SEJARAH UMRAH DAN HAJI NABI SAW
Oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,M.Fil I
Sebelum melaksanakan umrah yang pertama, Nabi Saw sempat
bermimpi bisa memasuki masjidil haram bersama para sahabatnya, kemudian
mengambil kunci kakbah, lalu thawaf, melakukan umrah, kemudian mencukur (tanda
selesai umrahnya). Mimpi ini kemudian diberitakan kepada para sahabatnya, dan
sahabatnya sangat bergembira. Akhirnya Nabi mengajak sahabatnya untuk
mempersiapkan diri berangkat umrah pada tahun itu.[1]
Pada bulan April 628 M (Dzulkaidah 6 H) Rasulullah Saw mengajak para sahabat dan
warga Arab untuk melakukan umrah. Rasulullah dengan disertai 1400 orang[2]
atau sebagian sumber menyebutnya 1500 orang[3]
berangkat untuk melakukan umrah menuju Mekkah dengan mengenakan pakaian ihram
dan membawa hewan-hewan kurban (al-hadyu) agar orang-orang (warga quraisy
Makkah) mengetahui bahwa Nabi Saw dan rombongan tidak bermaksud untuk perang.[4]
Mendengar berita itu, kaum musyrikin Quraisy mengerahkan
pasukan untuk menghadangnya, sehingga rombongan (Umrah Nabi pertama) yang
berangkat dari Madinah tertahan di Hudaibiyah (20 km di sebelah barat laut
Mekkah). Saat itu kaum Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan
Rasulullah. Dalam perundingan itu, Suhail mengusulkan, antara lain perlunya kesepakatan
genjatan senjata selama sepuluh tahun dan kaum Muslimin harus menunda umrah
dengan kembali ke Madinah. Tetapi tahun depan (629 M) diberi kebebasan
melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Mekkah. Saat itu Rasulullah Saw
menyetujui perjanjian ini meskipun para sahabat banyak yang kecewa.[5]
Belakangan dapat difahami betapa hikmah dan
keberhasilan Nabi dengan menerima perjanjian Hudaibiyah tersebut. Salah satunya
adalah diakuinya penduduk Medinah (kaum muslimin) oleh kaum Quraisy. Otomatis
ketika penduduk Medinah mendapat pengakuan dari kaum Quraisy yang merupakan
suku paling dihormati dan disegani di daerah Jazirah Arab, Medinah menjadi
punya otoritas sendiri dan dapat diakui oleh kaum-kaum lainnya. Selain itu
menjadi keberhasilan umat Islam, bebas dalam menunaikan ibadah dan tidak
mendapatkan teror dari kaum kafir Quraisy.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah surat al-Fath(48) ayat pertama hingga akhir surat.[6] Di antara ayat itu berbunyi:
لَقَدْ
صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ
الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا
قَرِيبًا
“Sungguh
Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu pasti
akan memasuki Masjid Al-Haram insyaAllah dengan aman. Kamu akan mencukur
kepalamu atau menggunting rambut (merampungkan umrah) dengan tidak merasa
takut. Dia menegetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain
itu kemenangan yang dekat”. (QS. Al-Fath, 27)
Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya ( 629 Masehi atau 7 Hijriah)[7]
Rasulullah saw beserta para sahabat melakukan umrah ke Baitullah (untuk yang
kedua kali). Umrah ini disebut sebagai umrah al-qadha atau
al-qadhiyyah. Saat itu Nabi Saw berihram untuk umrah dari Dzul Hulaifah
(Bir Ali-Madinah) dan membawa 60 ekor unta. Ketika itu rombongan Rasulullah saw
berjumlah sekitar 2.000 orang, mereka memasuki pelataran Ka’bah untuk melakukan
tawaf. Sementara orang-orang Mekkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan
berteriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling
tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah kemudian mengajak para sahabat
agar memperlihatkan mereka bahwa kaum muslimin masih kuat. Saat itu Nabi
mengajak para sahabat untuk membuka pundak kanannya dan meletakkan ujung
selendangnya di atas pundak kiri kemudian memulai thawaf.[8]
Rasulullah Saw
memulai thawaf dengan mencium hajar Aswad (rukun al-Aswad), kemudian
berlari-lari kecil mengelilingi kakbah dengan posisi kakbah di sebelah
kirinya, menuju rukun al-Syami, lalu
rukun al-Iraqi, dan rukun al-Yamani hingga ke rukun al-Aswad lagi untuk
melanjutkan putaran berikutnya. Ketika menyaksikan Rasulullah saw dan para
sahabat melakukan tawaf dengan berlari-lari sebanyak tiga kali putaran, para
pengejek dari kalangan kaum musyrikin quraisy akhirnya bubar. Pada putaran
keempat hingga ketujuh, setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi,
Rasulullah mengajak para sahabat berhenti berlari dan melanjutkan thawafnya
dengan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunnah tawaf di
kemudian hari: bahu kanan dalam keadaan terbuka dan ujung selendangnya
diletakkan di atas pundah kiri(idthiba’) serta berlari-lari kecil pada
tiga putaran pertama khusus pada tawaf yang pertama (qudum).[9]
Saat thawaf, dalam kondisi semangat yang tinggi, Abdullah
bin Rawahah ingin berteriak menantang orang Quraisy untuk berperang, tetapi
Umar bin Khattab menahannya. Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Wahai Ibn
Rawahah, pelan dan tenang! Ucapkan saja:
لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ
الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ
Tiada Tuhan selain Allah semata, yang menolong hambaNya,
memuliakan tentaraNya, dan mengalahkan gabungan para tentara.[10]
Setelah tujuh putaran mengelilingi kakbah, Rasulullah saw
shalat dua rakaat di Makam Ibrahim, kemudian minum air Zamzam dan menuangkannya di atas kepala.[11]
Sesudah itu Rasulullah melakukan sa’i antara Safa dan Marwa, dan akhirnya
melakukan tahalul (‘menghalalkan kembali’) atau
membebaskan diri dari larangan-larangan ihram, dengan mencukur kepala beliau.[12]
Ketika masuk waktu zuhur, Rasulullah saw menyuruh Bilal bin Rabah naik ke atap
Ka’bah untuk mengumandangkan azan. Suara azan Bilal menggema ke segenap penjuru
sehingga orang-orang Mekkah berkumpul ke arah “suara aneh” yang baru pertama
kali mereka dengar. Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum
Muslimin yang sedang shalat berjamaah. Hari itu, 17 Zulkaidah 7 Hijriah (17
Maret 629M), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Mekkah dan Nabi
Muhammad saw menjadi imam shalat di depan Ka’bah.[13]
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw dan
para sahabat hanya bisa tiga hari berada di Mekkah, setelah itu kembali ke
Madinah. Ketika masih berada di Mekkah, Rasulullah Saw sempat menikahi
Maimunah, bibi Khalid bin Walid dengan maskawin 400 dirham. Pernikahan ini
dilakukan demi memantapkan keimanan Maimunah yang baru masuk Islam dan untuk
menarik keponakannnya, Khalid bin Walid, yang saat itu dikenal sebagai tentara yang
sangat gagah berani di kalangan kaum Quraisy.[14]
Sungguhpun demikian, umrah kedua yang dilakukan kaum
Muslimin di Mekkah ini menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang
Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru ibn Ash,
dan Utsman ibn Thalhah, menyusul ke Madinah untuk berbaiat dan mengucapkan Kalimat Syahadat.[15]
Di kemudian hari, Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah
dan Palestina serta Amru bin Ash membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi.
Utsman ibn Thalhah dan keturunannya kelak diberi kepercayaan oleh Rasul untuk
memegang kunci Ka’bah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara
Ka’bah silih berganti hingga dinasti Saudi sekarang, kunci Ka’bah tetap
dipegang oleh keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah. [16]
Pada tahun kedelapan Hijriyah, Nabi Saw menaklukkan Mekkah.
Peristiwa ini terjadi setelah kaum musyrikin Mekkah melanggar perjanjian
gencatan senjata[17],
sehingga pada 20 Ramadhan 8 Hijriah (11 Januari 630M) Rasulullah Saw beserta
10.000 (sepuluh ribu) pasukan menaklukkan Mekkah tanpa pertumpahan darah.[18] Pada saat penaklukkan Mekkah, Nabi
melakukannya dengan perdamaian dan penuh kasih sayang. Beliau juga memberikan amnesti umum kepada warga Mekkah
yang dahulu memusuhi kaum muslimin. Di antar penyataan beliau yang sangat
mengesankan adalah:
لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ
أَرْحَمُ الرَّاحِمِين
“Tiada balas
dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang
di antara para penyayang”. Demikian sabda Rasulullah saw mengutip
ucapan Nabi Yusuf as yang tercantum dalam surat Yusuf ayat 92. Akibatnya,
seluruh kaum Quraisy berbondong-bondong masuk Islam.[19]
Kemudian turun surat Al-Nashr: “Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan, Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah
dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS.
Al-Nashr, 1-3). Setelah menerima ayat ini, pada rukuk dan sujud dalam shalat,
Rasulullah Saw mengucapkan: “Maha
Suci Engkau, Ya Allah Ya
Tuhan kami, dan dengan
memujiMu Ya Allah, ampunilah aku”.[20]
Dengan jatuhnya kota Mekkah ke tangan umat
Islam, Rasulullah saw memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling
Ka’bah, dan membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan serta
mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim yang asli.[21]
Setelah Mekkah
ditaklukkan oleh kaum muslimin, Nabi Saw mengangkat ‘Utab bin Usaid sebagai
Gubernur Mekkah,[22] di antara tugasnya adalah menjalankan tugas pemerintahan
khususnya administrasi dan logistic haji yang menjadi ritual tahunan umat
manusia dari berbagai kabilah, suku, dan bangsa.
Usai menaklukkan
Mekkah, Nabi tidak langsung pulang ke Medinah, akan tetapi menghalau kaum
muslimin dan para tentara Quraisy yang baru masuk Islam untuk menyerang Thaif
yang menjadi kekuatan musuh Islam. Perang ini dikenal dengan
perang Hunain. Dalam peperangan ini, awalnya kaum muslimin kalah, tetapi
kemudian mengalami kemenangan dengan membawa pampasan perang yang sangat besar.
Usai perang Hunain, Nabi dan sahabat tidak lansung pulang ke Medinah tetapi
terlebih dahulu melakukan umrah (ketiga) dengam mengambil miqat di al-Ji’ranah.[23]
Jelang musim haji tahun 9 Hijriyah (bulan Zulhijah tahun
ke-9 Hijriah/ Maret 631 M), Rasulullah saw mengutus sahabat Abu Bakar
Ash-Shiddiq untuk memimpin ibadah haji.[24]
Rasulullah sendiri tidak ikut karena beliau sibuk dalam menghadapi perang Tabuk
melawan pasukan Romawi. Musim haji saat itu (tahun ke 9 H) masih diikuti oleh
berbagai suku, wilayah dan bahkan berbagai
agama
atau keyakinan, sehingga pelaksanaan haji masih bercampur, baik muslim maupun
non muslim.
Mengingat misi Islam adalah pemurnian tauhid, yang
diekspresikan oleh Nabi dengan menghancurkan lambang-lambang kesyirikan seperti
patung, kode judi, adu nasib, dan lain-lain yang ada di sekitar Kakbah, maka
tidak logis jika kaum muslimin haji bersama-sama orang musyrik. Karena itu
turunlah wahyu kepada Nabi Saw surat al-Baraah ayat 28 tentang larangan kaum
musyrikin mendekati masjidil haram:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ
يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor
jiwa) karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.
Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang) maka
Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia
menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah:
28).
Saat ayat ini turun kepada Nabi Saw
di Madinah, Abu Bakar sudah dalam perjaanan haji ke Mekkah. Maka Nabi mengutus
Ali bin Abi Thalib untuk menyusulnya dan menyampaikan wahyu ini kepada Abu
Bakar agar mengumumkan dekrit yang baru saja diterima Rasulullah saw.
Dekrit tersebut menyatakan bahwa mulai tahun depan (10 Hijriyah) kaum musyrikin
dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan Ibadah Haji karena
sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran Nabi Ibrahim as.[25]
Pada
tahun 10 Hijriah (632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah
kekuasaan Nabi Muhammad Saw yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk
telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawal (10 Hijriyah) Rasulullah saw
mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita
ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru, sebab mereka
berkesempatan mendampingi Rasulullah dan menyaksikan setiap langkah beliau
dalam melakukan manasik (tata cara) haji.
Secara singkat manasik haji Nabi Saw dimulai dengan berangkat dari Madinah pada Kamis 24
Dzulkaidah 10 Hijriyah[26]
(22 Pebruari 632 M) dengan mengendarai unta beliau yang bernama Al-Qashwa’,
dengan diikuti sekitar 30.000 jemaah, dan
mengambil miqat di Dzulhulaifah. Pada Ahad 4 Zulhijah (1 Maret) pagi,
Rasulullah dan rombongan memasuki kota Mekkah. Di sana sudah menunggu puluhan
ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan diperkirakan total Jemaah haji
mencapai lebih dari 100.000 orang.[27]
Rasulullah memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah yang terletak
di samping telaga Zamzam di belakang Makam Ibrahim. Beliau memulai thawaf
dengan melambaikan tangan kanan dari jauh ke arah hajar aswad.[28] Setelah selesai tujuh putaran, beliau shalat
dua rakaat di belakang Makam Ibrahim, kemudian pergi ke sumur Zamzam. Beliau
minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau kemudian mengusap lagi hajar aswad.[29]
Sesudah itu Rasulullah Saw menuju bukit Safa untuk memulai sa’i. Beliau naik ke
bukit, lalu menghadap Ka’bah bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau
turun ke lembah menuju Marwa dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait
Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sesampai di Marwa
Rasulullah Saw melakukan hal serupa seperti yang beliau kerjakan di Safa.
Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali.[30]
Setelah selesai sa’i, Rasulullah Saw di Marwa
menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para sahabat karena belum pernah
terjadi sebelumnya. Beliau memerintahkan seluruh sahabat yang tidak
membawa hadyu (hewan kurban) agar mengubah niat
hajinya menjadi umrah. Padahal selama ini umrah hanya dilakukan di
luar musim haji. Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jamaah haji
yang tidak membawa hadyu dapat bertahalul (bebas dari larangan ihram). Kemudian
berihram lagi untuk haji tanggal 8 zulhijah. Karena mereka tidak membawa hadyu dari
rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Zulhijah) atau hari-hari Tasyriq (11-13
Zulhijah) mereka harus membeli hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah
yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu’, artinya ‘bersenang-senang’ sebab masa
berihram hanya beberapa hari saja. [31]
Dari tanggal 5 sampai 7 Zulhijah (2-4 Maret), Rasulullah Saw
melakukan kegiatan-kegiatan: memimpin Shalat di Masjidil Haram, melakukan tawaf
sunat, dan shalat sunat di Hijr Ismail. Pada
Kamis 8 Zulhijah (5 Maret), Rasulullah Saw memerintahkan umat beliau yang
memakai cara Tamattu’ kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi
larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Pada tanggal 8 Zulhijah pagi, Rasulullah Saw
beserta Jemaah haji pergi menuju Mina untuk mempersiapkan air, sebab mulai tanggal 10 Zulhijah sesudah pulang dari Arafah
mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8
Zulhijah disebut hari Tarwiyah (tarwiyah artinya mempersiapkan air). Pada hari Jumat, 9 Zulhijah (6 Maret) sesudah
