PENYAKIT HASUD DAN
TERAPINYA
Oleh
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh,
M.Fil I
Allah Swt berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Dan janganlah kamu
iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain...” (QS. Al-Nisa, 32)
Ada
kisah menarik terjadi pada masa Rasulullah Saw. Anas bin Malik ra meriwayatkan:
“Suatu hari kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Saw, maka Rasulullaah Saw menyatakan: “sekarang
telah datang di tengah-tengah kita seorang laki-laki calon penghuni surga”. Saat itu yang yang datang adalah seorang
laki-laki dari kalangan Anshar bernama “Sa’ad bin Malik”, seorang yang hidupannya
sangat sederhana. Peristiwa ini berulang-ulang hingga tiga kali (tiga hari). Salah seorang pemuda (sahabat Nabi)
bernama Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash sangat penasaran, dan mempertanyakan apa sebenarnya kelebihan orang itu hingga Rasulullah Saw menyatakannya sebagai
calon penghuni surga.
Pemuda tersebut kemudian membuntuti orang
Anshar itu dan meminta izin untuk dapat menginap di rumahnya, dengan alasan ada
masalah dengan orang tuanya.
Saat menginap di rumahnya, sang pemuda terus mengamati amalan-amalan yang dilakukan oleh orang itu. Ternyata, selama tiga hari tiga
malam, tidak ditemukan amalan istimewa yang
dilakukannya, alias biasa-biasa saja amalannya. Karena itu, sang pemuda merasa kecewa, kemudian pamit pulang. Sebelum pulang,
sang pemuda menyampaikan terus terang maksudnya kenapa ingin menginap hingga
tiga malam di rumah orang
Anshar itu. Kepada orang itu, pemuda
mengatakan: “Wahai Tuan, sebenarnya saya tidak ada masalah dengan
orang tua saya. Adapun keinginan saya untuk menginap di rumah tuan hingga tiga
malam ini karena saya sangat penasaran mengenai pernyataan Nabi Saw bahwasanya
tuan adalah calon penghuni surga. Amalan istimewa apa yang tuan lakukan
sehingga Rasulullah Saw menyatakan tuan sebagai calon penghuni surga”. Orang Anshar itu mengatakan: “wahai anak
muda, apa yang kau amati tentang diri saya selama tiga hari tiga malam itu
benar. Saya tidak mempunyai amalan istimewa apa pun”. Ketika pemuda itu hendak
melangkahkan kaki untuk pulang, orang Anshar itu memanggilnya dan mengatakan:
“Wahai anak muda, saya ini orangnya seperti yang kau lihat, biasa-biasa saja”. Orang Anshar itu kemudian mengatakan:
غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ
مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ
إِيَّاهُ
“Hanya saja saya ini benar-benar berusaha menjaga diri agar tidak sampai menipu orang, dan menjaga hati jangan sampai dengki, rasa iri hati(hasud) kepada orang yang mendapatkan
nikmat dari Allah”.
Mendengar
keterangan orang Anshar itu, sang pemuda justru sangat kagum dan mengatakan: “Wahai tuan, amalan atau sikap tuan yang seperti
itulah (tidak menipu dan tidak hasud) yang menyebabkan Rasulullah menyatakan
kalau anda pantas menjadi calon penghuni surga. Dan sikap yang seperti itulah yang pada umumnya kami lemah, tidak sanggup
melakukannya. (HR.Ahmad No.12697,
hadis shahih).
Kisah
tersebut nenjelaskan bahwa menjaga diri dari penipuan dan menjaga hati agar
tidak hasud atau dengki adalah sikap terpuji yang menyebabkan pelakunya menjadi
calon penghuni surga (ahl al-jannah).
Makna Hasud
Hasud berasal dari bahasa arab hasada-yahsudu-hasadan (حَسَدَ يَحْسُدُ حًسَداً), artinya iri hati atau dengki. Hasad menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) dapat diartikan dengki . Sedangkan
dengki ialah menaruh perasaan benci yang amat sangat ketika melihat
kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain dan berusaha menghilangkan
kenikmatan itu sendiri .
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, X/111) telah melakukan pengkajian
mendalam mengenai makna hasad dan beliau menyimpulkan:
وَالتَّحْقِيقُ
أَنَّ الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ
الْمَحْسُودِ
Definisi
hasad yang benar adalah merasa benci atau tidak suka karena melihat kebaikan
atau keberuntungan (nikmat) yang ada pada orang lain.
Hasad
dalam pengertian seperti ini (tidak senang melihat orang lain mendapatkan
kenikmatan/kesenangan), menurut Ibn
Taymiyah termasuk penyakit hati(Amradh al-Qalb Wa Syifa-uha, I/17). Hasad seperti ini harus dihilangkan, karena termasuk sifat yang
tercela. Adapun hasad dalam pengertian senang melihat orang lain mendapatkan
nikmat, dan ia juga ingin mendapatkannya seperti itu, maka yang demikian ini
dibolehkan. Hasad yang seperti ini disebut ghibthah.
Ibn
Hajar al-Asqalani (Fath al-Bari, I/161) mengatakan bahwa hasad itu
adalah berangan-angan agar nikmat yang dimiliki orang lain itu hilang,
sedangkan ghibthah adalah berangan-angan agar dirinya memiliki nikmat
seperti nikmat yang dimiliki orang lain.
Dengan
demikian, ada dua macam hasad. Pertama, hasad yang tercela yaitu tidak suka
melihat orang lain mendapatkan nikmat, seperti hasadnya Qabil kepada habil.
Kedua, hasad dalam pengertian berangan-angan ingin memiliki nikmat seperti
orang lain karena kebaikannya, seperti ingin seperti orang kaya yang dermawan,
atau ingin seperti orang berilmu yang dapat mengamalkan ilmunya dan
mengajarkannya kepada orang lain sehingga banyak membawa manfaat bagi orang
lain. Hasad dalam pengertian yang kedua ini disebut ghibthah.
Tanda-Tanda Hasud:
1. Hatinya
panas dan marah saat melihat orang lain mendapat keberuntungan;
2. Merasa sesak dadanya apabila orang lain atau saingannya
dipuji orang;
3. Berusaha mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain
yang menjadi saingannya;
4. Merasa puas kalau saingannya dicela orang;
5. Merasa puas kalau saingannya tiada, meninggal dunia.
Bahaya Hasud
1. Hati risau dan tidak tenang;
2. Menghancurkan
persatuan, kesatuan dan persaudaraan, karena biasanya orang yang hasud akan
mengadu domba dan suka memfitnah;
3. Mengancam
akidah dan keimanan. Orang yang hasud biasanya
suka menbenci kepada orang lain. Padahal
Rasulullah
mengingatkan: “Seseorang di antara kalian tidak dipandang beriman hingga seseorang
itu sanggup mencintai saudaranya seperti cintanya pada diri sendiri” (HR. Bukhari dan
Muslim);
4. Menghapus
amal kebaikannya. Nabi Saw bersabda: “ Jauhilah olehmu sifat hasud, karena
sesungguhnya hasud itu dapat menghilangkan segala kebaikan sebagaimana api yang
membakar kayu yang kering.”(HR. Abu Dawud).
Terapi Hasud
1.
Menanamkan sikap ridha dan qana’ah dengan rizki yang datang dari Allah.
Nabi Saw bersabda:
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ
تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ
“Ridhalah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu,
niscaya kamu akan menjadi orang yang paling kaya (HR. al-Tirmidzi, hadis hasan);
2.
Husnudzdzan, berpikir positif. Membangun prasangka positif bahwa orang yang
sukses itu adalah saudara atau teman sendiri, sehingga perlu didukung, tidak
perlu dicurigai. Nabi Saw mengingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ
الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah olehmu
prasangka(buruk), karena prasangka buruk itu adalah perkataan yang paling dusta”.(HR.al-Bukhari
dan Muslim);
3.
Meyakini sepenuh hati bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Maha Adil, dan Maha
Bijaksana, sehingga pembagian rizkiNya itu sudah sesuai dengan pengetahuan dan
kebijaksanaanNya. Allah Swt berfirman:
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
“Dan Allah itu
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Nisa, 26);
4.
Tidak bergantung kepada orang lain (makhluk), tetapi hanya mengandalkan dan
bergantung kepada Allah dengan suka berdoa, mohon kepada Allah agar mendapatkan
anugerah dari-Nya. Allah mengingatkan:
وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.” (QS. an Nisa’: 32)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar