Kamis, 07 Agustus 2025

MURUR DAN TANAZUL PROGRAM HAJI MUTAKHIR

                                        MURUR DAN TANAZUL

 

                                                                    Oleh

 
Prof.Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan

            Assalamu’alaikum wr.wb.!

            Prosesi haji tahun ini direncanakan ada sekema baru, terutama bagi Jemaah Haji Indonesia yang berangkat tahun 2025, yaitu program murur dan tanazul. Melalui rubrik Konsultasi Agama Majalah MATAN ini saya mohon kepada Pengasuh kiranya berkenan memberikan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan murur dan tanazul, dan bagaimana hukumnya menurut Tarjih Muhammadiyah? Atas perkenannya kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Umi Istiqamah, Sidoarjo).

Pembahasan

            Wa’alaikumussalam wr.wb.!

            Sebelum membahas tentang apa yang dimaksud dengan murur dan tanazul program haji mutakhir oleh Pemerintah (Kemenag RI), mari kita ingat kembali tentang apa saja yang dilakukan oleh jemaah haji pada saat melakukan prosesi ibadah haji.

Prosesi Haji

            Secara garis besar dapat diterangkan bahwa prosesi manasik haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah untuk ihram haji dari hotel masing-masing di Makkah. Saat hendak memulai ihram haji, jemaah haji terutama kaum pria diharuskan memakai kain dua lembar yang disebut dengan kain ihram, tidak boleh memakai yang lain. Sementara kaum wanita boleh berpakaian apa saja yang dapat menutup auratnya, diutamakan yang berwarna putih. Pada hari itu, yang disebut hari Tarwiyah, para jemaah haji disunahkan berangkat menuju Mina.

Namun, dengan pertimbangan menghindari kepadatan dan kesulitan yang dihadapi jemaah, Pemerintah Indonesia memberangkatkan jemaah haji langsung menuju ke Arafah. Bagi jemaah yang mengikuti kegiatan Tarwiyah di Mina, mereka tinggal di sana hingga Subuh. Setelah matahari terbit baru berangkat menuju ke Arafah.

            Selanjutnya, tanggal 9 Zulhijah Wukuf di Arafah, dimulai saat waktu Zuhur tiba dan berakhir hingga Magrib. Kegiatan wukuf dimulai dengan Khutbah Arafah, kemudian azan zuhur, ikamah, salat zuhur dua rakaat, ikamah lagi, lalu salat asar dua rakaat dilakukan dengan jamak-qasar takdim.

            Tanggal 9 malam 10 Zulhijah, setelah Magrib, jemaah haji diberangkatkan menuju Muzdalifah. Kegiatan yang dilakukan di Muzdalifah adalah mabit (bermalam) hingga Subuh. Di Muzdalifah melakukan salat magrib dan isyak dilakukan dengan jamak qasar takhir, kemudian istirahat semalam hingga Subuh. Setelah salat Subuh, para jemaah diberangkatkan menuju ke Mina.

            Tanggal 10 Zulhijah pagi, di Mina, jemaah melempar jamrah aqabah (yang ketiga) saja. Setelah itu, jemaah bisa mencukur rambutnya. Dengan telah selesainya lempar jamrah aqabah dan mencukur rambutnya, maka jemaah sudah bisa tahalul awal. Saat itu jemaah sudah boleh menanggalkan larangan ihram termasuk pakaian ihramnya dan berganti dengan pakaian biasa, tetapi belum boleh berkumpul suami-isteri (jimak).

            Tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah di Mina, setiap harinya Jemaah melempar jamrah ula (pertama), wusta (Tengah/kedua), dan aqabah (terakhir/ketiga), dan bermalam di Mina. Masing-masing jamrah dilempar 7 kali. Selain itu bisa juga melaksanakan penyembelihan hewan hadyu.

            Sebagai pilihan, tanggal 12 Zulhijah boleh meninggalkan Mina untuk kembali ke Makkah (nafar awal), atau tanggal 13 Zulhijah baru meninggalkan Mina untuk kembali ke Makkah (nafar sani). Sesampai di Makkah, bisa melaksanakan tawaf ifadah dan sai. Selanjutnya tahalul sani. Dengan tahalul sani, maka selesailah seluruh rangkaian ibadah haji.

Program Murur

            Yang dimaksud dengan program murur adalah sebuah inovasi dalam manajemen pergerakan jemaah haji pada saat puncak ibadah, khususnya setelah wukuf di Arafah. Saat itu jemaah haji diberangkatkan dari Arafah setelah ibadah maghrib lalu menuju Muzdalifah tanpa turun dan langsung menuju Mina. Murur artinya lewat.

            Sesuai syariat, setelah wukuf di Arafah lalu mabit (bermalam) di Muzdalifah sampai waktu Subuh. Hal ini sesuai dengan amalan Nabi saw: Dari Jabir, ia berkata, … sampai di Muzdalifah beliau melakukan salat Magrib dan Isya dengan satu kali azan dan dua ikamah dan beliau tidak melakukan salat antara keduanya, kemudian Rasulullah saw tidur hingga terbit fajar, lalu beliau salat Subuh ketika waktu subuh tiba dengan azan dan ikamah” (HR. Muslim 3009).

            Dalam program murur, jemaah haji tidak melakukan mabit di Muzdalifah hingga Subuh, tetapi sekedar lewat saja, selanjutnya dibawa ke Mina. Peralihan kegiatan mabit menjadi murur ini diberlakukan bagi jemaah yang mengalami uzur, dan ini dibenarkan oleh syariat berdasarkan hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: نَزَلْنَا الْمُزْدَلِفَةَ، فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَةُ أَنْ تَدْفَعَ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ، وَكَانَتِ امْرَأَةً بَطِيئَةً، فَأَذِنَ لَهَا، فَدَفَعَتْ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ،وَأَقَمْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا نَحْنُ، ثُمَّ دَفَعْنَا بِدَفْعِهِ، فَلَأَنْ أَكُونَ اسْتَأْذَنْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا اسْتَأْذَنَتْ سَوْدَةُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ مَفْرُوحٍ بِهِ )رواه البخاري(

Dari Aisyah ra., ia berkata: “kami sampai di Muzdalifah, kemudian Saudah (isteri Nabi) meminta izin Nabi saw. untuk berangkat mendahului rombongan. Saudah sendiri merupakan perempuan yang lambat (karena gemuk). Lalu Nabi mengizinkannya, sehingga ia berangkat mendahului rombongan, adapun kami tetap di sana (bermalam di Muzdalifah) sampai subuh, baru kemudian kami menyusul. Sungguh, meminta izin bagiku ke Rasulullah saw sebagaimana meminta izinnya Saudah adalah sesuatu yang paling aku cintai daripada hal yang menyenangkan (HR. al-Bukhari 1681).

            Menurut Majelis Tarjih, hadis tersebut mengandung dua makna. Pertama, menunjukkan bahwa, pada prinsipnya mabit harus dilaksanakan di Muzdalifah hingga subuh sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. Namun, apabila ada kesulitan yang menjadi alasan (uzur) yang dibenarkan oleh syariat, seperti yang dialami oleh Saudah, maka kegiatan bermalam (mabit) boleh diganti dengan cukup melewati (murūr) lalu turun atau tetap di atas kendaraan, selanjutnya menuju Mina.

            Makna kedua, menjadi dasar kebolehan skema murūr yang direncanakan oleh Pemerintah sebagai pengganti mabit di Muzdalifah bagi kelompok risiko terkena penyakit (riski), lansia, difabel dan para pendamping. Dalam skema yang dirilis oleh Pemerintah disebutkan, murūr akan berlangsung pada tanggal 9 malam 10 Zulhijah dari pukul 19.00-22.00 waktu Arab Saudi. Jemaah akan bergerak dari Arafah, melewati Muzdalifah, tidak turun dan langsung menuju Mina. Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan:

إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلى الْبَدَلِ

Apabila hukum asal (pokok) sulit untuk direalisasikan, maka bisa beralih kepada hukum pengganti (al-Saidan, al-Ifadah al-Syar’iyah Fi Ba’d al-Masail al-Tibbiyah, I/4). 

