MANA YANG LEBIH
MULIA
ORANG MISKIN YANG
SABAR ATAU ORANG KAYA YANG SYUKUR
Oleh:
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb!
Ust. Achmad Zuhdi yang
dirahmati Allah!
Mohon penjelasan mengenai sebuah amal. Mana yang lebih mulia, orang miskin
yang bersabar atau orang kaya yang bersyukur? Terima kasih sebelumnya. (Abdullah,
Sidoarjo)
Jawab:
Jika kita ditanya mana di
antara dua keadaan yang dipilih, jadi orang miskin yang sabar atau orang kaya
yang syukur, barangkali banyak di antara kita yang memilih jadi orang kaya yang
syukur. Karena yang terbayang di benak kita jika menjadi orang kaya pastinya
hidup nyaman, bisa berbagi uang, dan kehidupan kita menjadi terpandang serta disukai banyak
orang. Sedangkan jika menjadi orang miskin, yang terbayang di
benak kita adalah kehidupan yang menderita, serba kekurangan, dan kurang
diperhatikan orang.
Sekarang yang menjadi permasalahan adalah mana yang lebih utama, menjadi miskin yang sabar
atau kaya yang syukur? Dalam hal ini ada tiga pendapat yang masyhur, yakni
sebagai berikut:
Pertama: Orang miskin yang bersabar
lebih utama.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas Shufiyyah
(ahli tasawwuf) dan banyak ahli fiqh. Termasuk dalam kelompok ini adalah
al-Junaid. Di antara alasan yang digunakan adalah, bahwa cobaan kemiskinan
lebih berat untuk dirasakan dibandingkan cobaan kekayaan. Imam al-Ghazali(Ihya
‘Ulum al-Din, III/264) berpendapat bahwa secara umum kefakiran itu lebih utama
dibandingkan dengan kekayaan. Pada bagian lain al-Ghazali (Ihya ‘Ulum al-Din,
IV/140) mengatakan:
فَرُبَّ فَقِيْرٍ صَابِرٍ أَفْضَلُ مِنْ
غَنِيٍّ شَاكِرٍ كَمَا سَبَقَ وَرُبَّ غَنِيٍّ شَاكِرٍ أَفْضَلُ مِنْ فَقِيْرٍ صَابِرٍ
وَذَلِكَ هُوَ الْغَنِيُّ الَّذِيْ يَرَىْ نَفْسَهُ مِثْلَ الْفَقِيْرِ إِذْ لاَ يُمْسِكُ
لِنَفْسِهِ مِنَ الْمَالِ إِلاَّ قَدْرَ الضَّرُوْرَةِ وَالْبَاقِيْ يُصْرِفُهُ إِلَى
الخْيَرْاَتِ
“Berapa banyak orang
faqir yang bersabar dan lebih utama dibandingkan dengan orang kaya yang
bersyukur. Begitu pula sebaliknya, berapa banyak orang kaya yang bersyukur yang
lebih utama dibandingkan dengan orang faqir yang sabar. Mereka itu adalah orang
kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang faqir. Ia tidak memegang harta
untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat, dan selebihnya ia gunakan
untuk hal-hal kebaikan.”
Dari Abū Hurairah, Nabi bersabda:
يَدْخُل فُقَرَاءُ الْمسْلمِينَ الْجنّةَ قَبْلَ أغْنِيَائِهِم
بِنِصْفِ يَوْمٍ، وَهُوَ خَمْسُمِائَة عَامٍ
“Orang-orang faqir di kalangan kaum muslimin kelak akan mendahului
orang-orang kaya mereka dalam hal masuk surga selama setengah hari (di
akhirat), yaitu lima ratus tahun.” (HR. al-Tirmidzi). Al-Albani: hadis ini
shahih (Shahih al-Tarhib Wa al-Tarhib, III/132).
Hadis tersebut difahami oleh kelompok
pertama sebagai dalil bahwa orang faqir yang sabar itu lebih utama daripada orang kaya yang bersyukur.
Kedua: Orang kaya yang bersyukur lebih
utama.
Pendapat ini dipilih oleh sejumlah
ulama. Di antara tokoh yang memilih pendapat ini adalah Ibn Qutaibah, Abu al-Abbas,
Ibn Atha’, Abu ‘Ali al-Daqqaq (guru Abu al-Qasim
al-Qusyairi) dan banyak ulama madzhab Syafi’i.
Di antara alasan yang digunakan kelompok ini adalah bahwa kekayaan merupakan
sifat Allah sedangkan kefakiran merupakan sifat makhluk, sementara sifat Allah
tentu lebih baik dibandingkan sifat makhluk. Di antara hadis yang menjadi dalil
bagi mereka yang berpendapat bahwa orang kaya yang syukur lebih utama daripada
orang miskin yang sabar adalah hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar yang menyebutkan bahwa sebagian Sahabat mengadu kepada
Nabi:
يَا رَسُولَ اللّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ. يُصَلُّونَ
كَمَا نُصَلِّي. وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ. وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Ya Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa
pahala-pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana
kami puasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk bersedekah,
(sementara kami tidak memiliki harta untuk disedekahkan) HR. Muslim No. 2376).
