HUKUM DUA NIAT (MENGGANDAKAN
NIAT)
DALAM SATU AMALAN
oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Di kalangan ulama ada perbedaan pendapat mengenai
sah dan tidaknya menyatukan dua niat dalam ibadah. Misalnya niat qadla
puasa wajib Ramadlan sekaligus niat puasa sunnah Syawal atau niat
puasa sunnah Senin-Kamis.
Secara garis
besar, perbedaan mengenai hal teersebut dapat dikelompokkan menjadi dua
pendapat saja. Pendapat pertama memandang sah menyatukan dua niat dalam suatu
ibadah, seperti niat qadla puasa Ramadlan sekaligus niat puasa sunnah
Syawal. Sedangkan pendapat kedua memandang tidak sah, dan kedua amalan tersebut
dinyatakan sia-sia (batal).
Pendapat yang menyatakan sah terhadap amalan
tersebut dianut oleh para ulama mutaakhkhirin, sebagaimana dikemukakan
oleh Imam Zainuddin al-Malibari (W.972
H) murid Ibn Hajar al-Haitami al-Syafi’i (W..974 H). dalam kitabnya Fath al-Mu’in Bi Syarh
Qurrati al-‘Ain [1] :
أَفْتَى جَمْعٌ مُتَأَخِّرُوْنَ
بِحُصُوْلِ ثَوَابِ عَرَفَةَ وَمَا بَعْدَهُ بِوُقُوْعِ صَوْمِ فَرْضٍ فِيْهَا
Artinya:
“Golongan
ulama mutaakhkhirun telah memberikan fatwa bahwa (seseorang) tetap akan dapat pahala puasa
Arafah atau puasa-puasa sunnah yang lain dikarenakan pada hari tersebut
dilaksanakan puasa fardlu”.
Pendapat
ini berbeda dengan pendapat ulama-ulama sebelumnya seperti Imam al-Nawawi, Imam
al-Asnawi dan lain-lain. Dalam kitab al-Majmu’ [2],
al-Nawawi menegaskan:
إِنْ نَوَاهُمَا لَمْ يَحْصُلْ لَهُ
شَيْءٌ مِنْهُمَا
Artinya:
“Jika
seseorang berniat keduanya (niat wajib dan sunnah sekaligus) maka
orang itu tidak akan mendapat apa pun dari keduanya” [3].
Pendapat
tersebut didukung oleh TM Hasbi al-Shiddiqi dalam bukunya Pedoman Puasa. al-Shiddiqi mengatakan bahwa mencampurkan
niat puasa yang wajib dengan puasa yang sunnah atau tathawwu’
itu tidak sah, baik yang fardlu atau pun yang sunnah sama-sama
tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:
وَمَا
أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Artinya:
“Dan tidaklah mereka
diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah, serta mengikhlaskan taat
kepadaNya” (QS al-Bayyinah, 5).
Ikhlas
yang dimaksudkan dalam firman Allah ini, kata al-Shiddiqi, adalah mengikhlaskan
amal yang disuruh dengan cara yang disuruh pula. Demikian pendapat Imam Malik,
al-Syafi’i dan Abu Sulaiman[4].
Munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama
mengenai sah atau tidaknya menyatukan dua niat dalam ibadah (niat puasa wajib
dan sunnah sekaligus) tersebut dikarenakan tidak adanya dalil yang jelas
dari al-Qur’an maupun al-Sunnah serta tidak adanya contoh dan keterangan dari
para sahabat. Ulama yang memandang sah terhadap amalan tersebut hanya
berdasarkan pertimbangan bahwa pengamalan kedua ibadah (puasa yang wajib
dan puasa yang sunnah) tersebut dilakukan dengan cara sama dan di dalam
waktu yang sama yakni pada hari-hari mulia yang memang disunnahkan
berpuasa. Dengan niat ganda dalam satu amalan dan dalam satu waktu tersebut
diharapkan akan mendapatkan pahala yang ganda juga.
Adapun ulama yang memandang tidak sah terhadap cara
beramal dengan menyatukan dua niat dalam ibadah, mereka beralasan bahwa amalan
tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan juga para sahabat
Nabi Saw. Menyatukan dua niat dalam satu amalan, oleh ulama ini dinilai sama
dengan mencampur-adukkan dua niat menjadi satu. Hal ini dipandang tidak bersih,
tidak ikhlas. Karena itu cara beramal seperti ini, seperti menyatukan niat
puasa qadla Ramadlan yang wajib dengan niat puasa sunnah
Syawal atau Senin-Kamis dinilai tidak sah dan sia-sia.
Mana di antara kedua pendapat tersebut yang benar?
Tentu saja hanya Allah yang mengetahuinya. Bagi kita yang ingin beramal satu
kali tetapi dapat dua sekaligus, barangkali tertarik dengan pendapat para ulama
mutaakhkhirin yang membolehkan menyatukan dua niat dengan harapan dapat
dua pahala sekaligus. Pendapat yang memandang sah ini didukung oleh Imam Ibn
Hajar al-Haitami, Muhammad al-Ramli dan lain-lain.
Sedangkan bagi kita yang ragu dengan amalan tersebut
(menyatukan dua niat dalam ibadah) karena khawatrir tidak diterima oleh Allah,
mungkin akan lebih tertarik pada pendapat Imam al-Nawawi yang menilainya tidak
sah, dan sia-sia keduanya.
Untuk mengambil sikap yang hati-hati mengenai hal
tersebut, ada baiknya membaca Keputusan Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 21
Oktober 1926 M tentang pendapat tokoh (Imam) yang boleh difatwakan. Yang boleh/
dapat dipergunakan berfatwa ialah:
a. Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam
Rafi’i;
b. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja;
c. Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja;
d. Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak;
e. Pendapat ulama yang terpandai;
f. Pendapat ulama yang paling wira’i.[5]
Sesuai dengan peringkat pilihan fatwa tersebut maka
jika dikaitkan dengan permasalahan yang sedang kita bahas ini, yakni tentang
menyatukan dua niat dalam ibadah puasa (seperti niat qadla puasa
Ramadlan sekaligus niat puasa sunnah Senin-Kamis, Arafat, Asyura dan
lain-lain), maka pilihan kita akan jatuh pada pendapat Imam al-Nawawi. Dalam
hal ini al-Nawawi berpendapat bahwa menyatukan dua niat dalam ibadah seperti
tersebut di atas tidaklah sah
kedua-duanya dan tidak dapat apa-apa dari keduanya.
Itulah pendapat Imam al-Nawawi. Bagi yang setuju,
silakan diambil dan diikuti, sedangkan bagi yang tidak setuju itu menjadi
haknya. Kita harus tetap saling menghormati. Semoga Allah Swt memberikan
hidayat kepada kita untuk dapat memilih pendapat yang benar. Amien !
Wallahu a’lam bi al-shawab !
[1] Zainuddin bin Abd al-‘Aziz
al-Malibari, Fath al-Mu’in Bi Syarh Qurrati al-‘Ain (Indonesia: Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, tt), 59.
[2] Al-Nawawi mengutip pendapat
Imam Syafi’i dan sahabat-sahabatnya yang mengatakan bahwa bulan Ramadlan itu
untuk puasa Ramadlan, tidak boleh untuk niat puasa yang lain. Jika pada bulan
Ramadlan itu seseorang niat puasa kafarah, puasa nadzar, puasa qadla atau
puasa-puasa sunnah yang lain, baik ia
sebagai musafir atau sedang sakit, maka
niatnya itu tidak sah dan puasanya juga tidak sah. Keduanya tidak sah, baik
niat Ramadlannya ataupun niat yang lainnya. Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, Vol.VI (Beirut: Dar al-Fikr,tt), 299.
[5] Ahkam al-Fuqaha, Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul
Ulama (1926-1999), terj. Djamaluddin Miri (Surabaya: LTN NU Jawa Timur dan
Diantama, 2005), 3. Pendapat muktamar tersebut mengacu kepada Sayid al-Bakri
dalam I’anat al-Thalibin, Vol.I, 19.