan: “Allahummaj’alhu hajjan mabruran wa
dzanban maghfuran. HPT-1 dan HPT-3 sama-sama mengutip hadis riwayat Ahmad
berikut ini:
…فَرَمَى
بِهَا مِنْ بَطْنِ الْوَادِي بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَهُوَ رَاكِبٌ يُكَبِّرُ مَعَ
كُلِّ حَصَاةٍ وَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا وَذَنْبًا
مَغْفُورًا ثُمَّ قَالَ هَاهُنَا كَانَ يَقُومُ الَّذِي أُنْزِلَتْ عَلَيْهِ
سُورَةُ الْبَقَرَةِ
…kemudian
beliau melemparnya dari dalam lembah dengan tujuh kerikil sambil naik
kendaraannya, beliau bertakbir setiap melempar dan berdoa: Allahummaj’alhu hajjan mabruran wa dzanban maghfuran. Kemudian beliau berkata lagi: “Di sinilah berdiri orang
yang kepadanya diturunkan surat al-Baqarah” (HR. Ahmad No.4061).[36]
Hadis tersebut menurut
penelitian beberapa pakar hadis dinilai lemah (da’if). Menurut
Syu’ayb al-Arnowt hadis tersebut sahih kecuali bacaan Allahummaj’alhu hajjan
mabruran wa dzanban maghfuran, tambahan kalaimat doa ini lemah karena dalam
rentetan sanadnya terdapat perawi bernama Lais bin Abi Sulaym yang dikenal
lemah.[37]
al-Bayhaqi dalam Sunan al-Kubra-nya menilai kelemahan hadis ini karena
ada perawi bernama Abdullah bin Hakim yang dikenal sebagai perawi yang lemah.[38]
Al-Albani juga menilai hadis tersebut lemah (da’if).[39]
Atas dasar keterangan
terebut, KBIH Jabal Nur milik PDM Kabupaten Sidoarjo tidak mengamalkan doa
melempar jumrah tersebut, karena doa tersebut dianggap tidak masyru’
(tidak disyariatkan) dan tidak ma’tsur (tidak berdasarkan amalan Nabi
Saw).[40]
Mengenai kegiatan salat
selama di Mina, HPT-1 tidak menerangkannya. Sedangkan pada HPT-3, secara
panjang lebar menjelaskan bagaimana salat qasar dan jamak pada saat safar
termasuk pada saat suasana haji di Arafah, Muzdalifah, dan di Mina. HPT-3 menjelaskan
bahwa selama di Mina, salat yang liwa waktu dilakukan dengan qasar tanpa
dijamak. Hal ini berdasarkan pada hadis berikut ini:
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ صَلَّى صَلاَةَ
الْمُسَافِرِ بِمِنًى وَغَيْرِهِ رَكْعَتَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
وَعُثْمَانُ رَكْعَتَيْنِ صَدْرًا مِنْ خِلاَفَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا أَرْبَعًا.
Dari Salim bin Abdillah,
dari ayahnya (Abdullah bin Umar), dari Rasulullah Saw (diriwayatkan) bahwa
beliau pernah mengerjakan salat musafir di Mina dan di tempat lainnya (dengan
diqasar) dua rakaat. Begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Usman pada awal
pemerintahannya juga (melakukan salat
dengan diqasar) dua rakaat. Setelah itu dia (Usman) menyempurnakannya empat
rakaat (HR. Muslim No. 1622).[41]
8. Hadyu (dam).
Pada
HPT-1, tidak menyebutkan istilah hadyu atau dam, tetapi menyembelih kambing,
baik pada saat menjelaskan kewajiban menyembelih karena suatu pelanggaran atau
pun kewajiban terkait dengan ketentuan dalam ibadah haji dan umrah, seperti
saat haji tamattu’.[42]
Sedangkan dalam HPT-3, dijelaskan tentang pengertian dan
perbedaan hadyu dan dam. Dam berasal dari bahasa Arab yang berarti darah.
Maksudnya adalah binatang ternak yang darahnya ditumpahkan (disembelih) sebagai
denda bagi suatu pelanggaran yang dilakukan di dalam urusan ibadah haji.
