MENDOAKAN SIAL
Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Permasalahan
Ada seseorang yang merasa hidupnya terzalimi.
Karirnya dihambat. Hari-hari kegiatannya sering diintimidasi. Gerak langkahnya
dibatasi. Lalu ia marah. Dalam keadaan demikian ia kemudian berdoa agar “orang
itu” mendapatkan azab dari Allah, agar orang itu karirnya jatuh dan agar orang
itu mendapatkan kesialan. Pertanyaannya, bolehkah berdoa seperti itu? Mohon
pengasuh rubrik Konsultasi Agama berkenan membahasnya dengan dali-dalil dari
al-Qur’an dan al-Hadis. Atas perkenannya, saya sampaikan banyak terima kasih
dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Wulan, Blitar).
Pembahasan
Termasuk
akhlak yang mulia adalah menyayangi sesama manusia. Tidak boleh menzalimi saudaranya
atau menyakitinya. Tidak boleh mendoakan untuk keburukan atau kesialan orang
lain, seperti agar orang itu jatuh sakit atau hilang jabatannya, dan lain
sebagainya. Namun, bila seseorang dalam posisi terzalimi dan tak berdaya lagi,
maka ia boleh mendoakan untuk keburukannya sekedar untuk membalas yang sepadan.
Allah swt. berfirman:
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ
بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidak menyukai perkataan
buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Nisa, 148).
Ibn
Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir menjelaskan bahwa menurut Ibn Abbas ra,
ayat yang berbunyi: “Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan)
secara terus terang, maksudnya adalah bahwa Allah tidak menyukai doa buruk (kesialan)
seseorang atas orang lain kecuali bagi orang yang terzalimi. Bagi yang terzalimi
maka ia diberi dispensasi untuk mendoakan (buruk) kepada orang yang menzaliminya.
Sungguhpun demikian, bagi orang yang sanggup bersabar (tidak mendoakan buruk
kepada orang yang menzaliminya) maka hal itu lebih baik baginya (Ibn Katsir, Tafsir
Ibn Katsir, II/442).
Hasan al-Basri mengatakan:
“Janganlah seseorang mendoakan keburukan kepada orang lain, tetapi katakanlah
dengan doa: “Allahumma a’inni ‘alaihi wastakhrij haqqi minhu”, (ya Allah
tolonglah aku atas perbuatan buruknya kepadaku, dan keluarkan hak ku darinya).
Dalam riwayat lain diterangkan bahwa seseorang dibolehkan mendoakan buruk
kepada orang yang menzaliminya asal tidak berlebih-lebihan (Ibn Katsir, Tafsir
Ibn Katsir, II/443).
Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw.
bersabda:
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ
الْمَظْلُومُ
“Dua
orang yang saling mencaci (mencela) maka yang menanggung dosanya adalah yang
memulai, selama orang yang terzalimi tidak melampaui batas” (HR. Muslim No. 6756).
Menurut
Imam al-Ghazali, mendoakan dan mengharapkan kebinasaan atau kesialan atas diri
orang lain adalah perbuatan yang tercela dalam syariat Islam. Dalam kitab Ihya
Ulum al-Din, beliau menerangkan:
وَيَقْرُبُ مِنَ اللَّعْنِ الدُّعَاءُ عَلَى الْإِنْسَانِ بِالشَّرِّ، حَتَّى
الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ فَإِنَّهُ مَذْمُومٌ، كَقَوْلِهِ لِإِنْسَانٍ: لَا
أَصَحَّ اللَّهُ جِسْمَهُ وَلَا سَلَّمَهُ اللَّهُ وَمَا جَرَى مَجْرَاهُ كُلُّ
ذَلِكَ مَذْمُومٌ وَفِي الْخَبَرِ: «إِنَّ الْمَظْلُومَ
لَيَدْعُو عَلَى الظَّالِمِ حَتَّى يُكَافِئَهُ»
“Termasuk dekat dengan laknat
adalah mendoakan keburukan kepada orang lain, sehingga berdoa untuk orang yang
menganiaya adalah tercela, seperti ucapan doa seseorang: “Semoga Allah tidak
menyehatkan badannya, semoga Allah tidak memberikan keselamatan untuknya, atau
doa keburukan sejenisnya, karena semua itu adalah perbuatan
tercela. Dalam hadis disebutkan, ‘Sungguh, orang yang teraniaya mendoakan
keburukan untuk orang yang menganiaya sampai lunas terbayar” (Imam
al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, III/126).
Lebih lanjut Imam Al-Ghazali mengingatkan hal serupa dalam kitabnya Bidayat
al-Hidayah. Jangan sampai kita mendoakan kebinasaan atas diri orang lain
yang telah berbuat zalim karena kita sedang kecewa dan marah. Dikhawatirkan bobot doa
kita melewati batas kezalimannya. Lebih lanjut Syekh Muhammad al-Nawawi Banten
dalam kitabnya Maraqi al-Ubudiyah ‘Ala Bidayat al-Hidayah memberi penjelasan
terhadap kitab Bidayatul Hidayah sebagai berikut:
“Ketujuh mendoakan kebinasaan untuk orang lain. Peliharalah
mulutmu agar tidak mendoakan seorang pun dari makhluk Allah sekalipun kamu dizalimi
oleh orang tersebut. (Pasrahkan) serahkan (urusannya) masalah orang yang menzalimimu
(kepada Allah). Cukup Allah yang menyelesaikannya. Dalam hadis disebutkan:
‘Sungguh, orang yang dizalimi mendoakan) kebinasaan (untuk orang yang menzaliminya
sampai lunas terbayar) pembalasan dengan kezaliman yang setimpal (tetapi yang
tersisa kemudian adalah kelebihan) ketambahan (hak orang yang berbuat zalim
terhadapnya) terhadap orang yang dizalimi (yang akan dituntut olehnya).
Maksudnya orang yang zalim kelak akan menuntut kelebihan haknya terhadap orang
yang dizaliminya (pada hari kiamat’)” (Syekh M. Nawawi Banten, Maraqi
al-Ubudiyyah ‘Ala Bidayat al-Hidayah, 69).
Berdasarkan keterangan tersebut dapat kita fahami bahwa mendoakan
kebinasaan atau kesialan atas diri orang lain adalah perbuatan tercela dalam
syariat Islam. Selain itu, balasan doa tersebut bisa berisiko pada tindakan
yang melampaui batas sehingga kita jadi kalap dan berbuat zalim dengan doa
habis-habisan untuk keburukan atau kesialan atas diri orang lain. Penganiayaan atau
kezaliman oleh siapapun dan melalui apapun (termasuk doa) adalah tindakan
terlarang dalam Islam meski dilakukan oleh orang yang semula terzalimi atau
teraniaya. Mendoakan kebinasaan atas diri orang lain pada mulanya diizinkan,
tetapi berdoa yang melampaui batas adalah bentuk kezaliman baru terlebih
penganiayaan dan kezaliman yang dimaksud masih bersifat asumsi dan dugaan
semata. Allah menyatakan bahwa doa orang yang teraniaya itu mustajab. Karena
itu harus hati-hati dalam menggunakan doa ini. Apalagi doa Ibu kepada anaknya,
jangan sampai ada doa yang mengandung kemurkaan yang dapat menjatuhkan si anak
atau menyengsarakannya.
Dikisahkan dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim: “Tidak ada bayi
yang dapat berbicara dalam buaian kecuali Isa bin Maryam dan bayi di masa
Juraij”. Lalu ada sahabat yang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah Juraij itu?”
Beliau bersabda: “Juraij adalah seorang rahib (ahli ibadah) yang tinggal di
rumah peribadatannya (yang terletak di dataran tinggi atau suatu pegunungan).
Di sana ada seorang penggembala yang menggembalakan sapinya di lereng gunung dekat
tempat peribadatannya dan seorang wanita desa yang menemui penggembala itu
(untuk berbuat mesum dengannya).
Suatu hari datanglah ibu Juraij dan memanggil anaknya (Juraij) ketika ia
sedang melaksanakan salat. “Wahai Juraij”. Juraij lalu bertanya dalam hatinya:
“Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan salatku?” Rupanya
dia mengutamakan salatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua
kalinya. Juraij kembali bertanya di dalam hatinya: “Ibuku atau salatku?”
Rupanya dia masih mengutamakan salatnya. Ibunya memanggil untuk kali yang ketiga.
Juraij bertanya lagi dalam hati: “lbuku atau salatku?” Rupanya dia masih tetap mengutamakan
salatnya. Ketika sudah tidak menjawab pada panggilan (ketiganya), ibunya (dalam
keadaan marah) berdoa: “Semoga Allah tidak mewafatkanmu, wahai Juraij hingga
wajahmu dipermalukan di depan para pelacur”. Lalu ibunya pun meninggalkannya.
Suatu hari, wanita yang menemui (berbuat mesum dengan) penggembala tadi
dibawa untuk menghadap raja dalam keadaan telah melahirkan seorang anak. Raja
itu bertanya kepada wanita itu. “Hasil dari (berzina dengan) siapa (anak
ini)?”. “Dari Juraij”, jawab wanita tersebut. Raja lalu bertanya lagi: “Apakah
dia (Juraij) yang tinggal di tempat peribadatan itu?” “Benar”, jawab wanita
itu. Raja lalu berkata: “Kalau begitu, hancurkan rumah peribadatannya dan bawa
dia (Juraij) kemari”. Orang-orang lalu menghancurkan tempat peribadatannya
dengan kapak sampai rata dan mengikatkan tangannya di lehernya dengan tali lalu
menggelandangnya ke hadapan raja. Di tengah perjalanannya, Juraij
dilewatkan di hadapan para pelacur. Ketika melihatnya, Juraij tersenyum dan
para pelacur tersebut melihat Juraij berada di antara manusia.
Raja bertanya kepadanya (Juraij): “Siapa ini menurutmu?” Juraij
balik bertanya: “Siapa yang engkau maksud, wahai Raja?” Raja berkata: “Dia
(wanita tadi) berkata bahwa anaknya adalah hasil hubungan (zina) denganmu”.
Juraij bertanya kepada wanita itu: “Apakah engkau telah berkata begitu?”
“Benar”, jawab wanita itu. Juraij kemudian bertanya lagi: “Di mana bayi itu?”
Orang-orang yang ada di sekitarnya menjawab: “(Itu) di pangkuan (ibu)nya”.
Juraij lalu mendekatinya dan bertanya kepada bayi itu. “Wahai bayi, siapa
ayahmu?” Bayi itu menjawab: “Ayahku adalah si penggembala sapi”.
Saat itu juga sang Raja (merasa bersalah lalu) berkata: “Apakah perlu
kami bangunkan kembali rumah ibadahmu dengan bahan-bahan dari emas?” Juraij
menjawab, “Tidak perlu”. “Ataukah kami bangunkan dari perak?” lanjut sang Raja.
“Jangan, tidak perlu”, jawab Juraij. “Lalu dari apa kami akan membangun rumah
ibadahmu?”, tanya sang Raja. Juraij menjawab: “Bangunkan saja seperti semula.” Raja
kemudian (melihat Juraij tersenyum) lalu bertanya: “Mengapa engkau tersenyum?”
Juraij menjawab: “(Saya tersenyum) karena menyaksikan (mengetahui) “suatu
perkara”, yaitu terkabulnya do’a ibuku terhadap diriku”. Kemudian Juraij pun
memberitahukan hal itu kepada mereka (Raja dan Masyarakat sekitarnya)” (HR.
al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad No. 33, I/26). Al-Albani: hadis sahih (al-Albani, Sahih al-Adab al-Mufrad, I/15). Kisah ini juga
disebutkan dalam Sahih al-Bukhari No. 1206 dan Sahih Muslim No. 6673 dengan sedikit
berbeda redaksinya.
Ada dua pelajaran penting dari kisah tersebut. Pertama, waspadalah terhadap
doa Ibu, karena doa Ibu itu sangat mustajab, mudah dikabulkan. Kedua, berhati-hatilah
dalam berdoa terlebih doa yang bisa menyebabkan kehidupan seseorang mengalami
kesialan dan kesengsaraan. Sikap menahan diri dan bersabar untuk tidak
mendoakan sial bagi orang lain (meski pernah dizalimi) adalah sikap yang sangat
terpuji.
(Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Juni 2024)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar