DI BULAN
RAMADHAN, BOLEHKAN WANITA HAID BACA AL-QUR’AN?
Oleh
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb!
Ustadz Achmad
Zuhdi (UAZ) rahimakumullah! Mohon penjelasan tentang seorang Wanita muslimah
yang sedang haid di Bulan Ramadhan. Amalan apa yang bisa dilakukan, dan
bolehkah ia tetap membaca mushaf al-Qur’an dengan tujuan untuk memperkuat
hafalannya? Demikian, atas perkenan dan jawabannya, saya sampaikan terima kasih
dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Faizah, Candi).
Wassalamu’alaikum
wr.wb.!
Jawaban:
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, perlu dikutipkan hadis sebagai berikut:
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَألْتُ
عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا فَقُلْتُ: مَا باَلُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلا
تَقْضِى الصَّلاةَ؟ فَقَالَتْ: أحَرُورِيَّةٌ أنْتِ؟ فَقُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّة. وَلكِنْ
أسْألُ فَقَالَتْ: كَانَ يُصيبُنَا ذلكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْم وَلا نُؤمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّلاةِ
“Muadzah binti
Abdullah menuturkan bahwa dirinya pernah bertanya kepada Aisyah ra. Muadzah berkata: “Mengapa
orang haid harus mengganti puasa pada hari yang lain akan tetapi tidak
mengganti shalat pada hari yang lain?” Aisyah berkata, “Apakah engkau
termasuk kelompok Haruriyyah?” Muadzah
menjawab, “Aku bukanlah seorang Haruriyah tetapi aku hanya sekedar
bertanya”. Aisyah menjawab: “Kami
pernah mengalami haid. Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa, namun kami tidak
diperintahkan untuk mengqadha’ shalat” (HR. Muslim No. 789).
Hadis
tersebut dapat dipahami bahwa selama Ramadhan, bagi wanita yang sedang haid, ia
tidak boleh shalat dan tidak boleh berpuasa. Sebagai gantinya, ia diwajibkan
mengqadha puasa Ramadhan di bulan yang lain. Adapun shalat yang ditinggalkannya
karena haid, tidak perlu diqadha.
Amalan Yang Boleh Dilakukan
Wanita Haid
Muncul
pertanyaan, jika wanita haid tidak boleh berpuasa dan tidak boleh shalat selama
Ramadhan, lalu apa yang boleh dilakukan sebagai amal shalihnya? Bukankah bulan Ramadhan adalah bulan yang agung, penuh berkah dan
ampunan? Benar, masih
banyak amalan yang bisa dilakukan oleh wanita yang sedang haid atau nifas di
bulan Ramadhan, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Memberi dan Menyediakan Ifthar
(hidangan buka puasa)
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ
يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا.
Rasulullah
Saw bersabda: “Barang siapa memberi ifthar (hidangan untuk berbuka) kepada
orang-orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang melaksanakan
puasa tanpa dikurangi sedikitpun” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, dan
lain-lain).
Al-Albani: Hadis ini shahih.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa siapapun yang mau
menyediakan makanan atau minuman untuk berbuka puasa, baik kaum laki-laki
maupun perempuan, sedang berpuasa atau tidak sedang berpuasa (karena haid,
sakit, safar, dan lain sebagainya), maka yang bersangkutan akan mendapatkan
bagian pahala puasa seperti yang dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa.
Selain sedekah untuk berbuka puasa, wanita haid bisa juga
sedekah-sedekah yang lain, baik yang wajib seperti zakat al-mal dan zakat
al-fithr, maupun sedekah sunnah
seperti infak atau sedekah untuk masjid, TPQ, panti asuhan, dan
lain-lain yang membutuhkan bantuan.
2.
Berdoa, berdzikir,
dan beristighfar
Bagi wanita yang sedang haid atau nifas memang tidak
boleh shalat dan tidak boleh berpuasa, namun ia diperkenankan untuk berdoa dan
berdzikir. Misalnya ketika mendengar
adzan, ia dibolehkan menjawabnya dan setelah usai adzan ia pun dibolehkan untuk
berdoa dan berdzikir. Sebagaimana yang sudah maklum bahwa berdoa setelah
mendengar adzan sangat besar pahalanya dan dijamin akan dapat syafaat dari Nabi
Saw pada hari kiamat(HR.
Bukhari dan lain-lain).
Para Fuqaha sepakat bahwa tiga macam ibadah yaitu:
istighfar, dzikir dan doa tidak disyaratkan bagi pelakunya harus suci dari
hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil. Artinya, seorang wanita yang sedang haid, meskipun
dia berhadas besar, tidak
ada larangan baginya untuk beristighfar, dzikir dan berdoa sepanjang waktu
selama mampu (al-Syanqithi, Syarh al-Tirmidzi, 62/4).
Terutama pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kaum
muslimin ditekankan memperbanyak amal ibadah. Bagi wanita haid dapat meniru
dzikir dan doa yang biasa dibaca Aisyah ra saat-saat menunggu lailatul qadar,
yakni dengan bacaan “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni”
(Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaafkan, karena itu
maafkanlah aku). Al-Albani: hadis
ini riwayat Ahmad, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah. Hadis ini shahih( al-Albani: Shahih
al-Jami’ al-Shaghir, II/814).
3. Thalabul ‘Ilmi (menghadiri
pengajian)
Mencari ilmu atau
menghadiri pengajian termasuk amal shalih yang bisa dilakukan wanita haid di
bulan Ramadhan, baik dilakukan dengan mendatangi majelis ilmu maupun
mempelajari buku-buku yang bermanfaat. Dalam sebuah hadis disebutkan tentang
keutamaan menuntut ilmu:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ
اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut Ilmu,
niscaya Allah Swt. menunjukkan jalan menuju surga baginya”. (H.R. Al-Bukhari
dan Muslim).
Wanita Haid Baca
Mushaf al-Qur’an?
Bagaimana dengan wanita yang
haid, bolehkah membaca al-Qur’an? Tentang hukum membaca
al-Qur’an, ulama berbeda pendapat. Sebagian melarang dan sebagian lagi
membolehkan. Ulama yang membolehkan beralasan pada hadis tentang Aisyah yang
sedang menunaikan ibadah haji. Saat itu Aisyah sedang haid. Kepada Aisyah, Nabi
Saw bersabda: “Lakukan apa saja dalam ibadah haji, kecuali thawaf” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa beramal apa saja boleh,
misal sa’i dan doanya, wukuf di Arafah dan doanya, dan lain-lain selain thawaf.
Di antara ulama yang membolehkan wanita haid baca al-Qur’an adalah Imam
al-Bukhari, al-Thabari, Ibn al-Mundzir, Abu Dawud dan lain-lain. Mereka mengacu
pada keumuman hadis:
كَانَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Nabi Saw biasa berdzikir pada
semua keadaan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dzikir di sini lebih umum, termasuk
di dalamnya membaca al-Qur’an(al-Mubarakfuri, Tuhafat al-Ahwadzi Syarh
al-Tirmidzi , I/348).
Dari hadis di
atas dapat difahami bahwa orang yang berhadas besar boleh berzikir menyebut
nama Allah. Membaca al-Qur’an dapat disamakan dengan menyebut nama Allah. Mengenai
ayat laa yamassuhu illal-muthahharuun (al-Waqi‘ah ayat
79) menurut riwayat diturunkan di Makkah, sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah.
Sedang mushaf al-Qur’an baru ada pada zaman Khalifah
Utsman bin Affan, yang berarti adanya mushaf al-Qur’an
setelah lebih kurang 30 tahun setelah ayat tersebut diturunkan. Pada masa
Khalifah Utsman baru ada lima mushaf dan
itupun belum beredar ke tengah masyarakat. Mushaf al-Qur’an
baru dicetak dan mulai beredar ke tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun
kemudian. Karena itu, ayat di atas tidak ada kaitannya dengan mushaf al-Qur’an.
Dari pendapat
para mufassir dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan al-muthahharuun, ialah orang yang suci yang benar-benar
beriman kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Orang-orang inilah yang dapat menyentuh isi dan kandungan al-Qur’an. Sedangkan
orang yang tidak suci tidak akan dapat menyentuh kandungan dan isi al-Qur’an.
Orang-orang suci yang dimaksud mungkin malaikat, dan mungkin manusia, dan
mungkin pula kedua-duanya
(al-Thabari, Tafsir al-Thabari, XXIII/150-151).
Majelis Tarjih PP. Muhammadiyah dalam Buku
Fatwa-Fatwa Tarjih Tanya Jawab Agama Juz II hal. 34-37 berpendapat bahwa
al-Qur’an yang terdapat dalam mushaf sekarang ini asli. Dahulu di lauh
al-mahfud yang kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad saw kemudian ditulis
dan sekarang kita dapati tulisan itu dalam mushaf al-Qur’an. Adapun
menyentuh dan membacanya tidak harus berwudu, tetapi diutamakan. Nabi saw
bersabda:
أَنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ
اللَّهَ إِلَّا عَلَى طَهَارَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama
Allah kecuali dalam keadaan suci” (HR. Ahmad No. 19034 dan Abu Dawud No. 17).
al-Albani mensahihkannya (al-Albani, Irwa al-Ghalil,
II/245).
Dari
keterangan tersebut dapat difahami bahwa Wanita haid yang ingin membaca al-Qur’an
dengan memegang mushaf pada bulan Ramadhan dengan tujuan untuk menjaga hafalannya,
maka hukumnya dibolehkan. Wallahu A’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar