MEMILIH PEMIMPIN IDEAL
Oleh
Dr.H.Achmad
Zuhdi Dh,M.Fil I
Teks Hadis
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِى قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى
ثُمَّ قَالَ « يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
Abu
Dzar berkata: Ya Rasulallah! Tidakkah kau memberikan jabatan kepadaku? Maka
Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Wahai Abu Dzar! Engkau seorang yang lemah,
dan jabatan itu sebagai amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi
penyesalan dan kehinaan, kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan
kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya (HR. Muslim No. 4823)
Status
Hadis
Al-Albani mengatakan bahwa hadis
tersebut shahih (Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II/254). Selain
diriwayatkan oleh Muslim, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Thahawi
dalam Syarah Musykil al-Atsar No. 57, Ibn Abi Syaibah dalam Sunan Ibn Abi
Syaibah No. 32540, al-Baihaqi dalam Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar No. 6023, dan
al-Hakim dalam al-Mustadrak No. 7019.
Kandungan
Hadis
Hadis tersebut menjelaskan bahwa amanah yang akan diemban
oleh seorang pemimpin itu sungguh sangat berat. Karena itu ketika Abu Dzar
meminta suatu jabatan, oleh Rasulullah Saw diberitahu bahwa pada diri Abu Dzar
itu ada kelemahan yang dimungkinkan tidak akan sanggup mengemban suatu jabatan.
Diingatkan oleh Rasul bahwa jabatan itu merupakan amanat yang berat, dan kelak pada
hari kiamat suatu jabatan hanya akan mendatangkan penyesalan bahkan kehinaan,
kecuali bila orang yang mendapatkan amanah jabatan itu benar-benar memiliki
kemampuan, kapasitas dan kapabilitas sehingga ia akan dapat menunaikan hak dan
kewajibannya dengan penuh tanggung jawab.
Untuk menjadi seorang pemimpin handal dan ideal, Allah mengisyaratkan
adanya empat kreteria yang harus dimilikinya:
إِنَّمَا
وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
(QS. Al-Maidah, 55).
Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kewengan yang
sangat besar dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak
sangat besar bagi kehidupan kaum Muslimin di suatu wilayah tertentu. Karena itu
seorang pemimpin harus kuat, dan memiliki kemampuan yang memadai. Memilih seorang pemimpin bukan sekedar bagian dari urusan
dunia, tetapi juga sekaligus urusan akhirat.
Islam tidak mengenal dikotomi atau sekulerisasi yang memisahkan
antara dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih pemimpin.
Berdasarkan Surat al-Maidah ayat 55 tersebut, ada empat
kreteria seseorang yang layak menjadi pemimpin.
Pertama, harus beriman kepada Allah (وَالَّذِينَ
آمَنُوا), mukmin dan muslim yang baik, yakni
seorang Muslim yang memiliki dua sifat, seperti disebutkan dalam Alquran Surah
Yusuf ayat 55, “hafizhun ‘alim” (إِنِّي
حَفِيظٌ عَلِيمٌ).
“Hafizhun”, artinya seorang yang pandai menjaga. Yakni,
seorang yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan
berakhlak mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat
yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang amanah, akan berusaha sekuat tenaga
untuk menyejahterakan rakyatnya, walaupun sumber daya alamnya terbatas.
Sebaliknya pemimpin yang khianat sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarga
serta kolega-koleganya, dan membiarkan rakyatnya tak berdaya. Jabir bin
Abdillah berkata:
الأَمَانَةُ تَجْلِبُ الرِّزْقَ وَالْخِيَانَةُ تَجْلِبُ
الْفَقْرَ
Sifat amanah itu akan membawa keberkahan,
sedangkan sifat khianat itu
akan mendorong kepada kefakiran (al-Manawi, Faidh al-Qadir, III/183
Adapun “’Alim”,
artinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai
untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka pada kehidupan yang lebih
sejahtera. Masuk dalam ketegori ini adalah
memiliki sifat “fathanah”, artinya cerdas dan tangkas dalam menghadapi berbagai
problem yang menghadang. Bila seorang pemimpin memiliki sifat seperti ini, maka
akan lebih cepat dalam menyelesaikan persoalan yang muncul.
Kedua, untuk menjadi seorang pemimpin, menurut al-Maidah
ayat 55, haruslah rajin menegakkan
shalat (يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ).
Sebab, shalat adalah barometer akhlak manusia. Shalat dapat menumbuhkan sikap
tanggung jawab dan kedisiplinan. Shalat juga dapat menumbuhkan optimisme,
karena dengan semakin dekatnya kepada Allah, ia akan mudah untuk mendapatan
bimbingan berupa ilham. Allah menyatakan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Maka ingatlah
kepada-Ku, pasti Aku pun akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan
mengingkari nikmat-Ku (QS. Al-Baqarah, 152)
Ketiga, untuk menjadi seorang pemimpin, menurut al-Maidah
ayat 55, adalah gemar menunaikan zakat dan sedekah (وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ). Zakat itu bukan
membersihkan harta yang kotor, melainkan membersihkan harta kita (harta
yang bersih) dari hak orang lain. Seorang pemimpin yang rajin berzakat dan
berinfak dengan penuh kesadaran, tidak mungkin akan korupsi. Sebab terhadap
harta yang dimilinya saja mau dibersihkan, buat apa korupsi yang malah akan mengotori hartanya. Allah
mengingatkan:
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu memakan harta di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada hakim, dengan maksud agar
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, 188)
Keempat, syarat
pemimpin yang keempat menurut al-Maidah ayat 55, adalah suka berjamaah (وَهُمْ
رَاكِعُونَ). Artinya suka
bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan rakyatnya dengan
sebaik-baiknya, dan mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang
dihadapi masyarakatnya. Sifat suka berjamaah atau memperhatikan masyarakat ini,
ditunjukkan dalam shalat fardhu berjamaah. Rasulullah setiap selesai shalat
fardhu berjamaah lalu duduk menghadap kepada jamaah. Hal itu, bertujuan untuk mengetahui kondisi jamaah,
termasuk memperhatikan apakah jumlah jamaah tersebut lengkap atau tidak. Kalau
ada yang tidak hadir shalat berjamaah, maka ditanya apa penyebabnya. Kalau
ternyata orang tersebut sakit, Rasulullah bersama para sahabatnya lalu
menjenguk orang yang sakit tersebut.
Shalat berjamaah juga mengandaung pelajaran sikap yang
demokratis, dalam arti seorang pemimpin(imam) harus siap dikoreksi kalau salah.
Pemimpin juga harus memperhatikan kondisi jamaah (makmum) atau masyarakat yang
dipimpinnya. Semangat berjamaah atau memperhatikan masyarakatnya inilah yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga masarkat yang dipimpinnya merasa
diperhatikan dan dilayaninya.
Kita bisa membayangkan betapa hebatnya bangsa dan negara ini
bila pemimpin yang kita pilih memiliki empat kreteria tersebut, yakni (1)
beriman kepada Allah dengan memiliki integritas yang tinggi, kredibel dan
kapabel sebagai seorang pemimpin; (2) suka menegakkan shalat, sehingga dalam
menjalankan tugasnya senantiasa dibimbing oleh Allah Swt; (3) sadar zakat,
sehingga tidak ingin korupsi dan manipulasi; dan (4) suka berjamaah, perhatian
kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Allah Swt berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
Dan
barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang
(QS. Al-Baqarah, 56).
Assalamu'alaikum Pak Kiai... Izin share ya.
BalasHapusTerima kasih banyak