MURUR DAN TANAZUL
Oleh
Permasalahan
Assalamu’alaikum
wr.wb.!
Prosesi
haji tahun ini direncanakan ada sekema baru, terutama bagi Jemaah Haji
Indonesia yang berangkat tahun 2025, yaitu program murur dan tanazul. Melalui
rubrik Konsultasi Agama Majalah MATAN ini saya mohon kepada Pengasuh kiranya
berkenan memberikan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan murur dan
tanazul, dan bagaimana hukumnya menurut Tarjih Muhammadiyah? Atas
perkenannya kami sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah
khairan katsiran! (Umi Istiqamah, Sidoarjo).
Pembahasan
Wa’alaikumussalam
wr.wb.!
Sebelum
membahas tentang apa yang dimaksud dengan murur dan tanazul program haji
mutakhir oleh Pemerintah (Kemenag RI), mari kita ingat kembali tentang apa saja
yang dilakukan oleh jemaah haji pada saat melakukan prosesi ibadah haji.
Prosesi Haji
Secara
garis besar dapat diterangkan bahwa prosesi manasik haji dimulai pada
tanggal 8 Zulhijah untuk ihram haji dari hotel masing-masing di Makkah. Saat
hendak memulai ihram haji, jemaah haji terutama kaum pria diharuskan memakai
kain dua lembar yang disebut dengan kain ihram, tidak boleh memakai yang lain.
Sementara kaum wanita boleh berpakaian apa saja yang dapat menutup auratnya,
diutamakan yang berwarna putih. Pada hari itu, yang disebut hari Tarwiyah, para
jemaah haji disunahkan berangkat menuju Mina.
Namun, dengan pertimbangan menghindari kepadatan dan
kesulitan yang dihadapi jemaah, Pemerintah Indonesia memberangkatkan jemaah
haji langsung menuju ke Arafah. Bagi jemaah yang mengikuti kegiatan Tarwiyah di
Mina, mereka tinggal di sana hingga Subuh. Setelah matahari terbit baru
berangkat menuju ke Arafah.
Selanjutnya,
tanggal 9 Zulhijah Wukuf di Arafah, dimulai saat waktu Zuhur tiba dan
berakhir hingga Magrib. Kegiatan wukuf dimulai dengan Khutbah Arafah, kemudian
azan zuhur, ikamah, salat zuhur dua rakaat, ikamah lagi, lalu salat asar dua
rakaat dilakukan dengan jamak-qasar takdim.
Tanggal
9 malam 10 Zulhijah, setelah Magrib, jemaah haji diberangkatkan menuju
Muzdalifah. Kegiatan yang dilakukan di Muzdalifah adalah mabit (bermalam)
hingga Subuh. Di Muzdalifah melakukan salat magrib dan isyak dilakukan dengan
jamak qasar takhir, kemudian istirahat semalam hingga Subuh. Setelah salat
Subuh, para jemaah diberangkatkan menuju ke Mina.
Tanggal
10 Zulhijah pagi, di Mina, jemaah melempar jamrah aqabah (yang ketiga) saja.
Setelah itu, jemaah bisa mencukur rambutnya. Dengan telah selesainya lempar
jamrah aqabah dan mencukur rambutnya, maka jemaah sudah bisa tahalul awal.
Saat itu jemaah sudah boleh menanggalkan larangan ihram termasuk pakaian
ihramnya dan berganti dengan pakaian biasa, tetapi belum boleh berkumpul
suami-isteri (jimak).
Tanggal
11, 12, dan 13 Zulhijah di Mina, setiap harinya Jemaah melempar jamrah ula
(pertama), wusta (Tengah/kedua), dan aqabah (terakhir/ketiga), dan bermalam di
Mina. Masing-masing jamrah
dilempar 7 kali. Selain itu bisa juga melaksanakan penyembelihan hewan hadyu.
Sebagai
pilihan, tanggal 12 Zulhijah boleh meninggalkan Mina untuk kembali ke
Makkah (nafar awal), atau tanggal 13 Zulhijah baru meninggalkan Mina
untuk kembali ke Makkah (nafar sani). Sesampai di Makkah, bisa melaksanakan
tawaf ifadah dan sai. Selanjutnya tahalul sani. Dengan tahalul sani, maka
selesailah seluruh rangkaian ibadah haji.
Program Murur
Yang
dimaksud dengan program murur adalah sebuah inovasi
dalam manajemen pergerakan jemaah haji pada saat puncak ibadah, khususnya
setelah wukuf di Arafah. Saat itu jemaah haji diberangkatkan dari Arafah
setelah ibadah maghrib lalu menuju Muzdalifah tanpa turun dan langsung menuju
Mina. Murur artinya lewat.
Sesuai
syariat, setelah wukuf di Arafah lalu mabit (bermalam) di Muzdalifah sampai
waktu Subuh. Hal ini sesuai dengan amalan Nabi saw: “Dari
Jabir, ia berkata, … sampai di Muzdalifah beliau melakukan salat Magrib dan
Isya dengan satu kali azan dan dua ikamah dan beliau tidak melakukan salat
antara keduanya, kemudian Rasulullah saw tidur hingga terbit fajar, lalu beliau
salat Subuh ketika waktu subuh tiba dengan azan dan ikamah” (HR.
Muslim 3009).
Dalam program murur, jemaah haji tidak melakukan mabit
di Muzdalifah hingga Subuh, tetapi sekedar lewat saja, selanjutnya dibawa
ke Mina. Peralihan kegiatan mabit menjadi murur ini diberlakukan bagi jemaah
yang mengalami uzur, dan ini dibenarkan oleh syariat berdasarkan hadis berikut
ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:
نَزَلْنَا الْمُزْدَلِفَةَ، فَاسْتَأْذَنَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَوْدَةُ أَنْ تَدْفَعَ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ، وَكَانَتِ امْرَأَةً
بَطِيئَةً، فَأَذِنَ لَهَا، فَدَفَعَتْ قَبْلَ حَطْمَةِ النَّاسِ،وَأَقَمْنَا
حَتَّى أَصْبَحْنَا نَحْنُ، ثُمَّ دَفَعْنَا بِدَفْعِهِ، فَلَأَنْ أَكُونَ
اسْتَأْذَنْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا اسْتَأْذَنَتْ
سَوْدَةُ
أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ مَفْرُوحٍ بِهِ )رواه البخاري(
Dari Aisyah ra., ia berkata:
“kami sampai di Muzdalifah, kemudian Saudah (isteri Nabi) meminta izin
Nabi saw. untuk berangkat mendahului rombongan. Saudah sendiri merupakan
perempuan yang lambat (karena gemuk). Lalu Nabi mengizinkannya, sehingga ia
berangkat mendahului rombongan, adapun kami tetap di sana (bermalam di
Muzdalifah) sampai subuh, baru kemudian kami menyusul. Sungguh, meminta izin
bagiku ke Rasulullah saw sebagaimana meminta izinnya Saudah adalah sesuatu yang
paling aku cintai daripada hal yang menyenangkan (HR.
al-Bukhari 1681).
Menurut Majelis Tarjih, hadis tersebut mengandung dua
makna. Pertama, menunjukkan bahwa, pada prinsipnya mabit harus dilaksanakan
di Muzdalifah hingga subuh sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw.
Namun, apabila ada kesulitan yang menjadi alasan (uzur) yang dibenarkan oleh
syariat, seperti yang dialami oleh Saudah, maka kegiatan bermalam
(mabit) boleh diganti dengan cukup melewati (murūr) lalu turun atau tetap di
atas kendaraan, selanjutnya menuju Mina.
Makna kedua, menjadi dasar kebolehan skema murūr yang
direncanakan oleh Pemerintah sebagai pengganti mabit di Muzdalifah bagi
kelompok risiko terkena penyakit (riski), lansia, difabel dan para pendamping.
Dalam skema yang dirilis oleh Pemerintah disebutkan, murūr akan
berlangsung pada tanggal 9 malam 10 Zulhijah dari pukul 19.00-22.00 waktu Arab
Saudi. Jemaah akan bergerak dari Arafah, melewati Muzdalifah, tidak turun dan
langsung menuju Mina. Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan:
إِذَا
تَعَذَّرَ
الْأَصْلُ
يُصَارُ إِلى الْبَدَلِ
Apabila hukum asal (pokok)
sulit untuk direalisasikan, maka bisa beralih kepada hukum pengganti
(al-Saidan, al-Ifadah al-Syar’iyah Fi Ba’d al-Masail al-Tibbiyah, I/4).
Kaidah ini menjadi dasar peralihan dari mabit ke murūr.
Dalam konteks haji, mabit berada dalam kedudukan al-aṣl, dan
murūr
dalam kedudukan al-badl. Jadi, jika mabit sebagai asal hukum sukar untuk
dilaksanakan karena ada alasan syar‘ī maka
penunaiannya bisa dengan melaksanakan murūr sebagai pengganti dari hukum pokok.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagi yang mengalami
kesulitan (uzur) baik karena kondisi fisik, maupun keadaan, boleh baginya untuk
mengganti mabit di Muzdalifah dengan murūr. Selanjutnya, bagi jemaah haji yang
memenuhi kriteria kebolehan murūr bisa melakukan murūr kapan saja, awal, tengah atau akhir
malam dan tidak terkena dam.
Program Tanazul
Secara
sederhana, yang dimaksud dengan program tanazul adalah jemaah yang
tinggal di hotel dekat area jamarat atau tempat lontar jamrah akan kembali ke
hotel dan tidak menempati tenda di Mina. Dengan demikian, program tanazul
berarti tidak lagi mutlak seorang jemaah haji harus menginap di tenda yang
sudah tersedia di Mina, tetapi bisa menginap di hotel, karena jarak menuju ke
kemah lebih jauh daripada pergi ke hotel mereka.
Dalam konteks ini, menurut Majelis Tarjih, prinsip
kemudahan dengan asas memelihara agama (hifẓ ad-dīn) dan memelihara jiwa (hifẓ
an-nafs) sejatinya menjadi dasar kebolehan skema tanāzul
bagi pihak yang dikhawatirkan akan mengalami kesulitan bahkan membahayakan jika
ikut berdiam di Mina. Prinsip kemudahan ini memang ditetapkan Allah pada setiap
pelaksanaan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Di antara dalil yang menunjukkan
hal itu adalah sebagai berikut:
1. Ayat ke-78 surah al-Hajj (22): …وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ
…
… dan (Allah) tidak menjadikan kesulitan
untukmu dalam agama…
2. Hadis riwayat al-Bukhari dari Aisyah
r.a.:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ
يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا انْتَقَمَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ
حُرْمَةُ اللَّهِ، فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا )رواه البخاري(
Dari Aisyah r.a.
(diriwayatkan) bahwa ia berkata, Rasulullah saw tidak pernah memilih salah satu
antara dua hal, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya
selama yang mudah itu bukanlah dosa. Jika itu adalah dosa, maka sungguh beliau
adalah manusia yang paling menjauhinya. Nabi saw pun tidak pernah membenci
karena pertimbangan diri sendiri, kecuali berkaitan dengan kehormatan Allah,
sehingga beliau membenci sesuatu karena Allah swt (HR.
al-Bukhari 3560).
3. Dalil-dalil tersebut juga
sejalan dengan kaidah fikih: “Kesulitan menghendaki adanya kemudahan” (الْمَشَقَّةُ
تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ).
Sebagai kesimpulan, tanāzul diperbolehkan bagi jemaah
yang memiliki uzur syar‘i,
baik terkait kondisi fisik, seperti risiko sakit, lansia, dan difabel, maupun
uzur yang terkait dengan keadaan tempat dan kondisi pelaksanaan. Kebolehan tanāzul
ini didasari atas prinsip taisīr yang menghendaki adanya kemudahan.
Tanāzul yang dimaksud di sini adalah pulang-balik dari Mina ke
hotel di sela-sela melaksanakan ibadah di Mina. Jadi ketika jemaah bertanāzul,
bukan berarti sama sekali tidak di Mina dan tidak mengerjakan ibadah selama di
Mina. Bagi jemaah yang tanāzul dan ketika waktu melempar jamrah ia berada di tenda
Mina dan mewakilkan pada jemaah lain, ia tidak dikenai dam.
Adapun jemaah haji yang sama sekali berhalangan ke Mina
dan tidak melaksanakan ibadah yang disyariatkan di Mina, ia dikenai dam, karena
telah meninggalkan salah satu kewajiban haji (Fatwa MTT-PPM, 12 Juni 2024).
Wallahu A’lam!
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN edisi Juli 2025)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar