Sabtu, 09 November 2024

HUKUM SALAT BERPAKAIAN NAJIS

 HUKUM SALAT BERPAKAIAN NAJIS

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan

            Suatu saat kami sedang dalam perjalanan ke tempat wisata. Tak sengaja, saat ke toilet percikan najis mengenai celana kami. Saat itu kami mau salat tetapi tidak memiliki pakaian pengganti yang suci. Padahal waktu salat hampir habis. Dalam keadaan demikian (darurat), bolehkah kami salat dengan berpakaian najis? Demikian, atas jawabannya saya sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’! (Mohammad Sholeh, Sidoarjo).

Pembahasan:

Berpakaian suci adalah termasuk syarat sahnya salat. Beberapa hadis yang menerangkan pentingnya berpakaian suci ketika salat diterangkan dalam beberapa hadis, di antaranya hadis dari Abu Said al-Khudri ra., Nabi saw.  bersabda:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، فَإِنْ رَأَى فِيهِمَا أَذًى فَلْيُمِطْ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

Apabila kalian hendak masuk masjid, hendaknya dia membalikkan (melihat) sandalnya. Jika dia lihat ada najis, hendaknya dia bersihkan, dan (setelah itu) silahkan digunakan untuk salat (HR. al-Darimi 1378 dan al-Hakim 955). Al-Albani menilai bahwa hadis ini sahih (al-Albani, Asl Sifat Salat al-Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam, I/108-109).

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Malaikat Jibril as. telah datang kepadaku, lalu memberitahukan kepadaku bahwa di sepasang sandal itu ada najisnya.” Selanjutnya beliau bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah, jika ia melihat di sepasang sandalnya terdapat najis atau kotoran maka bersihkanlah, dan salatlah dengan sepasang sandalnya itu” (HR. Abu Dawud 650). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, Sahih Abi Dawud, II/241).

            Dua hadis tersebut menerangkan bahwa setiap hendak melakuan salat harus menggunakan pakaian yang suci atau bersih dari najis. Nah, bagaimana kalau kita hendak salat ternyata pakaiannya kotor, kena najis dan saat itu kita tidak tersedia pakaian pengganti yang suci, sementara waktu salat hampir habis? Bolehkah salat dengan berpakaian najis?

            Dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi berganti pakaian yang suci (dalam keadaan darurat), maka ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya:

Kelompok Ulama Pertama, berpendapat bahwa orang itu harus tetap salat dengan menggunakan pakaian seadanya walaupun pakiannya itu terkena najis. Pendapat ini dipegangi oleh ulama Malikiyah dan Hanabilah. Dalam pandangan ulama Malikiyah, jika nanti sudah menemukan pakaian pengganti yang suci maka ia harus mengulangi salatnya.  

Sedangkan dalam pandangan ulama Hanabilah mengatakan bahwa dalam keadaan terpaksa, tidak tersedia pakaian kecuali yang sudah terkena najis itu, maka ia harus salat dengan pakaian yang terkena najis itu dan tidak boleh salat dalam keadaan telanjang, dan secara mutlak ia harus mengulanginya (Abdullah al-Faqih, Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah Muaddalah, VI/3465).

Ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 1223 M) mengatakan:

وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا ثَوْبًا نَجِسًا صَلَّى فِيهِ وَأَعَادَ عَلَى الْمَنْصُوصِ، وَيَتَخَرَّجُ أَنْ لَا يُعِيدَ بِنَاءً عَلَى مَنْ صَلَّى فِي مَوْضِعٍ نَجِسٍ لَا يُمْكِنُهُ الْخُرُوجُ مِنْهُ، فَإِنَّهُ قَالَ لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ.

"Barang siapa tidak menemukan kecuali pakaian najis, maka ia boleh salat dengan pakaian itu dan mengulang salatnya menurut pendapat yang tertulis (pendapat resmi). Namun, ada pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak perlu mengulangi lagi salat berdasarkan pendapat bahwa orang yang salat di tempat najis yang ia tidak bisa keluar darinya, maka dikatakan tidak ada kewajiban mengulang (salat) atasnya" (Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’ Fi Syarh al-Muqni’, I/369).

            Kelompok Ulama Kedua, berpendapat bahwa tidak boleh secara mutlak salat dengan menggunakan pakaian yang terkena najis. Kalau ia mau salat dan tidak ada pakaian yang suci, maka ia salat dalam keadaan telanjang, dan bila sudah salat maka ia tidak perlu mengulanginya lagi. Ini adalah pendapat Imam Syafii dan ulama Syafiiyah.

            Imam Syafii (w. 820 M) dalam kitab al-Umm mengatakan:

وَلَوْ أَصَابَتْ ثَوْبَهُ نَجَاسَةٌ ولم يَجِدْ مَاءً لِغُسْلِهِ صلى عُرْيَانًا وَلَا يُعِيدُ ولم يَكُنْ له أَنْ يصلى في ثَوْبٍ نَجِسٍ بِحَالٍ وَلَهُ أَنْ يصلى في الْإِعْوَازِ من الثَّوْبِ الطَّاهِرِ عُرْيَانًا

Jika pakaiannya terkena najis, sementara dia tidak memiliki air untuk membersihkannya, maka dia salat dengan telanjang, dan tidak perlu mengulanginya. Dia tidak boleh salat dengan pakaian najis sama sekali. Ia boleh salat dengan telanjang ketika tidak mendapatkan pakaian yang suci (Imam al-Syafi’i, al-Umm, 1/74).

            Kelompok Ulama Ketiga, berpendapat bahwa bila tidak mendapatkan pakaian kecuali hanya yang terkena najis, sementara waktu salat akan habis dan tidak ada kesempatan untuk mencucinya, maka ia boleh salat dengan pakaian yang terkena najis itu. Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah. Secara rinci Imam al-Kasani al-Hanafi menerangkan sebagai berikut:

فَإِنْ كان رُبْعُهُ طَاهِرًا لم يُجْزِهِ أَنْ يُصَلِّيَ عُرْيَانًا بَلْ يَجِبُ عليه أَنْ يُصَلِّيَ في ذلك الثَّوْبِ لِأَنَّ الرُّبْعَ فما فَوْقَهُ في حُكْمِ الْكَمَالِ

Jika seperempat dari pakaian yang dikenakan itu masih suci, maka ia tidak boleh salat dengan telanjang. Bahkan wajib baginya untuk salat dengan pakaian yang terkena najis itu. Karena bila pakaian yang dikenakan itu, yakni yang suci minimal seperempatnya, maka sifatnya dipandang sama dengan sempurna (al-Kasani, Bada-i’ al-Sana-i’, I/117).

            Lebih lanjut al-Kasani (w. 1191 M) menerangkan:

وَإِنْ كان كُلُّهُ نَجِسًا أو الطَّاهِرُ منه أَقَلَّ من الرُّبْعِ فَهُوَ بِالْخِيَارِ في قَوْلِ أبي حَنِيفَةَ وَأَبِي يُوسُفَ إنْ شَاءَ صلى عُرْيَانًا وَإِنْ شَاءَ مع الثَّوْبِ لَكِنَّ الصَّلَاةَ في الثَّوْبِ أَفْضَلُ وقال مُحَمَّدٌ لَا تُجْزِئُهُ إلَّا مع الثَّوْبِ

Jika pakaian yang dikenakan semuanya terkena najis atau bagian yang suci kurang dari seperempat, maka dia boleh memilih, ini menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Bila mau, dia boleh salat dengan telanjang, dan boleh juga salat dengan pakaian yang terkena najis itu. Namun salat dengan pakaian yang terkena najis itu lebih utama ketimbang salat dengan telanjang. Muhammad bin Hasan (salah satu murid senior Abu Hanifah) berkata bahwa salatnya tidak sah, kecuali dengan mengenakan pakaian (al-Kasani, Bada-i’ al-Sana-i’, 1/117).

            Menurut ulama kontemporer, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 2001 M), apabila najis yang menempel di pakaian itu tidak bisa dihilangkan, padahal telah tiba waktu salat dan ia dalam perjalanan serta khawatir akan habisnya waktu salat, maka yang bisa dilakukan adalah meminimalisir najis yang ada pada pakaian itu sebisa mungkin. Yang tidak mungkin dihilangkan atau diringankan dari kenajisan tersebut berarti tidak menjadi masalah (dimaklumi), karena Allah telah berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ  

Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!  (QS. Al-Taghabun, 16).

            Lebih lanjut al-Utsaimin mengatakan bahwa seseorang bisa salat dengan pakaian tersebut walaupun najis (karena terpaksa) dan tidak wajib mengulangi salatnya. Beliau mengatakan:

فَتُصَلِّي باِلثَّوْبِ وَلَوْ كَانَ نَجساً وَلاَ إِعَادَةَ عَلَيْكَ عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ

“Engkau boleh salat dengan pakaian itu walau sudah terkena najis, dan tidak perlu mengulanginya berdasarkan pendapat yang kuat”.

Al-Utasimin kemudian memberikan argumen bahwa yang demikian itu adalah bagian dari takwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupan yang dimilikinya. Apabila seseorang telah melaksanakan ketakwaan sesuai dengan kemampuan yang ada padanya maka dia dipandang telah melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas dirinya, dan siapa saja yang telah berusaha maksimal untuk melaksanakan apa yang diwajibkan atas dirinya maka orang itu telah terbebas dari segala kewajiban (Al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa Wa Rasa-il al-Utsaimin, XII/368).

Menurut Himpunan Putusan Tarjih (HPT-3, hal.673), jika pakaian seseorang terkena najis salah satu dari yang telah disebutkan (kotoran manusia, muntah, air madzi wadi, dan lain lain), maka pakaiannya tidak sah digunakan untuk salat. Ia harus menanggalkannya dan menggantinya dengan yang lain. Namun dalam kondisi terjadi bencana (kondisi terpaksa), di mana tidak memungkinkan untuk berganti pakaian yang bersih dan suci, maka hal tersebut dapat dimaklumi (dibolehkan salat dengan pakaian yang terkena najis itu) dan salatnya tadi menjadi sah. Tidak perlu diulang.

Kewajiban salat tetap harus ditunaikan oleh setiap orang muslim sekalipun salah satu syarat sahnya tidak bisa terpenuhi. Inilah yang disebut sebagai kondisi darurat, kondisi terpaksa, yang menyebabkan terjadinya pengecualian. Dalam kaidah usul fiqih disebutkan:

الضَّروراتُ تُبيحُ المحظُوراتِ

Kondisi darurat dapat membolehkan sesuatu yang tadinya dilarang (Abd al-Qadir Ibn Badran, al-Madkhal, I/298).

            Maksudnya, salat yang dilakukan dengan menggunakan pakaian yang terkena najis pada dasarnya hukumnya tidak sah. Karena salah satu syarat sahnya salat adalah dengan menggunakan pakaian yang suci. Namun, bila kondisinya terpaksa (darurat), yakni tidak memungkinkan lagi untuk berganti pakaian yang suci, sementara waktu salat hampir habis, maka dalam keadaan demikian, meskipun pakaiannya terkena najis, salatnya dihukumi sah dan tidak perlu mengulang. Wallahu A’lam!

             (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur pada Novenber 2024)