Hukum Mendahulukan Umrah dari Ibadah Haji
Oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Pengertian Umrah
Umrah atau al-‘umrah berasal dari kata al-I’timar,
yang artinya berziarah atau mengunjungi.
Selain bermakna ziarah, umrah juga bermakna al-qasdu, bermaksud atau
menyengaja.[1]
Secara syar’i umrah diartikan sengaja mengunjungi Bait al-Haram (Makkah) dengan
syarat-syarat tertentu dimulai dengan niat ihram, melaksanakan thawaf
mengelilingi Ka'bah, Sa'i di antara Shafa dan Marwah kemudian tahallul. Bedanya
dengan haji, kalau umrah dapat dilakukan sepanjang tahun, sedangkan haji hanya
dilakukan pada satu waktu di musim haji, yakni mulai bulan Syawal, Dzul Qa’dah,
dan Dzul Hijjah.[2]
Hukum Umrah
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum umrah. Ulama Hanafiah dan Malikiyah berpendapat
bahwa umrah hukumnya sunnah, karena beberapa ayat al-Qur’an yang mewajibkan
haji tidak menyertakan umrah, seperti surat Ali Imran ayat 97 dan surat al-Hajj
ayat 27.[3] Selain itu, beberapa hadis juga menerangkan bahwa umrah itu tidak wajib.
Misalnya hadis sebagai berikut:
عَنْ أَبِى صَالِحٍ الْحَنَفِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ: الْحَجُّ
جِهَادٌ، وَالْعُمْرَةُ تَطَوُّعٌ.
Dari Abi Shalih al-Hanafi bahwasanya
Rasulullah Saw bersabda: “Haji itu jihad, sedangkan umrah itu tathawwu(sunnah)”(HR.
Ibn Majah, dll).
Al-Albani menilai hadis ini dha’if.[4]
Al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra mengutip pendapat Imam Syafii bahwa
hadis ini munqathi’(terputus: dhaif).[5]
Kemudian hadis berikut ini:
عَنْ
جَابِرٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ العُمْرَةِ
أَوَاجِبَةٌ هِيَ ؟ قَالَ: لاَ، وَأَنْ تَعْتَمِرُوا هُوَ أَفْضَلُ
Dari Jabir bahwasanya Nabi Saw ditanya mengenai ‘umroh, apakah ia wajib? Nabi
Saw menjawab, “Tidak. Jika engkau berumroh maka itu lebih utama.” (HR.
Tirmidzi no. 931). Menurut Syaikh al-Albani, sanad hadits ini dha’if.[6]
Menurut Imam Syafi’i: “Hadits tersebut dha’if, tidak bisa dijadikan dalil,
dan tidak ada satu pun riwayat shahih yang mengatakan bahwa umrah itu hukumnya
sunnah”. Lebih lanjut Imam al-Nawawi mengatakan bahwa jumhur ulama sepakat
bahwa hadits tersebut adalah dha’if”.[7]
Berbeda dengan Imam Hanafi dan Imam Maliki yang berpendapat bahwa umrah itu
sunnah, Imam Syafi’i dan Ahmad
berpendapat bahwa umrah itu adalah wajib, sekali seumur hidup. Pendapat ini
didukung oleh dalil-dalil yang datang
dari al-Qur’an al-Karim, dari Sunnah Nabi Saw, dan pendapat mayoritas ulama. Berikut ini beberapa dalil yang
dijadikan hujjah oleh para ulama tentang wajibnya
umrah, firman Allah Swt:
وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.”
(Al-Baqarah: 196).
