IMAM TARAWIH BACA MUSHAF
Oleh:
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan
Suatu saat saya mengikuti salat
tarawih berjamaah di sebuah masjid. Imamnya membaca mushaf besar yang ada di
depannya. Pada kesempatan lain saya juga melihat di youtube, seorang imam tarawih
membaca al-Qur’an dengan memegang mushaf, ada yang pegang mushaf biasa (dari
kertas) dan ada yang pegang mushaf digital dari Handphone (Hp). Melalui rubrik
konsultasi agama ini, mohon Pengasuh berkenan membahas dengan jelas
permasalahan ini. Bolehkah seorang imam tarawih membaca mushaf? Bagaimana
pandangan Tarjih mengenai persoalan ini? Demikian, atas penjelasannya, saya
sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Moh.
Sholeh Madiun).
Pembahasan
Masalah imam salat membaca mushaf,
termasuk imam salat tarawih membaca (memegang) mushaf, sebenarnya sudah dibahas
oleh ulama lebih dari 1000 tahun yang lalu. Kalangan ulama mazhab yang empat
juga sudah membahasnya. Dari pembahasan para ulama, terdapat empat pendapat
mengenai hukum imam salat membaca mushaf.
Pendapat
pertama, mengatakan
bahwa salat sambil membaca mushaf itu dapat merusak salat. Ini
adalah pendapat Abu Hanifah (al-Kasani,
Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236; Fatawa
al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).
Al-Kasani (w. 587 H) memaparkan dua alasan mengapa Abu
Hanifah (w. 150 H) menganggap hal ini membatalkan salat. Pertama, bahwa orang
yang salat sambil membawa mushaf, membolak-balik halaman mushaf, melihat
mushaf, dan seterusnya adalah gerakan yang terlalu banyak, padahal itu
bukan bagian dari salat, dan juga tidak diperlukan ketika salat, sehingga dapat
merusak salatnya. Kedua, orang yang menjadi imam sambil membawa mushaf itu
berarti ia membaca teks dari mushaf. Padahal orang yang membaca teks
termasuk belajar, sebagaimana dia belajar dari teks yang lain, sehingga ini
bisa membatalkan salat (al-Kasani, Bada’i al-Shana’I Fi Tartib al-Syarai’,
1/236).
Pendapat pertama ini berdalil dengan hadis riwayat
Abdullah bin Abi Aufa bahwasanya ada seorang sahabat yang mendatangi Rasulullah
dan berkata:
إِنِّى لاَ أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ مِنَ الْقُرْآنِ
شَيْئًا فَعَلِّمْنِى مَا يُجْزِئُنِى مِنْهُ. قَالَ « قُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ
وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
“Sesungguhnya aku tidak mampu membaca al-Qur’an
sedikit pun, maka ajarkanlah bacaan yang mudah bagiku. Beliau bersabda: Bacalah
subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu akbar dan la
haula wa La quwwata illa billah” (Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
I/308 No. 832). Al-Albani menilai hadis ini statusnya hasan (al-Albani, Sahih
Wa Dha’if Sunan Abi Dawud, I/2).
Menurut pendapat pertama
ini, hadis tersebut mengandung makna bahwa Nabi memerintahkan kepada orang yang
tidak hafal al-Qur’an sedikit pun untuk menggantinya dengan zikir dan tidak
memerintahkan untuk melihat mushaf. Ini menunjukkan bahwa melihat mushaf itu
tidak sah dan merusak salat. Karena kalau hal itu diperbolehkan dan tidak
merusak salat, Rasulullah pasti memerintahkannya sebelum memerintahkan untuk
berzikir.
Pendapat kedua, mengatakan
bahwa salat sambil membaca mushaf itu hukumnya makruh, tidak sampai
merusak salat. Ini adalah pendapat Abu Yusuf (w.182 H) dan Muhammad bin Hasan
(w. 189 H), keduanya sahabat Abu Hanifah. Alasannya, melihat
mushaf ketika salat itu menyerupai (tasyabuh) dengan
ahli kitab, sedangkan pembuat syariat (Allah Ta’ala) melarang
kita untuk menyerupai mereka. Nabi saw. bersabda: (لاَ تَشَبَّهُوا بِاليَهُودِ وَلاَ بِالنَّصَارَى),
“Janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi dan kaum Nasrani” (HR. Ahmad No.
7545). Syu’aib al-Arnout: Hadis ini sahih.
Salat sambil
membaca mushaf ini lebih baik ditinggalkan terutama dalam salat fardu.
Sedangkan dalam salat sunah seperti qiyam Ramadan (tarawih) boleh jika
benar-benar dibutuhkan (al-Kasani,
Bada’i al-Shana’i Fi Tartib al-Syarai’, 1/236; Fatawa
al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).
Pendapat
ketiga, mengatakan
bahwa salat sambil membaca mushaf itu makruh dalam salat fardu, tidak dalam salat
sunah kecuali bagi yang sudah hafal al-Qur’an, ia tetap dimakruhkan membaca
dengan melihat mushaf, baik dalam salat fardu maupun salat sunah. Ini pendapat
mazhab Maliki (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, XXXIII/57; Fatawa
al-Azhar, VIII/475).
Dalil pendapat
ketiga ini adalah hadis Aisyah yang bermakmum kepada Dzakwan pada saat qiyam
Ramadan:
عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ
عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-: أَنَّهَا كَانَ يَؤُمُّهَا
غُلاَمُهَا ذَكْوَانُ فِى الْمُصْحَفِ فِى رَمَضَانَ
Dari
Ibn Abi Mulaikah, dari Aisyah ra. isteri Nabi saw. memberitakan bahwasanya ia
pernah salat di bulan Ramadan diimami oleh hamba sahayanya bernama Dzakwan
dengan membaca mushaf (HR. al-Bayhaqi No. 3497). Imam al-Nawawi menilai
bahwa sanad hadis tersebut sahih (al-Nawawi, Khulashat al-Ahkam,
I/500 No. 1665).
Selain diriwayatkan
al-Bayhaqi, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh sejumlah imam ahli hadis, di
antaranya: al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari, I/321 No. 691; Bedanya dengan pendapat kedua, pendapat ketiga
ini hanya menyatakan makruh dalam salat fardu, sedangkan pada salat sunah
hukumnya boleh. Namun bagi orang yang sudah hafal (hafidz), makruh juga membaca
mushaf dalam salat sunah.
Pendapat
keempat, mengatakan
bahwa salat sambil membaca mushaf itu sah dan tidak makruh. Ini pendapat
Syafi’iyah dan mayoritas mazhab Hambali (al-Nawawi, Al-Majmu’,
IV/95; Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).
Dalil yang
dipakai oleh pendapat keempat ini sama dengan dalil yang dipakai oleh pendapat
yang ketiga, yaitu hadis dari Ibn
Abi Mulaikah, dari Aisyah ra. isteri Nabi saw. memberitakan bahwasanya ia
pernah salat di bulan Ramadan diimami oleh hamba sahayanya bernama Dzakwan
dengan membaca mushaf (HR. al-Bukhari
No. 691 dan al-Bayhaqi No. 3497).
Hadis tersebut
menjadi petunjuk diperbolehkannya salat dengan melihat mushaf. Pendapat ini
didukung oleh ulama mazhab Syafii dan Hanbali, baik dalam salat fardu
maupun salat Sunah (al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina’, I/383; Fatawa
al-Syabakah al-Islamiyah, XI/6525).
Badruddin al- ‘Aini (w.
855 H) mengatakan: “Zahir hadis tersebut menunjukkan bolehnya membaca mushaf
ketika salat. Ini merupakan pendapat Ibnu Sirin, Hasan al-Bashri, al-Hakam, dan
Atha’. Anas bin Malik (w. 93 H) juga pernah menjadi imam, sementara ada
anak di belakang beliau yang membawa mushaf. Apabila beliau lupa satu ayat,
maka si anak tadi membukakan mushaf untuk beliau. Imam Malik juga
membolehkannya ketika qiyam Ramadan (salat tarawih). Sementara al-Nakhai, Said
bin al-Musayib, dan al-Sya’bi tidak menyukainya. Mereka mengatakan bahwa hal
itu menyerupai perbuatan orang Nasrani” (Badr al-Din al- ‘Aini, Umdat
al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, VIII/384).
Pendapat
bahwa salat dengan membaca mushaf itu menyerupai ahli kitab, ditolak oleh Imam al-Syafii
(w. 204 H). Menurut al-Syafii, salat dengan membaca mushaf itu bukan tasyabbuh (menyerupai)
orang kafir, karena kita juga makan apa yang mereka makan, dan itu tidak
disebut meniru kebiasaan ahli kitab (al-Kasani, Bada’i al-Shana’i Fi Tartib
al-Syarai’, 1/236).
Ibn Nashr
al-Marwazi (w. 294 H) menegaskan bahwasanya membaca Al-Qur’an terlalu jauh
untuk disebut meniru (tasyabuh) dengan ahli kitab, dibandingkan membaca
buku-buku matematika. Karena membaca Al-Qur’an termasuk amal salat, sementara
buku-buku berhitung tidak termasuk bagian salat. Maksud al-Marwazi, sebagaimana
kita boleh membaca buku umum yang bermanfaat dan itu tidak termasuk tasyabbuh terhadap
ahli kitab, maka membaca Al-Qur’an lebih layak untuk tidak disebut meniru
kebiasaan orang kafir (al-Marwazi, Qiyam Ramadan, I/33; Fatwa Lajnah
Daimah, 579).
Imam al-Nawawi (w. 676 H) dalam al-Majmu’
Syarah al-Muhaddzzab lebih tegas mengatakan:
لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ
لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ
إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا
فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ
“Apabila orang yang sedang salat
membaca Al-Qur’an dari mushaf maka salatnya tidak batal, baik ia hafal Al-Qur’an
atau tidak. Bahkan ia wajib melakukan hal itu jika tidak hafal surat
Al-Fatihah sebagaimana keterangan yang telah dijelaskan. Apabila ia sesekali
membolak balik lembaran mushaf maka salatnya tidak batal” (al-Nawawi, al-Majmu’,
IV/95).
Majelis Tarjih dan Tajdid PP.
Muhammadiyah pernah ditanya tentang hukum membaca mushaf saat salat wajib
maupun sunah. Tim Majelis Tarjih menjelaskan bahwa orang yang salat sambil membawa dan membaca mushaf tidak
ada larangan, terlebih jika dibutuhkan. Seperti sering kita temukan pada
salat malam ketika Ramadan yang panjang bagi seseorang (khususnya imam) yang
khawatir terjadi kesalahan bacaan al-Qur’an atau tidak hafal. Hanya saja, tentu
jika orang tersebut berusaha untuk menghafalkannya akan lebih utama, sehingga
tidak perlu membawa al-Qur’an ketika salat atau menjadi imam. Dalil yang
dijadikan rujukan oleh Majelis Tarjih adalah hadis yang juga dipakai
hujjah oleh pendapat ketiga (mazhab Maliki) dan pendapat keempat (mazhab
Syafi’I dan Hanbali), yaitu hadis dari
Ibn Abi Mulaikah, dari Aisyah ra. isteri Nabi saw. bahwasanya ia pernah salat
di bulan Ramadan diimami oleh hamba sahayanya bernama Dzakwan dengan membaca
mushaf
(HR. al-Bukhari No. 691 dan al-Bayhaqi
No. 3497). (SM.6, 2015).
Dari paparan
beberapa pendapat tersebut, mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa membaca
mushaf saat salat itu hukumnya boleh (mubah). Kebolehan ini berlaku, baik pada
saat salat sunah maupun salat fardu. Imam al-Nawawi bahkan mewajibkannya
apabila seseorang tidak hafal Al-Qur’an (Surat al-Fatihah), karena membaca
al-Fatihah merupakan salah satu rukun dalam salat.
Ibnu Nashr al-Marwazi dalam kitabnya Qiyam Ramadan,
mengutip Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H) ketika ditanya mengenai hukum orang
yang mengimami salat di bulan Ramadan sambil membaca mushaf. Al-Zuhri
rahimahullah mengabarkan:
مَا زَالُوْا يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ
مُنْذُ كَانَ الْإِسْلاَمُ، كَانَ خِيَارُنَا يَقْرَءُونَ فِي الْمَصَاحِفِ
“Kaum muslimin
senantiasa melakukan seperti itu (salat sambil membaca mushaf) sejak zaman
Islam dahulu, dan orang-orang terbaik di antara kami juga biasa membaca Al-Qur’an
dari mushaf” (al-Marwazi, Qiyam Ramadan,
I/32; Ibn Qudamah, al-Syarh al-Kabir, I/638).
Keterangan
al-Zuhri tersebut memperkuat pendapat bolehnya membaca mushaf saat salat.
Kebolehan ini berlaku pada salat sunah maupun salat fardu. Intinya, orang yang salat
sambil membawa dan membaca mushaf itu tidak dilarang, terlebih jika saat salat
malam (tarawih) yang biasanya membutuhkan banyak bacaan ayat atau surat Al-Qur’an. Namun, jika imam tarawih seorang hafidz yang
mutqin (kuat fahalannya), tentu lebih utama bila saat mengimaminya tanpa
membaca mushaf. Wallahu A’lam!
(Artikel ini telah dimuat dalam Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Bulan Maret 2024)