            Kaidah ini menjadi dasar peralihan dari mabit ke murūr. Dalam konteks haji, mabit berada dalam kedudukan al-al, dan murūr dalam kedudukan al-badl. Jadi, jika mabit sebagai asal hukum sukar untuk dilaksanakan karena ada alasan syarī maka penunaiannya bisa dengan melaksanakan murūr sebagai pengganti dari hukum pokok.

            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagi yang mengalami kesulitan (uzur) baik karena kondisi fisik, maupun keadaan, boleh baginya untuk mengganti mabit di Muzdalifah dengan murūr. Selanjutnya, bagi jemaah haji yang memenuhi kriteria kebolehan murūr bisa melakukan murūr kapan saja, awal, tengah atau akhir malam dan tidak terkena dam. 

Program Tanazul

Secara sederhana, yang dimaksud dengan program tanazul adalah jemaah yang tinggal di hotel dekat area jamarat atau tempat lontar jamrah akan kembali ke hotel dan tidak menempati tenda di Mina. Dengan demikian, program tanazul berarti tidak lagi mutlak seorang jemaah haji harus menginap di tenda yang sudah tersedia di Mina, tetapi bisa menginap di hotel, karena jarak menuju ke kemah lebih jauh daripada pergi ke hotel mereka.  

            Dalam konteks ini, menurut Majelis Tarjih, prinsip kemudahan dengan asas memelihara agama (hif ad-dīn) dan memelihara jiwa (hif an-nafs) sejatinya menjadi dasar kebolehan skema tanāzul bagi pihak yang dikhawatirkan akan mengalami kesulitan bahkan membahayakan jika ikut berdiam di Mina. Prinsip kemudahan ini memang ditetapkan Allah pada setiap pelaksanaan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah sebagai berikut:

1.      Ayat ke-78 surah al-Hajj (22): وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ

… dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama…

2.      Hadis riwayat al-Bukhari dari Aisyah r.a.:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ، فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا )رواه البخاري(

Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan) bahwa ia berkata, Rasulullah saw tidak pernah memilih salah satu antara dua hal, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama yang mudah itu bukanlah dosa. Jika itu adalah dosa, maka sungguh beliau adalah manusia yang paling menjauhinya. Nabi saw pun tidak pernah membenci karena pertimbangan diri sendiri, kecuali berkaitan dengan kehormatan Allah, sehingga beliau membenci sesuatu karena Allah swt (HR. al-Bukhari 3560).

3. Dalil-dalil tersebut juga sejalan dengan kaidah fikih: “Kesulitan menghendaki adanya kemudahan” (الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ).

            Sebagai kesimpulan, tanāzul diperbolehkan bagi jemaah yang memiliki uzur syari, baik terkait kondisi fisik, seperti risiko sakit, lansia, dan difabel, maupun uzur yang terkait dengan keadaan tempat dan kondisi pelaksanaan. Kebolehan tanāzul ini didasari atas prinsip taisīr yang menghendaki adanya kemudahan.

            Tanāzul yang dimaksud di sini adalah pulang-balik dari Mina ke hotel di sela-sela melaksanakan ibadah di Mina. Jadi ketika jemaah bertanāzul, bukan berarti sama sekali tidak di Mina dan tidak mengerjakan ibadah selama di Mina. Bagi jemaah yang tanāzul dan ketika waktu melempar jamrah ia berada di tenda Mina dan mewakilkan pada jemaah lain, ia tidak dikenai dam.

            Adapun jemaah haji yang sama sekali berhalangan ke Mina dan tidak melaksanakan ibadah yang disyariatkan di Mina, ia dikenai dam, karena telah meninggalkan salah satu kewajiban haji (Fatwa MTT-PPM, 12 Juni 2024). Wallahu A’lam!

(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN edisi Juli 2025)            



Tidak ada komentar:

Posting Komentar