Istilah dam adalah istilah yang digunakan ulama. Di dalam al-Quran dan hadis
digunakan istilah hadyu. Hadyu lebih umum daripada pengertian dam, karena hadyu
juga mencakup hewan-hewan yang disembelih bukan sebagai denda semata, tetapi
juga dikarenakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, seperti yang
dilakukan dalam rangkaian ibadah haji (tamattu dan qiran). Selain
hadyu, dalam al-Quran juga menggunakan istilah nusuk (QS. Al-Baqarah, 196).[43]
Pandangan HPT-3 yang menarik tentang pelanggaran adalah bahwa
orang yang melanggar suatu larangan ihram karena lupa, maka ia tidak dikenai
denda (dam). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw:
تَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْ أُمَّتِي
الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Allah akan mengampuni
dari umatku yang melakukan kesalahan karena tak sengaja, lupa, dan dipaksa (HR.
Ibn Majah No. 2043; al-Hakim No. 2801 dan al-Baihaqi No. 5991). Menurut
al-Albani hadis tersebut sahih.[44]
HPT-3 juga mengemukakan pandangan yang berani tentang batas
waktu penyembelihan dam atau hadyu. Menurut HPT-3, tidak ada dalil yang jelas
mengenai batasan penyembelihan hadyu atau dam. Batasan penyembelihan hadyu atau
dam hingga sampai hari tasyrik (tanggal 11,12, dan 13 Dzul Hijjah) hanya
dijumpai dalam kitab-kitab Fiqh, dan dalilnya disamakan dengan batasan untuk
ibadah kurban. HPT-3 menilai bahwa atas dasar prinsip ‘adam al-haraj, tidak
menyusahkan, maka pembatasan penyembelihan hadyu dan dam adalah bulan haji iu
sendiri, yaitu bulan Dzul Hijjah. Sedangkan pendistribusiannya bisa kapan saja,
karena tiada dalil yang membatasinya.[45]
9. Badal Haji
HPT-1
tidak membahas sama sekali tentang badal haji. Sedangkan pada HPT-3 dibahas
dengan cukup panjang dan lebar. Yang dimaksud dengan badal haji adalah ibadah
haji yang dilaksanakan oleh seseorang untuk dan atas nama orang lain yang telah
memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, yakni karena orang tersebut
ada uzur (berhalangan) sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka
pelaksanannya didelegasikan kepada orang lain.[46]
Salah satu asas umum penting dalam
hukum Islam adalah asas personalia, yaitu setiap tanggung jawab perbuatan
adalah atas pelakunya sendiri dan ia akan mendapat imbalan atau balasan atas
perbuatan yang dilakukannya. Pengecualian terhadap prinsip ini hanya dapat
dilakukan dengan nas-nas syariah sendiri. Beberapa ayat tentang dasar-dasar
asas personalia dalam hukum syariah antara lain surat al-Baqarah ayat 286;
Yasin ayat 54; dan al-Najm ayat 38-39. Allah Swt berfirman:
أَلَّا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Bahwasanya
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. Al-Najm,
38-39).[47]
Terkait dengan ibadah haji, HPT-3
berpandangan bahwa pada dasarnya haji tidak dapat didelegasikan kepada orang
lain, kecuali dalam hal-hal yang ditegaskan pengecualiannya oleh nas-nas
syariah, yaitu boleh dibadali oleh (1) anak (menghajikan orang tua), terutama
anak yang tertua, atau (2) saudara laki-laki maupun perempuan (membadali haji
saudaranya) sebagaimana ditegaskan dalam hadis-hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ
خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ
فَرِيضَةُ اللَّهِ فِى الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى
ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَحُجِّى عَنْهُ ».
1.
Ibnu
Abbas meriwayatkan dari
al-Fadl: "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada
Rasulullah: "Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua
renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?". Jawab
Rasulullah: "Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!" (H.R.
Muslim No.
3316).[48]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ امْرَأَةً مِنْ
جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ إِنَّ
أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ ، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ
عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ . حُجِّى عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ
دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ ، فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ »
2.
Ibnu
Abbas ra meriwayatkan:
" Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Nabi s.a.w., ia
bertanya: "Wahai Nabi Saw, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan
ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji
tersebut, apakah aku bisa menghajikannya? Rasulullah
menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib
membayarnya bukan? Bayarlah
hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R. Bukhari No.
1852).[49]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ :مَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ أَخٌ لِى أَوْ
قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ
نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
3.
Ibnu
Abbas
meriwayatkan bahwasanya (pada saat melaksanakan haji), Nabi Saw.
mendengar seorang lelaki berkata "Labbaik 'an Syubrumah"
(Labbaik/aku memenuhi pangilanMu ya Allah, untuk Syubrumah), lalu Rasulullah
bertanya "Siapa Syubrumah?". "Dia
saudaraku, wahaiRasulullah",
jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah pernah haji?" Rasulullah
bertanya. "Belum" jawabnya. "Berhajilah untuk dirimu, lalu
berhajilah untuk Syubrumah",
lanjut Rasulullah. (H.R. Dawud No. 1813). Syekh al-Albani
menilai hadis ini sahih.[50]
Berdasarkan beberapa hadis tersebut, mayoritas ulama
membenarkan adanya syariat badal haji, dengan syarat orang yang melaksanakan
badal haji sudah terlebih dahulu melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.
Harus difahami bahwa Nabi Saw memiliki otoritas untuk
menetapkan hukum sendiri selain berdasarkan al-Qur’an. Karena itu tidak semua
hadis yang “terkesan” bertentangan dengan al-Qur’an lalu dinyatakan tidak sahih.
Seperti hadis tentang bolehnya menghajikan orang lain (orangtua atau saudara)
yang dianggap bertentangan dengan surat al-Najm ayat 39 yang menerangkan bahwa
seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali atas usahanya sendiri. Dalam
kajian Ushul Fiqh dikenal adanya “takhshis”, yaitu pembatasan atau pengecualian
terhadap ketentuan yang bersifat umum. Takhshis ini bisa berupa al-Qur’an
dengan ayat al-Qur’an, dan bisa juga al-Qur’an dengan al-Hadis. Sebagai
contoh QS. Al-Maidah,3 (tentang: diharamkan atas kamu bangkai, hewan yang mati
tanpa disembelih). Oleh Nabi Saw kemudian di “takhshis”, dibatasi dengan
mengecualikan bangkai ikan dan belalang (HR.Ahmad, Ibn Majah dan al-Baihaqi.
Al-Albani menilainya sahih). Kalau orang tidak memahami sunnah atau hadis, maka
akan mengatakan bahwa semua bangkai adalah haram berdasarkan ayat al-Qur’an
tersebut. Tetapi, karena memahami adanya sunnah atau hadis yang berfungsi
menjelaskaan al-Qur’an dan juga mengecualikan keterangan yang bersifat umum,
maka bisa difahami bahwa semua bangkai itu haram kecuali yang dikhususkan oleh
Nabi saw, yaitu bangkai ikan dan belalang.
Demikian juga tentang ayat yang menerangkan bahwa
seseorang tidak akan dapat pahala kecuali dari usaha amalnya sendiri (QS.
Al-Najm, 39). Oleh Nabi Saw, ayat yang bersifat umum tersebut dikecualikan
dengan amalan badal haji, menghajikan orang yang telah meninggal (yang
belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara
fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan
sembuh. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ini berarti bahwa badal haji itu
dibenarkan menurut syariat.
Pakar hadis termasyhur, Imam al-Bukhari dan Muslim termasuk ulama yang
membolehkan badal haji.[51]
HPT-3, sungguhpun membolehkan badal haji,
namun memberikan rambu-rambu sebagai berikut: (1)Satu orang hanya boleh
membadali haji satu orang dalam satu musim haji; (2)Biaya badal haji dibebankan
kepada orang yang dibadali, kecuali anak atau saudara yang membadali itu dengan
suka rela bersedekah untuk orang yang dibadali; (3)Pada dasarnya badal haji
bukan kewajiban, tetapi hanya kebolehan yang timbul sebagai pengecualian dari
prinsip umum bahwa seseorang hanya akan memperoleh sesuai apa yang
dilakukannya, karena adanya nas-nas yang mengecualikannya; (4)Haji Sunnah tidak
boleh didelegasikan kepada orang lain karena tidak adanya Sunnah.[52]
Mayoritas ulama memperbolehkan badal haji atau
dalam istilah fiqihnya al-hajj ‘an al-ghair. Di antara ulama empat
madzhab yang memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan
Imam Hambali. Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada
orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan, maka dibolehkan.
Ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya.[53]
10. Haji berkali-kali
HPT-1 tidak
menjelaskan tentang kedudukan haji yang dilakukan oleh seseorang berkali-kali.
Sedangkan pada HPT-3 disingung sedikit tentang haji berulang kali. HPT-3
menegaskan bahwa berdasarkan hadis Nabi Saw, kewajiban haji hanyalah sekali
seumur hidup bagi yang mampu, selebihnya adalah Sunnah.[54]
Ibn Abbas menceritakan bahwasanya al-Aqra bin Habis bertanya kepada Nabi Saw,
ya Rasulullah (apakah) haji itu setiap tahun ataukah satu kali (seumur hidup)?
Nabi Saw menjawab:
بَلْ
مَرَّةً وَاحِدَةً فَمَنْ زَادَ فَهُوَ تَطَوُّعٌ
Hanya satu kali saja (seumur hidup). Barangsiapa yang
menambah, maka itu tatawuk/Sunnah (HR. Abu Dawud No. 1725; Ibn Majah No.
2886; dan lain-lain). Menurut al-Albani, hadis ini sahih.[55]
Karena haji
yang kedua dan seterusnya itu hukumnya Sunnah, maka bagi yang ingin haji lagi
wajib mendahulukan yang lain yang sudah berkewajiban haji tetapi belum
berkesempatan haji. Jika orang yang sudah haji tetap ingin haji lagi, dan haji
lagi, maka berarti orang ini mementingkan dirinya sendiri. Saat ini daftar
tunggu untuk bisa berangkat haji sudah mencapai lebih dari 20 tahun. Jika orang
yang sudah haji masih ingin haji lagi berarti ia menutup peluang orang lain
untuk bisa segera berhaji. Sebagai solusinya, kepada orang yang berkelebihan
harta hendaknya memprioritaskan penerapan ajaran al-Ma’un, yakni
berkhidmad dalam pemberdayaan kaum duafa dan penyantunan mereka yang tidak
mampu.[56]
11. Umrah berkali-kali
HPT-1 tidak
menyinggung sama sekali tentang ibadah umrah berkali-kali. Sedangkan HPT-3 membahasnya
agak panjang. HPT-3 kurang sependapat dengan kebiasaan orang-orang yang
melakukan umrah berkali-kali, yang biasanya dilakukan pada waktu antara seusai
umrah qudum (baru masuk Makkah) dengan datangnya waktu haji hari
tarwiyah. Mereka ini beralasan mumpung ada kesempatan tinggal di Makkah agak
lama. Menurut HPT-3, umrah yang dilakukan berkali-kali ini bisa menambah
keletihan sehingga persiapan hajinya tidak maksimal.
HPT-3 juga tidak sependapat
dengan dasar yang dijadikan pijakan mereka yang membolehkan umrah berkali-kali,
yaitu dengan dalil hadis:
عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ - رضى
الله عنه - ...ثُمَّ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى عَائِشَةَ
- رضى الله عنها - فَوَجَدَهَا تَبْكِى فَقَالَ « مَا شَانُكِ ». قَالَتْ شَانِى
أَنِّى قَدْ حِضْتُ وَقَدْ حَلَّ النَّاسُ وَلَمْ أَحْلِلْ وَلَمْ أَطُفْ
بِالْبَيْتِ وَالنَّاسُ يَذْهَبُونَ إِلَى الْحَجِّ الآنَ. فَقَالَ « إِنَّ هَذَا
أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاغْتَسِلِى ثُمَّ أَهِلِّى
بِالْحَجِّ ». فَفَعَلَتْ وَوَقَفَتِ الْمَوَاقِفَ حَتَّى إِذَا طَهَرَتْ طَافَتْ
بِالْكَعْبَةِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ ثُمَّ قَالَ « قَدْ حَلَلْتِ مِنْ حَجِّكِ
وَعُمْرَتِكِ جَمِيعًا ». فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أَجِدُ فِى
نَفْسِى أَنِّى لَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ حَتَّى حَجَجْتُ. قَالَ « فَاذْهَبْ بِهَا
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ فَأَعْمِرْهَا مِنَ التَّنْعِيمِ ». وَذَلِكَ لَيْلَةَ
الْحَصْبَةِ
Dari Abu Al-Zubair dari Jabir bin Abdulah R.a, …Kemudian Rasulullah saw. menemui Aisyah R.a, dan beliau mendapatkannya sedang menangis, beliau bertanya, mengapakah engkau?’ Ia menjawab: “Sesungguhnya aku sedang berhaid, orang-orang sudah bertahallul sedangkan saya belum bertahallul dan belum tawaf di baitullah. Orang-orang akan pergi mengerjakan haji sekarang ini.’ Beliau besabda,’Hal ini adalah ketetapan Allah swt. kepada anak-anak perempuan Adam. Mandilah dan berihramlah dengan haji. Maka Aisyah pun melakukannya dan datangi setiap tempat peribadahan haji. Sehingga ketika ia bersih dari haid, ia bertawaf di baitullah dan sai antara shafa dan Marwah.’ Lalu Rasulullah saw. bersabda,’Engkau sudah halal dari haji dan umrahmu seluruhnya.’ Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, Saya rasakan dalam hati, bahwa saya belum tawaf di baitullah sampai saya berhaji”. Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Abdurrahman, bawalah ia dan umrahkanlah dari Tan’im” (HR. Muslim No. 2996).
HPT-3 menerangkan bahwa kasus ‘Aisyah dalam
hadis di atas tidak bisa menjadi dasar bagi disyariatkannya melakukan umrah berkali-kali
selama satu musim haji. Nabi sendiri dan para sahabatnya, kecuali ‘Aisyah,
tidak pernah melakukan umrah berulang kali. Yang disunnahkan bagi jamaah haji
saat menunggu datangnya 8 Dzul Hijjah adalah memperbanyak ibadah tawaf sunnah, salat
berjamaah di masjid al-Haram, membaca al-Qur’an, berdzikir, dan lain
sebagainya.[57]
Al-Utsaimin menambahkan bahwa seandainya
peristiwa yang terjadi pada Aisyah itu termasuk sesuatu yang disyariatkan pada
semua orang, niscaya Nabi Saw akan mengerahkan para sahabat bahkan menganjurkan
Abd al-Rahman bin Abu Bakar yang keluar bersama saudarinya untuk melaksanakan
umrah, karena akan mendapatkan pahala. Dan telah maklum bahwa Rasulullah Saw
pernah bermukim di Makkah pada tahun pembebasan kota Makkah selama sembilan
belas (19) hari tetapi beliau tidak melaksanakan umrah, padahal bila mau beliau
dengan mudah dapat melakukannya. Ini menunjukkan bahwa umrah berulang-ulang itu
tidak disyariatkan, karena selain hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw,
para Khulafaur Rasyidin pun tidak pernah melakukannya.[58]
Memang ulama
Fiqh berbeda pendapat mengenai hukum umrah berulang-ulang ini. Sebagian ada
yang membolehkan, dan sebagian lagi ada yang tidak membolehkan atau
memakruhkan. Abd
al-Rahman al-Jaziri, dalam bukunya al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah mengemukakan: “Dianjurkan memperbanyak atau
mengulang-ulang ibadah umrah, terutama di bulan Ramadlan sesuai dengan
kesepakatan tiga imam madzhab (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), kecuali Imam
Maliki yang memakruhkan”.[59]
Ulama
yang membolehkan umrah berulang-ulang berhujjah dengan hadis Aisyah di atas dan
hadis dari Abu Hurairah yang dikatakan oleh Nabi Saw bahwasanya satu kali umrah
ke umrah berikutnya dapat menjadi penghapus dosa di antara keduanya (HR.
al-Bukhari No. 1773; dan Muslim No. 3355).[60]
Ulama yang
tidak setuju dengan umrah berulang-ulang di antaranya adalah Ibn Taymiyah. Ia
mengatakan bahwa tidaklah disunnahkan umrah berulang-ulang, baik dari Makkah
atau dari selainnya. Mereka lebih utama (lebih baik) untuk memperbanyak tawaf
sebagaimana dulu para sahabat Nabi saat tinggal di Makkah memperbanyak tawaf
bukan memperbanyak umrah.[61]
Pandangan ini diperkuat oleh Syekh Abdullah bin Baz yang mengatakan bahwa apa
yang diperbuat oleh kebanyakan orang dengan memperbanyak umrah dari Tan’im,
Ji’ranah dan lain-lain itu, sesudah haji dan sebelum haji, maka hal itu tidak
ada dalil yang mensyariatkannya. Dalil-dalil yang ada justru lebih utama
meninggalkannya, karena Nabi Saw dan para sahabatnya dulu juga tidak melakukan
(umrah berulang kali) pada saat haji wadak.[62]
Ikhtitam
Sebagai bagian dari kajian Fiqh,
pembahasan mengenai manasik haji terus mengalami perkembangan. Demikian juga
bahasan manasik haji dalam HPT-1 ke HPT-3 juga ada perubahan, perkembangan, dan
penyesuaian. Hal ini terjadi karena beberapa hal, di antaranya karena jumlah
jamaah haji yang terus bertambah sementara tempat atau lokasi untuk beribadah
haji sudah tetap, sehingga perlu kebijakan baik mengenai fleksibilitas tata
cara (kaifiyah) atau keluasan tempat ibadah. Kebijakan ini didasarkan pada
prinsip atau kaidah fiqhiyah yang memudahkan dan meringankan (taysir) serta
tidak memberatkan dan tidak menyulitkan (‘adam al-haraj).
Munculnya perbedaan pandangan dalam
fiqh haji pun tak terelakkan, karena memang dimungkinkan dan dibenarkan adanya
perbedaan pendapat. Nabi Saw bahkan pernah bersabda: “Jika
seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun
jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala”(HR. al-Bukhari No.
3609 dan Muslim No. 2214). Karena itu
HPT-1 dan HPT-3 adalah salah satu hasil ijtihad (musyawarah) ulama Muhammadiyah
pada zamannya, yang memberikan konsekwensi sebagai sebuah fatwa yang boleh
diikuti oleh warganya dan siapa saja yang menerimanya.
Bilamana ada seseorang yang tidak
sependapat dengan HPT-1/HPT-3, maka tidak dilarang, asal yang bersangkutan bisa
mengemukakan dalil-dalil yang dapat diterima (maqbul). Sesuai prinsip yang
dipegangi oleh Muhammadiyah bahwa bila terjadi perbedaan pendapat dalam suatu
masalah, hendaknya dikembalikan (merujuk) kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
al-maqbulah.
Wallahu A’lam Bissawab !
Daftar Pustaka
Ahmad bin
Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal, I, ed. Syu’ayb al-Arnowt. al-Qahirah:
Muassasah Qurtubah, t.th.
al-Albani, Muhammad
Nashiruddin. Mukhtashar Irwa al-Ghalil, I. Bayrut: al-Maktab al-Islami,
1985.
___________.
Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II. al-Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t,th.
___________.
Sahih Abi Dawud, VI. Kuwayt: Muassasah Gharras Li al-Nasyr Wa
al-Tawzi’, 2002.
___________.
Al-Silsilah al-Da’ifah, III. Riyad: Dar al-Marif, 1992.
al-Bayhaqi,
Abu Bakar. Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, V. Makkah al-Mukarramah, Maktabah
Dar al-Baz, 1994.
Bin Baz,
Abdullah. Majmu’ Fatawa bin Baz, XVI/162.
al-Bukhari. Matn
al-Bukhari Bi hasyiah al-Sindi, I. Bairut: Dar al-Fikr,tt.
____________.
Sahih al-Bukhari, IV. al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987.
al-Dimasyqi,
Abd al-Qadir bin Badran. al-Madkhal Ila Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal,
I. Bayrut: Muassasah al-Risalah, 1401 H.
Ibn
Taymiyah. al-Fatawa al-Kubra, I. Bayrut: Dar al-Fikr, 1987.
____________.
al-Fatawa al-Kubra, V. Bayrut: Dar al-Ma’rifah, 1386.
____________.
Kutub Wa Rasail Wa Fatawa Ibn Taymiyah Fi al-Fiqh, XXVI. t.tp: Maktabah
Ibn Taymiyah, t.th.
Ibn
al-Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in, III. Bayrut: Dar al-Fikr, 2003.
al-Jazairi, Abd
al-Rahman. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, I. Bayrur: Dar al-Fikr, 1986.
Muslim. Sahih muslim, I. Bairut: Dar al-Fikr, 1988.
___________.
Sahih Muslim, IV. Bayrut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th.
al-Mubarakfuri. Tuhfat
al-Ahwadzi Bi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, III. Bayrut: Dar al-Kutub
al’Ilmiyah, t.th.
MTT-PPM. Himpunan Putusan
Tarjih Muhammadiyah 3. Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2018.
___________,
Tuntunan Manasik Haji. Yogjakarta: Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, 1998.
___________. Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama-2. Yogjakarta:
Suara Muhammadiyah, 2003.