matahari terbit, Rasulullah Saw dan seluruh Jemaah haji berangkat menuju
Arafah. Sesampai di Muzdalifah,
Rasulullah Saw dan rombongan
menunaikan shalat Maghrib dan Isya secara jama’ dan qasar. Rasulullah dan
sebagian besar Jemaah haji bermalam di Muzdalifah. Tetapi beliau mengizinkan
orang-orang yang lemah, wanita, dan anak-anak berangkat ke Mina sesudah tengah
malam.[32]
Sesudah shalat subuh di Muzdalifah, Rasulullah Saw memimpin
Jemaah haji menuju Mina. Pada hari
Sabtu, 10 Zulhijah (7 Maret), pagi hari Rasulullah Saw sampai di Mina. Beliau
tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju Jumrah
Aqabah. Pada tanggal 10 Zulhijah itu Rasulullah Saw melakukan berbagai manasik
dengan urutan sebagai berikut: Rasulullah melontar dan beliau bertakbir pada
setiap lontaran. Kemudian Rasulullah
menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, lalu
sisanya yang 37 ekor disembelih oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah itu Rasulullah
Saw melakukan tahalul dengan menyuruh Khirasy, yang pernah mencukur kepala
beliau ketika umrah tahun 7 Hijriah. Selanjutnya,
Rasulullah Saw pergi ke Mekkah untuk melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah.
Setelah shalat zuhur, beliau kembali ke Mina. Oleh karena itu, Rasulullah
mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Zulhijah itu
beliau tidak melakukan sa’I di antara Safa dan Marwa. Sa’I beliau cukup satu
kali tanggal 4 Zulhijah yang sudah mencakup sa’I haji dan umrah. Tetapi
sebagian besar para sahabat melakukan sa’I tanggal 10 Zulhijah atau sesudahnya
karena mereka mengambil cara Haji Tamattu’ sesuai perintah Rasulullah Saw.
Selanjutnya Rasulullah Saw memberikan kelonggaran pada Jemaah Haji untuk
melakukan manasik dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih
hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta tawaf dan sa’I boleh dilakukan
secara acak, tidak harus berurutan. Para Jemaah haji boleh mendahulukan mana
yang sempat dikerjakan. Bahkan manasik-manasik di atas, tidak harus semuanya
terlaksana pada hari Nahar (10 Zulhijah).[33]
Apapun urutan manasik
yang dipilih oleh Jemaah haji, Rasulullah Saw menginstruksikan Jemaah haji
untuk menginap di Mina pada malam-malam hari Tasyriq, kecuali mereka yang
karena kesibukannya tidak dapat menginap. Rasulullah mengizinkan paman beliau,
Abbas ibn Abdil muttalib, bermalam di Mekkah untuk mengelola siqayah (air
Zamzam untuk Jemaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak
mereka di malam hari diberi izin oleh Rasulullah untuk tidak menginap di Mina.[34]
Pada tanggal 11 dan 12 Zulhijah, sesudah masuk waktu zuhur,
Rasulullah Saw dan para Jemaah haji melontar masing-masing tujuh lontaran
secara berturut-turut Jumrah ula, jumrah Wustha, dan akhirnya jumrah Aqabah.
Beliau berdoa sesudah melontar Jumrah ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera
pergi setelah melontar Jumrah Aqabah. Rasulullah memberikan kelonggaran bagi
yang tidak sempat melontar pada siang hari untuk melakukannya di malam hari.
Untuk orang yang sakit, lanjut usia, lemah, atau wanita hamil, pelontaran boleh
diwakilkan kepada orang lain.[35]
Rasulullah
Saw juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi Jemaah haji untuk memilih dua
hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai dengan firman Allah: “Barangsiapa
yang bergegas (meninggalkan mina) dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan
barangsiapa yang belakangan juga taiada dosa baginya, yakni bagi mereka yang
bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan
dikumpulkanNya” (QS Al Baqarah : 203)
Pada malam 14
Zulhijah, Rasulullah Saw menyuruh istri beliau, Aisyah ra, yang selesai masa
haidnya untuk menunaikan umrah. “inilah pengganti umrahmu yang gagal”,
sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan’im dengan ditemani adiknya,
Abdurrahman ibn Abi Bakar. Lalu mereka melakukan tawaf dan sa’I sehingga
bertahalul di Marwa.
Sesudah shalat subuh
hari Rabu 14 Zulhijah (11 maret), Rasulullah Saw dengan istri-istri beliau
kecuali Safiyah yang mengalami haid, dua hari sebelumnya, melakukan tawaf wada
(tawaf perpisahan), lalu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah tidak dapat berada
lama-lama di Mekkah sebab pekerjaan beliau sebagai Kepala Negara harus segera
beliau rampungkan. Tiga bulan sesudah itu, pada hari Senin tanggal 12 Rabiul
awal 11 Hijriah (8 Juni 632 M), Rasulullah Saw berpulang ke Rahmatullah.[36]
Dari
paparan sejarah Umrah Nabi Saw hingga hajinya, dapat diketahui bahwa sepanjang
hidupnya, Nabi Saw pernah umrah empat kali. Pertama, umrah pada tahun 6
Hijriyah, walaupun kemudian gagal karena tidak mendapatkan izin dari kaum
quraisy, penguasa Mekkah; kedua, umrah qadha (qadhiyah) sebagai realisasi
perjanjian Hudaibiyah yang mengizinkan umrah pada tahun berikutnya (7
Hijriyah); ketiga, umrah setelah penaklukkan Mekkah (Fath Makkah) dan perang Hunain (8 Hijriyah); dan keempat, umrah yang
digabung dengan haji (haji qiran) pada saat beliau melakukan haji wada’ pada
tahun 10 Hijriyah.[37]
Dengan
demikian, secara historis dapat diketahui bahwa Nabi Saw telah melakukan umrah
terlebih dulu sebelum beliau melaksanakan ibadah haji.
[1] Muhammad bin Abdul Wahhab, Mukhtashar
Sirat al-Rasul Saw, Vol.I (Riyad: Dar al-Salam,1997), 332.
[2] Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, Vol.
IV(Bayrut: Dar al-Jayl, 1411 H), 276.
[3] Ibn Khaldun menyebutnya pada kisaran 1300 sd
1500 orang. Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Vol. II/34.
[4] Ibn Abd al-Barr, al-Durar Fi Ikhtishari
al-Maghazi Wa al-Siyar, Vol.I
(al-Qahirah: Lajnah Ihya al-Turats al-Islami, 1995), 204.
[5] Muhammad al-Thib al-Najjar, al-Qawl
al-Mubin Fi Sirat Sayyid al-Mursalim, Vol.I (Bayrut: Dar al-Nadwah
al-Jadidah, t.th), 316-317.
[6] Al-Bayhaqi, Ma’rifat al-Sunan Wa al-Tsar,
Vol. VII (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 147. (ثم انصرف رسول الله صلى الله عليه وسلم راجعاً فلما
أن كان بين مكة والمدينة نزلة عليه سورة الفتح من أولها إلى آخرها)
[7] Muhammad Ridha, Muhammad Rasulullah,
I/453.
[8] Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq
al-Makhtum, I/357.
[9] Muhammad Ridha, Muhammad Rasulullah,
I/453.
[10] Ibnu Saad, al-Thabaqat al-Kubra, Vol.II
(Bayrut: Dar Shadir, 1968), 122.
[13] Muhammad al-Shalabi, al-Sirah
al-Nabawiyah, IV/23.
[14] Muhammad Husein Haykal, Hayat Muhammad,
II/37. Ibn Hibban, al-Sirah Libn Hibban, I/305.
[15] Ibn Katsir, al-Sirah al-Nabawiyah,
III/272.
[16] Ibn Hazm, Jawami’ al-Sirah, Vol.I
(Mesir, Dar al-Ma’arf, 1900), 233-234.
[17] Kaum musyrikin Quraisy melanggar perjanjian
perdamaan yang seharusnya tidak saling memusihi. Pelanggarannya adalah Bani
Bakar yang menjadi koalisi kaum Quraisy masih memusuhi suku Khuza’ah yang telah
bergabung dengan Rasulullah Saw. Ibnu Saad, al-Thabaqat al-Kubra,
II/134.
[18] Ali bin Naif al-Syuhud, Mausu’ah al-Difa’
‘An Rasilillah Saw, X/288-289.
[19] Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sirah,
Vol.I (Masir: Dar Nahdhah, t.th), 327.
[20] Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur,
Vol.VIII(Bayrut: Dar al-Fikr, 1993), 664. Baca juga hadis riwayat al-Bukhari
No. 4967; dan riwayat Muslim No. 1115.
[21] Al-Suyuthi, al-Khashais al-Kubra,
Vo.I (Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1985), 442. Yahya Ibrahim, Nufkhah
‘Abir Min Sirah al-Basyir al-Nadzir, l/67.
[22] Abd al-Jabbar bin Ahmad al-Hamdani, Tatsbit
Dalail al-Nubuwwah, I/608.
[23] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari No.
3066.
[24] Muhammad bin Umar al-Hadhrami al-Syafii, Sirat
al-Nabi al-Mukhtar, Vol. I (Bayrut: Dar al-Hawi, 1998), 378.
[25] Abdul Wahhab, Mukhtashar Sirat al-Rasul
Saw, I/462. Muhammad bin Umar al-Hadhrami al-Syafii, Sirat al-Nabi
al-Mukhtar, Vol. I/ 378.
[26] Nabi Saw keluar untuk melaksanakan ibadah
haji pada lima terakhir dari bulan Dzul Qa’dah 10 H. Zainuddin Umar bin
Mudhaffar al-Wardi, Tarikh al-Wardi, Vol.I (Bayrut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1996), 128. Ibn Katsir mengutip pendapat Ahmad bahwa Nabi Sw
shalat dhuhur empat rakaat di Masjid Nabawi Madinah, kemudian shalat ashar dua
rakaat di Dzulhulaifah pada saat haji wada’. Ibn Katsir, al-Sirah al-Nabawyah,
Vol.IV/217.
[27] Muhammad Syarif al-Syaibani
mencatat sebanyak 124.000 orang yang mengikuti haji wada’ bersama Raslullah
Saw. Muhammad Syarif al-Syaibani, Al-Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Fi
al-Dirasat al-Istisyraqiyah al-Munshifah, I/18.
[28] Ketika beliau haji wada’ tahun 10 Hijriah, beliau memulai thawaf hanya dengan melambaikan tangan dari jauh ke arah
Hajar Aswad. Abd al-‘Aziz bin Muhammad al-Salman, Audhah al-Masalik Ila
Ahkam al-Manasik, I/87.
[29] Hadis riwayat Ahmad. Al-Albani, Hajjat
al-Nabi, I/56.
[30] Hadis riwayat Muslim,
al-Tirmidzi, dan al-Nasai.
[31] Ibn Katsir, al-Sirah
al-Nabawiyah, IV/332-233. Sejak saat itu mulailah dikenal tiga cara
ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu’ atau ‘bersenang-senang’ (umrah dulu,
baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau
‘mandiri’ (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Mekkah yang membawa hadyu. Ketiga,
haji Qiran atau ‘gabungan’ (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan
penduduk Mekkah yang membawa hadyu.
[32] Baca HR. Bukhari no.1678
dari Ibn Abbas: (أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ فِي ضَعَفَةِ أَهْلِهِ). Baca juga Ibn al-Jawzi, Kasyf
al-Musykil Min Hadis al-Shahihayn, Vo.I (Riyad: Dar al-Wathan, 1997), 515.
[34] Muhammad bin Yusuf al-Shalihi al-Syami, Sabil al-Huda
Wa al-Rasyad Fi Sirat Khair al-‘Ibad, XI/103.
[36] Muhammad bin Abd al-Rahman al-‘Arifi, Tharh Jadid Fi
Sirat Rasulillah Saw, I/5. Muhammad Ridha, Abu Bakar al-Shiddiq,
I/13.