Imam al-Nawawi (Syarh
Nawawi ‘Ala Muslim, II/372) berkata: “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi
mereka bahwa orang kaya yang bersyukur itu lebih utama dibandingkan dengan orang
miskin yang bersabar. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang
masyhur di kalangan Salaf dan Khalaf dari berbagai kalangan”.
Ketiga, keduanya sama-sama mulia.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai
keutamaan suatu hal dari yang lainnya, di antaranya beliau ditanyakan mengenai
manakah yang lebih utama antara orang kaya yang pandai bersyukur atau orang
miskin yang selalu bersabar. Lalu beliau jawab dengan jawaban yang sangat
memuaskan, “Yang paling utama di antara keduanya adalah yang paling bertakwa kepada Allah Swt. Jika orang kaya dan orang miskin tadi sama dalam
ketakwaannya, maka berarti mereka sama derajatnya, sama-sama mulianya.”(Majmu’
al-Fatawa, XI/21).
Ibnul Qoyyim ra (Madarijus Salikin, 2/442)
mengatakan:
أَنَّ التَّفْضِيْلَ لاَ يَرْجِعُ إِلَى
ذَاتِ الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَإِنَّماَ يَرْجِعُ إِلَى الْأَعْمَالِ وَالْأَحْوَالِ
وَالْحَقَائِقِ …..فَإِنَّ
التَّفْضِيْلَ : عِنْدَ اللهِ تَعاَلَى بِالتَّقْوَى وَحَقَائِقِ الْإِيْمَانِ لاَ
بِفَقْرٍ وَلاَ غِنَى
“Bahwasanya
keutamaan di antara orang kaya dan orang miskin itu tidak kembali pada miskin
atau pun kayanya, tetapi semua itu kembali kepada amalan, keadaan, dan
hakikatnya. … Keutamaan di antara keduanya(orang kaya dan orang miskin) di sisi Allah dilihat dari ketakwaan, hakikat
iman, bukan dilihat dari miskin atau kayanya”.
Karena
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13)
Dalam ayat tersebut, Allah tidak mengatakan
bahwa yang paling mulia adalah yang paling kaya di antara kalian atau yang
paling miskin di antara kalian. Lebih lanjut Ibn al-Qayyim (Uddat
al-Shabirin, I/126) mengatakan bahwa yang menentukan kemuliaan itu karena
takwanya. Karena itu, jika keduanya (yang miskin dan yang kaya) itu sama
tingkat ketakwaannya kepada Allah, maka keduanya sama-sama mulia dan sama
derajatnya di sisi Allah. (Baca juga Ibn Taymiyah, Risalah Fi al-Shufiyah Wa
al-Fuqara, I/7).
Dalam sejarah
kenabian, kita mengenal dua sosok Nabi yang kondisinya sangat kontras
(berkebalikan). Yang pertama Nabi Ayyub, sebagai sosok Nabi yang dikenal sangat
penyabar, di tengah ujian sangat berat yang beliau alami. Sebelumnya, Ayub
adalah orang salih yang sangat kaya, hartanya melimpah dan memiliki banyak
anak. Allah mengujinya, dengan membalik keadaannya. Hebatnya, datangnya semua
ujian itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Semua anaknya diambil
berikut hartanya. Sanak kerabatnya menjauhinya, hingga beliau harus keliling
dari satu sampah ke sampah untuk mendapatkan sesuap makanan. Sampai akhirnya
beliau sakit parah, tidak ada bagian kulit seluas titik jarum yang sepi dari
penyakit. Semua orang menjauhinya, selain satu istrinya yang setia
mendampinginya, karena imannya kepada Allah. Semoga Allah meridhai istri Ayub. Cobaan
yang dialami Nabi Ayyub ini terjadi sekitar selama 18 tahun. (Tafsir Ibn
Katsir, 7/74). Beliau tetap sabar dalam menghadapi kemiskinan dan
penderitaannya.
Yang kedua, Nabi
Sulaiman sebagai sosok yang dikenal sangat pandai bersyukur, di tengah
melimpahnya fasilitas dunia yang beliau miliki. Beliau menjadi raja yang
kekuasaannya meliputi alam manusia, jin, dan binatang. Itulah doa beliau yang
Allah kabulkan, sehingga beliau menjadi penguasa paling hebat di antara manusia.
Doa beliau telah diabadikan dalam QS. Shad, 35: “Wahai Rabku, berikanlah aku
kerajaan yang tidak layak untuk dimiliki oleh seorangpun sesudahku.
Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pemberi”. Beliau juga berdoa meminta kepada
Allah agar dijadikan sebagai hambaNya yang pandai bersyukur (QS.al-Naml, 19).
Dari dua sosok
Nabi tersebut, yakni Nabi Ayyub yang tetap sabar saat diuji dengan kemiskinan
dan penderitaan, dan Nabi Sulaiman yang tetap bersyukur saat dikaruniai
kejayaan dalam berbagai hal, Allah ingin memberikan pelajaran kepada manusia bagaimana
seharusnya bersikap, baik di kala miskin maupun kaya. Dan, Allah tidak
membedakan di antara keduanya dalam kemuliaannya, karena keduanya sama-sama
tinggi ketakwaannya. Wallahu A’lam !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar