SUTRAH
Oleh:
Dr. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ
يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ
فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id, katanya: Aku
mendengar Nabi Saw bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu
yang dijadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba
lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. Jika ia enggan, maka
perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al-Bukhari No. 509).
Kandungan Hadis:
Hadis
tersebut menjelaskan tentang pentingnya memasang sutrah bagi orang yang hendak
melakukan shalat. Hal ini dimaksudkan agar orang yang sedang shalat dapat melakukannya
dengan khusyu’, tidak terganggu oleh orang lain yang bisa saja melewati di
depannya, yakni di tempat sujudnya. Jika sutrah sudah disiapkan, tetapi masih
ada orang yang melintasinya, maka orang itu harus dihadangnya, karena orang
yang nekat melewatinya dianggap atau bisa disamakan dengan setan, yang kerjanya
memang suka mengganggu orang yang sedang beribadah.
Beberapa
hadis yang menerangkan perlunya sutrah adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِى
سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ
فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ
بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرَّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Dari
Abu Sa’id, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, Apabila salah seorang di antara
kalian shalat hendaklah shalat menghadap kepada sutrah, dan mendekat kepadanya,
dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depannya, apabila seseorang datang
lewat di depannya, hendaklah ditolak dengan sekuat tenaga, karena sesungguhnya
ia adalah setan.(HR. Abu Dawud No. 698). Al-Albani: hasan shahih.
Dari Shaburah
bin Ma’bad ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ،
فَلْيَسْتَتِرْ لِصَلَاتِهِ، وَلَوْ بِسَهْمٍ
“Apabilah
salah seorang di antara kamu shalat, maka adakanlah sutrah meskipun dengan anak
panah.” (Hr. Ahmad No.
15340). Syu’ayb al-Arnout: Hasan
Abu Juhaim berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ
المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ
أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Kalau sekiranya
orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui hukuman yang menimpanya,
tentu ia berdiri selama 40 (Abu
Nashr: 40 hari, bulan, atau tahun?) lebih baik baginya daripada melewati orang yang sedang
salat”(HR. Al-Bukhari No. 510 dan Muslim No.
1160).
Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ibn
Faris menulis bahwa yang dimaksudkan dengan sutrah ( السترة) adalah: ما استترت به كائنا ما كان sesuatu yang menutupi atau menghalangi
sesuatu (Mu’jam Maqayis al-Lughah, III/132). Adapaun secara istilah,
yang dimaksud dengan sutrah adalah sesuatu yang diletakkan di depan orang yang
shalat berupa tongkat atau yang lain untuk dijadikan penghalang atau pembatas antara dia dengan sutrah itu agar tidak ada
orang yang melintasinya (al-Tibrizi, Misykat al-Mashabih, II/984). Definisi
ini dikuatkan oleh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Fiqhnya (al-Fiqh al-Islami
Wa Adillatuhu, II/118).
Hikmah
diletakkannya sutrah di depan orang yang shalat (khususnya bagi seoranag imam
dan yang shalat munfarid/sendirian) adalah untuk mengendalikan pandangan
mata dari benda-benda yang ada di luar area tempat sujud (di luar sutrah), dan
untuk mencegah orang yang mau melewatinya. Karena dengan meletakkan sutrah di
depannya, diharapkan tidak ada sesuatu yang akan mengganggu shalatnya, dan mengendalikan
pandangan matanya fokus pada tempat sujudnya (Sulaiman bin Muhammad
al-Luhaimid, Iqadz al-Afham Syarh ‘Umdat al-Ahkam, III/2-3).
Hukum Menghadap
Sutrah
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menghadap sutrah
ketika shalat. Dalam hal ini ada empat pendapat, yakni sebagai berikut:
1. Sunnah secara mutlak. Ini merupakan pendapat Syafi’iyyah dan salah satu
pendapat Imam Malik;
2. Mustahab (Sunnah) jika dikhawatirkan ada yang lewat. Ini merupakan
pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah;
3. Sunnah bagi imam dan munfarid. Ini pendapat Hanabilah (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,
XXIV/178);
4. Wajib. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm (al-Muhalla, IV/186) dan Al-Syaukani
(Nayl al-Authar, III/2). Pendapat ini didukung oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani (Tamam al-Minnah, I/300).
Ulama yang
cenderung wajib memakai sutrah bagi yang melaksanakan shalat, mereka
itu berpegang teguh pada hadis yang memerintahan shalat menghadap kepada sutrah,
seperti lafadz perintah فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ (shalatlah menghadap
sutrah) dan juga lafadz فَلْيَسْتَتِرْ (bersutrahlah), yang pada asalnya menghasilkan hukum wajib kecuali
terdapat qarinah (tanda-tanda) yang memalingkannya dari hukum
wajib. Alasan inilah yang dipegang oleh para ulama yang mewajibkan sutrah.
Beberapa hadis yang menjelaskan bolehnya shalat tanpa menghadap kepada sutrah,
dinilai oleh kelompok ulama ini sebagai hadis dhaif, yang tidak bisa dijadikan
hujjah.
Sedangkan ulama
lain, secara mayoritas (kebanyakan) berpendapat bahwa memakai sutrah ketika
shalat itu hanyalah Sunnah, tidak wajib. Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni bahkan mengatakan: “Kami tidak mengetahui
adanya khilaf tentang hukum mustahab (sunnah)
mengenai penggunaan sutrah dalam shalat” (Al Mughni, II/67).
Pandangan Ibnu Qudamah ini mendapatkan dukungan dari
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin yang menyatakan bahwa menggunakan
sutrah dalam shalat itu tidak wajib. Ini pendapat mayoritas ulama. Sutrah itu
bagian dari kesempurnaan shalat bukan dari syarat sahnya shalat. (Syahrul
Mumthi’, III/276). Lebih lanjut al-‘Utsaimin menunjukkan dalil-dalil yang
digunakan jumhur ulama tentang kesunnahan sutrah, yakni sebagai berikut:
Hadis Abu Sa’id Al
Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan
sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara
ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia,
karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al-Bukhari, 509).
Perkataan Nabi ‘jika salah seorang dari kalian
shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah‘ menunjukkan orang yang
shalat ketika itu terkadang shalat menghadap sesuatu dan terkadang tidak
menghadap pada apa pun. Karena konteks kalimat seperti ini tidak menunjukkan
bahwa semua orang di masa itu selalu shalat menghadap sutrah. Bahkan menunjukkan
bahwa sebagian orang menghadap ke sutrah dan sebagian lagi tidak menghadap ke
sutrah.
Hadis Ibnu
‘Abbas radhiallahu’anhuma: “Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok” (HR. Al Bukhari
76, 493, 861)
Hadis Ibnu
‘Abbas radhiallahu’anhuma: “Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak
terdapat apa-apa” (HR. Ahmad No. 1965, III/431, dan Al Baihaqi dalam al-Sunan
al-Kubra No. 3618, II/273). Hadis ini diperselisihkan keshahihannya, karena
di dalamnya terdapat perawi Al-Hajjaj bin Arthah yang statusnya “shaduq
katsiirul khata’ wat tadlis”, yakni orangnya tulus, banyak salah dan banyak
melakukan tipuan (al-Albani, Silsilat al-Ahadits al-Dha’ifah,
XII/679).
Namun hadis ini
memiliki jalan lain dalam Musnad Ahmad hadis No.
3017 dari Hammad bin Khalid ia berkata,
Ibnu Abi Dzi’bin menuturkan kepadaku, dari Syu’bah dari Ibnu ‘Abbas ia berkata:
“Aku pernah menunggangi keledai bersama Al-Fadhl (bin Abbas) dan melewati
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang sedang shalat
mengimami orang-orang di lapangan terbuka. Lalu kami turun dan masuk ke dalam
shaf, dan beliau tidak berkata apa-apa kepada kami tentang itu”. Semua perawi
hadits ini tsiqah kecuali Syu’bah, Ibnu Hajar berkata:
“ia shaduq, buruk hafalannya”. Menurut Syu’ayb al-Arnout hadis ini shahih (Musnad
Ahmad, V/151).
Hadis ini juga memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dalam Sunan-nya No. 718, dari Abdul Malik bin
Syu’aib bin Al Laits, ia berkata: ayahku menuturkan kepadaku, dari kakeknya,
dari Yahya bin Ayyub, dari Muhammad bin Umar bin Ali, dari Abbas bin
Ubaidillah, dari Al-Fadhl bin Abbas beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pernah datang kepada kami sedangkan kami sedang berada di gurun.
Bersama beliau ada ‘Abbas. Lalu beliau shalat di padang pasir tanpa menghadap
sutrah. Di hadapan beliau ada keledai betina dan anjing betina sedang
bermain-main, namun beliau tidak menghiraukannya”.
Dalam sanad hadis terdapat nama perawi Yahya bin Ayyub
oleh Ibnu Ma’in dikatakan: “tsiqah”,
sedangkan Abu Hatim Ar Razi menyatakan: ‘Ia menyandang sifat jujur, ditulis
hadisnya namun tidak dapat berhujjah denganya’. Ibnu Hajar mengatakan: ‘ia
shaduq, terkadang salah’. Insya Allah, statusnya shaduq. Karena
itu dalam kitab al-Dirayah Ibn Hajar mengatakan bahwa hadis tersebut
shahih (al-Dirayah Fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, I/180). Adapun perawi
yang lain tsiqah. Namun riwayat ini, menurut al-Albani, memiliki illah (cacat),
yaitu adanya inqitha pada Abbas bin Ubaidillah dari Al-Fadhl.
Ibnu Hazm dan Al-Syaukani menyatakan bahwa Abbas tidak pernah bertemu dengan
pamannya yaitu Al Fadhl (Tamamul Minnah, 1/305). Sehingga riwayat ini lemah
dalam pandangan al-Albani.
Dua jalan (hadis) di atas sudah cukup mengangkat derajat
hadis Ibnu ‘Abbas tersebut ke derajat hasan li ghairihi. Hadis ini
dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam ta’liq-nya
terhadap Musnad Ahmad (III/431). Al-Baihaqi mengatakan bahwa
hadis tersebut mempunyai syahid dengan sanad yang lebih shahih (al-Sunan
al-Kubra, II/273). Hal ini menjadi dalil yang cukup kuat untuk mengalihkan
isyarat wajibnya sutrah kepada hukum sunnah. Secara umum dikatakan oleh Syekh
al-‘Utsaimin bahwa dalil-dalil jumhur ulama yang memalingkan hukum wajib kepada
Sunnah adalah yang lebih kuat (al-Syarh al-Mumti ‘Ala Zad al-Mustaqni’,
III/277).
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
juga berpendapat bahwa memakai sutrah pada saat shalat itu hanyalah Sunnah
(tidak wajib) bagi seorang imam dan orang yang shalat secara munfarid/sendirian
(http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/03/25/fungsi-sutrah-dalam-shalat/2/).
Wallahu A’lam !