Ayat yang memerintahkan untuk menyempurnakan haji dan umrah tersebut, kata
al-Qurthubi dan al-Sa’di dalam tafsirnya, menunjukkan bahwa hukum umrah sama
seperti hukum haji, yaitu wajib.[8] Dan inipun dikuatkan dengan beberapa riwayat dari Nabi Saw, di antaranya
hadits Aisyah ra. ketika beliau bertanya
kepada Rasulullah Saw:
يَا
رَسَوْلَ اللهِ، هَلْ عَلَى النِّسَاءِ جِهَادٌ؟ قَالَ: جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيْهِ،
اَلْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
“Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi
wanita?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu
haji dan umrah.” (HR. Ahmad, Ibn Majah,
dan al-Daruquthni). Menurut al-Albani, hadis ini shahih.[9]
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, ketika Nabi
Saw menjelaskan tentang Islam:
قَالَ:
الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ،
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،
وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَعْتَمِرَ ، وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَأَنْ تُتِمَّ
الْوُضُوءَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ.
Nabi Saw bersabda: " Islam itu adalah engkau bersaksi bahwasanya tiada
Tuhan (yang wajib disembah) selain Allah dan bahwasanya Muhamad adalah utusan
Allah; engkau dirikan shalat; engkau tunaikan zakat; engkau laksanakan haji dan
umrah; engkau bermandi jinabat; engkau sempurnakan wudhu; dan engkau berpuasa
pada bulan Ramadhan.” (HR. Ibn Khuzaimah No. 3065; al-Daruquthni No.
207). Menurut al-Albani, hadis ini
shahih.[10]
Dan hadis
berikut ini:
عَنْ الصُّبَيّ بْن مَعْبَدٍ قال كُنْتُ أَعْرَابِيًّا
نَصْرَانِيًّا . . . فَأَتَيْتُ عُمَرَ، فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنِّي
أَسْلَمْتُ، وَإِنِّي وَجَدْتُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ مَكْتُوبَيْنِ عَلَيّ فَأَهْلَلْتُ
بِهِمَا، فَقَالَ عُمَرُ: هُدِيتَ لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
Dari Shubay bin Ma’bad berkata: Saya dahulu seorng Arab badui beragama
Nasrani…lalu saya mendatangi Umar dan berkata: Wahai Amirul Mukminin, saya
sudah memeluk agama Islam, dan saya mendapatkan haji dan umroh hukumnya adalah
wajib bagiku, maka saya mulai mengerjakan keduanya. Umar berkata: “Engkau telah
diberi petunjuk sesuai dengan sunnah Nabimu –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.(HR.
Abu Daud No.1799) dan al-Nasa’i No.2719). al-Albani mengatakan bahwa hadis ini
shahih.[11]
Berdasarkan ayat al-Qur’an dan beberapa hadis tersebut, mayoritas ulama
berpendapat bahwa umrah hukumnya wajib. Di kalangan sahabat yang berpendapat
wajib di antaranya Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Jabir bin Abdullah –radhiyallahu
‘anhum-. Jabir berkata: “Tidaklah seorang muslim kecuali diwajibkan berumrah”.
Al-Hafidz berkata: “diriwayatkan oleh Ibnul Jahm al Maliki dengan sanad yang shahih.
Imam Bukhori –rahimahullah- berkata: “Bab wajibnya umroh dan keutamaannya”.
Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Tidak ada seorang muslim kecuali
diwajibkan baginya haji dan umroh”. Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:
“Indikasi bahwa umrah adalah wajib adalah ayat al Qur’an.[12]
Hukum Umrah Dulu baru Haji
Berdasarkan
sejarah atau sirah Nabi Saw mengenai Umrah,
dapat diketahui bahwa beliau pernah melakukan 4 (empat) kali umrah dan 1(satu)
kali haji. Dari keempat umrah tersebut, 3(tiga) di antaranya dilaksanakan
sebelum Nabi Saw melaksanakan haji, yakni umrah Hudaibiyah (6 H), umrah
qadha (7 H), dan umrah dari Ji’ranah setelah perang Hunain (8 H). Sedangkan yang 1(satu) kali, umrahnya dilaksanakan
bersamaan
dengan haji beliau (10 H). Keterangan ini sesuai dengan hadis riwayat Ibnu Abbas ra, ia mengatakan:
اعْتَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَرْبَعاً عَمْرَةً مِنَ الْحُدَيْبِيَةِ
وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ فِى ذِى الْقَعْدَةِ مِنْ قَابِلٍ وَعُمْرَةَ الثَّالِثَةِ مِنَ
الْجِعْرَانَةِ وَالرَّابِعَةَ الَّتِى مَعَ حَجَّتِهِ
“Nabi Saw
pernah melaksanakan
umrah sebanyak 4 kali, umrah Hudaibiyah, umrah Qadha` di
bulan Dzulqa’dah setahun setelah Hudaibiyah, umrah ketiga dari Ji’ranah, dan
keempat, umrah bersama dengan pelaksanaan haji beliau.” (HR. Ahmad 2249 dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).[13]
Berdasarkan
hadis tersebut cukup jelas bahwasanya Nabi Saw telah melaksanakan umrah sebelum haji. Karena itu,
hukumnya boleh-boleh saja mendahulukan umrah sebelum melaksanakan haji. Apalagi
jika dikaitkan dengan kondisi di Indonesia saat ini, untuk bisa menunaikan
ibadah haji harus menunggu sekitar 20 tahun.
Kebolehan mendahulukan umrah dari haji ini juga ditegaskan oleh Ibn Umar
berdasarkan hadis shahih riwayat al-Bukhari sebagai berikut:
أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ خَالِدٍ سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ
، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ الْعُمْرَةِ قَبْلَ الْحَجِّ فَقَالَ: لاَ بَأْسَ
قَالَ عِكْرِمَةُ قَالَ ابْنُ عُمَرَ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ
أَنْ يَحُجّ
Bahwasanya Ikrimah bin Khalid
bertanya tentang hukum umrah sebelum menunaikan ibadah haji. Ibn Umar menjawab:
nggak papa (boleh saja). Ikrimah mengatakan, Ibn Umar menegaskan bahwasanya
Nabi Saw telah melaksanakan umrah sebelum beliau melaksanakan haji.[14]
Imam
al-Baghawi, dalam kitabnya Syarh al-Sunnah pada bab “mendahulukan umrah
daripada haji (تقديم العمرة على الحج) mengemukakan bahwasanya ulama
telah sepakat mengenai bolehnya mendahulukan umrah daripada haji (اجمع العلماء على جواز تقديم
العمرة على الحج).[15]
Wallahu
A’lam !
[1] Al-Nawawi, Tahdzib al-Asma Wa al-Lughat,
Vol.III (Bayrut: Dar al-Fikr, 1996), 224.
[2] Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, IV
(Bayrut: Dar Shadir, t,th), 601.
[3] Wahbah bin Mushtafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir,
Vol.II (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1418), 168. Baca juga ‘Alauddin ‘Ali
bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, Tafsir al-Khazin, Vol. I (Bayrut:
Dar al-Fikr, 1979), 172.
[4] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilat al-Ahadis
al-Dha’ifah, Vol. II (al-Riyad: Dar al-Ma’arif, 1992), 247.
[5] Imam al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, Vol. IV
(Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994 ), 348.
[8] Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Vol.II
(Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), 365. Baca juga Abdurrahman bin Nashir
bin al-Sa’di, Taysir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Manan, Vol. I
(T.tp: Muassasah al-Risalah, 2000), 90.
[9] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwa al-Ghalil,
Vol. II (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1985), 151.
[10] Muhammad Nashiruddin
al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, Vol.II (al-Riyad: Maktabah
al-Ma’arif, t.th), 3.
[11] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Abu Dawud,
Vol. VI (al-Kuwait: Muassasah Gharras Li al-Nasyr Wa al-Tawzi’, 2002), 55.
[12] Imam al-Bukhari, al-Jami’
al-Shahih, Vol. III (al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987), 2. Imam al-Nawawi, al-Majmu’,
VII/5-6. Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi Bisyarh Jami’ al-Tirmidzi,
Vol. III (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 583-584.
[13] Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin
Hanbal, Vol. IV (t.tp: muassasah al-Risalah, 2001), 87.
[15] Al-Husayn bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah,
Vol. VII (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1983), 9.
Maaf kak mau titip info Macam- Macam Haji dan Penjelasan Singkat
BalasHapus