PP. Muhammadiyah. Himpunan
Putusan Majelis Tarjih. Jogjakarta: PPM, t.th.
al-Syaukani. Nayl
al-Authar, V. t.tp: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyah, t.th.
al-Subki,
Tajuddin. al-Asybah Wa al-Nadha-ir, I. Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1991.
al-Tibrizi,
Muhammad bin Abdullah al-Khatib. Misykat al-Mashabih, III, ed.
Al-Albani. Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985.
al-‘Utsaimin, Muhammad b.Shalih. Fiqh al-‘Ibadat, 294-295.
Al-Zarkasyi.
al-Mantsur Fi al-Qawa’id, I. al-Kuwayt: Wizarat al-Awqaf Wa al-Syu’uniyah al-Diniyah, 1405 H.
al-Zuhaili,
Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, III. Suriyyah: Dar al-Fikr,
t.th.
Zuhdi Dh, Achmad.
et.al. Tuntunan Ibadah Haji dan Umrah Sesuai Sunnah Nabi Saw. Sidoarjo: KBIH
Jabal Nur, 2012.
[1]
Makalah disampaikan pada acara “Bedah Buku HPT-3” yang diselenggarakan oleh
MTT-PWM Jawa Timur pada Sabtu, 6 Juli 2019 di Surabaya.
[2]
Ketua Devisi Tarjih dan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur
2015-2020, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim 2022-2027.
[3]
PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih (Jogjakarta: PPM,
t.th), 188.
[4]
Ibid., 198. Teks hadis dapat dibaca dalam Kitab karya al-Syaukani, Nayl
al-Authar, V (t.tp: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyah, t.th), 36. Baca juga
al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi Bi Syarh Jami’ al-Tirmidzi, III
(Bayrut: Dar al-Kutub al’Ilmiyah, t.th), 468.
[5]
MTT-PPM, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah 3 (Yogjakarta: Suara
Muhammadiyah, 2018), 467.
[7]
HPT-3, 469-470.
[8] Muhammad Shalih al-Munajjid, Mawqi al-Islam Sual
Wa Jawab, V (http://www.islamqa.com.15
Nopember 2009), 4075.
[9]
HPT-1, 190.
[10]
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP.Muhammadiyah, Fatwa-Fatwa
Tarjih: Tanya Jawab Agama-2 (Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2003),
140.
[11]
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Mukhtashar Irwa al-Ghalil, I (Bayrut:
al-Maktab al-Islami, 1985), 25.
[12]
HPT-3, 471.
[13]
Ibid.
[14]
Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1987),
443-472; Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, III (Bayrut: Dar al-Fikr,
2003), 11-23.
[15]
Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, V (Bayrut: Dar al-Ma’rifah, 1386),
314.
[16]
HPT-1, 192; HPT-3, 474.
[17]
HPT-1, 210-211; HPT-3, 475.
[18]
Ibid., 476.
[19]
Tajuddin al-Subki, al-Asybah Wa al-Nadha-ir, I (Bayrut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1991), 23.
[20]
HPT-1, 192.
[21]
HPT-3, 478.
[22]
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II
(al-Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t,th), 106.
[23]
HPT-3, 480.
[24]
Abd al-Qadir bin Badran al-Dimasyqi, al-Madkhal Ila Madzhab al-Imam Ahmad
bin Hanbal, I (Bayrut: Muassasah al-Risalah, 1401 H), 298.
[25]
HPT-1, 193.
[26]
HPT-3, 481.
[28]
HPT-1, 194.
[29]
Ibid.
[30]
HPT-3, 484.
[31]
Ibid., 485.
[32]
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sahih Abi Dawud, VI (Kuwayt: Muassasah
Gharras Li al-Nasyr Wa al-Tawzi’, 2002), 213.
[33]
HPT-3, 486.
[34]
Ibid., 487.
[35]
Al-Zarkasyi, al-Mantsur Fi al-Qawa’id, I (al-Kuwayt: Wizarat al-Awqaf
Wa al-Syu’uniyah al-Diniyah, 1405 H ),
120.
[36]
HPT-1, 214; HPT-3, 483-484.
[37]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, I, ed. Syu’ayb al-Arnowt
(al-Qahirah: Muassasah Qurtubah, t.th), 427.
[38]
Abu Bakar al-Bayhaqi, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, V (Makkah
al-Mukarramah, Maktabah Dar al-Baz, 1994), 129.
[39]
Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Da’ifah, III (Riyad: Dar
al-Marif, 1992), 232.
[40]
Achmad Zuhdi Dh et.al, Tuntunan Ibadah Haji dan Umrah Sesuai Sunnah Nabi Saw
(Sidoarjo: KBIH Jabal Nur, 2012), 83.
[41]
HPT-3, 490.
[42]
HPT-1, 195.
[43]
HPT-3, 494-495.
[44]
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwa al-Ghalil, I (Bayrut: al-Maktab
al-Islami, 1985), 123.
[45]
HPT-3, 499.
[46]
MTT-PPM, Tuntunan Manasik Haji (Yogjakarta: Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, 1998), 129.
[47]
HPT-3, 501.
[48]
Muslim, Sahih Muslim, IV (Bayrut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th), 101.
[49]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, IV (al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987), 502.
[50]
Muhammad bin Abdullah al-Khatib al-Tibrizi, Misykat al-Mashabih, III,
ed. Al-Albani (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985), 126.
[51] Imam al-Bukhari dalam Kitab Sahihnya membuat
judul: بَابُ الْحَجِّ وَالنُّذُوْرِ عَنِ الْمَيِّتِ وَالرَّجُلِ يَحُجُّ عَنِ الْمَرْأَةِ
a. (bab
tentang haji dan nadzar dari orang yang mati dan haji orang laki-laki untuk
perempuan) باب الْحَجِّ عَمَّنْ لاَ يَسْتَطِيعُ الثُّبُوتَ عَلَى الرَّاحِلَة
b. (bab
tentang haji untuk orang yang tidak mampu duduk di atas kendaraan). Imam al-Bukhari, Matn al-Bukhari Bi hasyiah al-Sindi, Vol.I
(Bairut: Dar al-Fikr,tt), 318. Imam Muslim dalam
Kitab Sahihnya membuat judul: باب الْحَجِّ عَنِ الْعَاجِزِ لِزَمَانَةٍ وَهِرَمٍ وَنَحْوِهِمَا أَوْ لِلْمَوْت a.
(bab tentang haji
untuk orang yang lemah dikarenakan sakit yang tak ada harapan sembuh atau
karena ketuaan, dsb atau karena kematian). Imam Muslim, Sahih muslim, Vol.I (Bairut: Dar al-Fikr, 1988),
614.
[52] HPT-3, 506-507.
[53] Abd al-Rahman
al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Bayrur: Dar
al-Fikr, 1986), 706-710. Baca juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami
Wa Adillatuh, III (Suriyyah: Dar al-Fikr, t.th), 426-440.
[54]
HPT-3, 507.
[55]
Al-Albani, Sahih Abi Dawud, V, 405.
[56]
HPT-3, 508-509.
[57]
HPT-3, 513.
[59]
Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, I/ 1078.
[60]
al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, III/ 451.
[61]
Ibn Taymiyah, Kutub Wa Rasail Wa Fatawa Ibn Taymiyah Fi al-Fiqh, XXVI
(t.tp: Maktabah Ibn Taymiyah, t.th), 45.
[62]
Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa bin Baz, XVI/162.
😎 Bergaya Sambil Mencari Pahala, Kenapa Tidak 😎
BalasHapus.
Dengan Kaos Dakwah dari Gootick Apparel yang akan membuat penampilan teman-teman pasti berbeda dari yang lain 😍😍😍
.
Dengan bahan Material dari Catton Bamboo yang memiliki kualitas tidak perlu di ragukan dan Sablon yang Rapih dan Kuat. Baca Terlebih dahulu kelebihan dari Cotton Bamboo ==>> https://bit.ly/39lCBC7 <<==
Tersedia 5 tulisan bermakna Islami dan pilihan warna yang pastinya cocok di pakai untuk kegiatan sehari-hari yang akan terlihat Elegan dan Simple, Rapih dan Pastinya Keren.
.
"Promo HEMAT" Harga Normal Rp.100 K dan dapatkan potongan diskon harga sebesar Rp. 30 K.
.
Untuk informasi pemesanan silahkan klik link dibawah ini, untuk di arahk
.
Kaos Dakwah Terbaru
Testimoni di Instagram: #gootickapparel
.
Tunggu apalagi Langsung Ambil Promonya selagi masih Tersedia
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu