PACARAN
MENURUT ISLAM
Oleh:
Dr.H.Achmad
Zuhdi Dh, M.Fil I
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr.wb !
Ustadz Zuhdi yang
dirahmati Allah! Melalui rubrik konsultasi agama ini, saya ingin mengajukan
pertanyaan. Banyak kasus generasi muda khususnya para remaja di negara kita
yang suka berpacaran. Apakah Islam membolehkan adanya pacaran? Seberapa jauh
batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan? Terima kasih. (Arrizqi
Rizaldi kelas 7D SMPM-1 Sidaarjo)
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan tersebut
perlu difahami dulu apa yang dimaksud dengan pacaran atau berpacaran. Menurut
KBBI, berpacaran adalah bercintaan; berkasih-kasihan.
Misalnya, kedua remaja itu sudah berpacaran sejak mereka duduk di kelas tiga SMTA
(http://kbbi.kata.web.id).
Menurut definisi yang lain, pacaran merupakan
proses perkenalan antara dua insan manusia yang
biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang
dikenal dengan
pernikahan
(https://id.wikipedia.org/wiki).
Bila yang dimaksud berpacaran itu
sebagaimana pada pengertian yang pertama, yaitu bercintaan; berkasih-kasihan,
yang biasanya dilakukan dengan cara berdua-duaan, saling berpegangan, bahkan
berciuman, maka berpacaran seperti itu hukumnya haram atau dilarang. Larangan
ini berdasarkan dalil-dalil, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis, yakni sebagai
berikut:
1.
Firman Allah Swt QS. Al-Isra ayat 32:
وَلاَ
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS
Al-Isra:32)
2.
Hadis Nabi Saw, dari Ibn Abbas ra:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ
وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري و مسلم)
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki
berkhalwat (bersepi-sepian) dengan seorang perempuan kecuali beserta ada
mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir (bepergian) kecuali
beserta ada mahramnya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
3.
Hadis Nabi Saw, dari Ma’qil bin Yasar:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ
رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا
تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang
dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita
yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir XX/ 211.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Berdasarkan ayat al-Qur’an dan dua
hadis tersebut di atas, maka jelaslah bahwa model pacaran seperti dalam
pengertian pertama, yaitu bercintaan dan berkasih-kasihan, yang mengarah kepada perbuatan zina, dengan
melakukan perbuatan berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahramnya, dan saling bersentuhan, berciuman dan seterusnya,
maka pacaran seperti itu hukumnya haram.
Sedangkan berpacaran dalam
pengertian yang kedua, yaitu pacaran
sebagai proses perkenalan antara dua insan manusia yang
biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang
dikenal dengan pernikahan atau yang biasa dinamakan dalam
proses “ta’aruf”, maka hal ini diperbolehkan, dengan syarat:
Pertama,
tidak
melakukan perbuatan yang dapat mengarahkan kepada perbuatan zina, seperti berdua-duaan dengan lawan jenis
ditempat yang sepi, bersentuhan termasuk bergandengan tangan, berciuman, dan
lain sebagainya;
Kedua,
harus
menjaga mata atau mengendalikan pandangan yang mengarah pada timbulnya hawa
nafsu. Sebab pandangan itu bisa menimbulkan fitnah yang sering membawa kepada
perbuatan zina;
Ketiga, menutup
aurat, terutama kaum wanita yang sering mengabaikannya atau kurang memperhatikannya.
Dalam hal ini sangat diwajibkan kepada kaum wanita untuk menjaga aurat dan
dilarang memakai pakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, kecuali untuk
suaminya. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah Saw bersabda:
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ
الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ
مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ
الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ
كَذَا وَكَذَا
“Dua golongan dari penduduk
neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu: Suatu kaum yang memiliki cambuk,
seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi
telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang
miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium
baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini.” (HR.Muslim).
Ibnu‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan:
أراد صلى الله عليه و
سلم النساء اللواتي يلبسن من الثياب الشيء الخفيف الذي يصف ولا يستر فهن كاسيات بالاسم
عاريات في الحقيقة
“Makna yang
dimaksud oleh Nabi Saw (tentang kasiyatun
‘ariyatun) adalah
para wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk
tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi
dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada
hakikatnya mereka telanjang.” (M.Nashiruddin al-Albani, Jilbab al-Mar’ah Al Muslimah, I/125-126).
Bila
berpacaran yang dilakukannya dapat menjaga batas-batas tersebut, maka pacaran atau
ta’aruf yang dilakukannya dapat dibenarkan, dengan kata lain hukumnya boleh.
Namun, persoalannya, sanggupkah berpacaran tanpa berpandang-pandangan,
berpegangan, bercanda ria, berciuman, dan lain sebagainya….?
Bila
sanggup, boleh saja. Karena betapapun, diperlukan untuk mengenali lebih jauh
untuk menjadikan seseorang sebagai calon pendaming hidupnaya kelak.
Wallahu
A’lam bishshawab !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar