BOLEHKAN WANITA MINTA MAHAR?
Oleh
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Pertanyaan:
Assalamu’alikum
Ustadz!
Semoga Allah senantiasa
melimpahkan berkah dan rahmat kepada Ustadz dan keluarga. Amien! Izin bertanya Ustadz! In Syaa Allah dalam
beberapa bulan kedepan saya akan menikah dengan seorang laki-laki yang shalih.
Terkait masalah mahar ustadz, katanya "sebaik-baik perempuan adalah yang
paling sedikit maharnya", dan "sebaik-baik laki-laki adalah yang
memuliakan perempuan (isterinya)". Yang saya tanyakan, bagaimana baiknya
saya meminta mahar kepada calon suami saya. Bolehkah saya meminta maharnya seperti
begini atau begitu?
Demikian Ustadz, atas perkenannya saya sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Tina, Sidoarjo).
Jawaban:
Wa’alaikumussalam!
Kata mahar berasal dari bahasa arab “al-mahr”.
Dalam kamus Bahasa Arab disebutkan
bahwa almahr adalah sinonim dari kata al-shadaq. Bentuk jamak dari al-mahr
adalah al-muhur (Ibn Mandzur, Lisan
al-Arab, V/184 dan al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, I/615). Al-mahr
saat ini sudah menjadi kata baku dalam Bahasa Indonesia “mahar”, yang artinya
maskawin, yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki
kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah (KBBI).
Dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai
pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum
Perkawinan, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Butir d).
Ada beberapa
kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon suami ketika akan melangsungkan akad
nikah, di antaranya adalah memberikan mahar. Ulama bersepakat bahwa hukum
memberikan mahar adalah wajib karena banyaknya ayat al-Qur’an dan hadis Nabi
saw yang memerintahkannya. Di antara ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan mahar
antara lain QS. Al-Nisa ayat 4, 24, dan 25.
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ
نِحْلَةً... فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِه مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
ۗ ...وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan (QS. Al-Nisa, 4); …Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban (QS. Al-Nisa, 24; …Dan berilah maskawin
mereka menurut yang patut (QS. Al-Nisa, 25).
Sedangkan dari
Nabi saw. terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang pentingnya mahar
dalam perkawinan. Di antaranya adalah dari Uqbah bin Amir ra., Rasulullah saw. telah
bersabda:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah”
(HR. al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi No. 14721 dan
al-Hakim, al-Mustadrak No. 2742). Al-Albani menilai hadis ini sahih
(al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Shaghir, I/621).
Ketika Rasulullah saw.
hendak menikahkan seorang sahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya,
beliau bersabda:
اِلْتَمِسْ(انْظُرْ) وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Carilah (mahar) sekalipun (berupa) cincin yang
terbuat dari besi“. ….Ketika sahabat itu tidak menemukannya, maka Rasulullah
menikahkannya dengan mahar “mengajarkan beberapa surat Al-Qur’an kepada calon
istrinya” (HR. al-Bukhari No. 5135; Muslim No. 3553).
Memberikan mahar saat aqad nikah, dari calon suami kepada calon
isterinya memang diperintahkan bahkan diwajibkan. Namun, mengenai nilai mahar
atau besar kecilnya mahar tidak ditentukan atau tidak ditetapkan oleh syariat.
Mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan tidak
membebani dan tidak mempersulit keduanya, atau saling ridha. Al-Nawawi menjelaskan:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث أَنَّهُ يَجُوز أَنْ يَكُون الصَّدَاق قَلِيلًا وَكَثِيرًا
مِمَّا يُتَمَوَّل إِذَا تَرَاضَى بِهِ الزَّوْجَانِ، لِأَنَّ خَاتَم الْحَدِيد فِي
نِهَايَة مِنْ الْقِلَّة. وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ، وَهُوَ مَذْهَب جَمَاهِير
الْعُلَمَاء مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف
“Hadis ini menunjukkan bahwa
mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai
tinggi) apabila kedua pasangan saling ridha, karena cincin dari besi
menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan
juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf” (Imam al-Nawawi, Syarh Sahih
Muslim, V/134).
Rasulullah saw. bersabda:
ﺧَﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜَـﺎﺡِ ﺃَﻳْﺴَـﺮُﻩُ
"Sebaik-baik pernikahan ialah
yang paling mudah" (HR. Abu Dawud No.
2117). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah
al-Sahihah al-Kamilah, IV/341). Dalam riwayat Ahmad, Nabi saw. bersabda:
إِنَّ
مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا
وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا
“Termasuk berkahnya seorang wanita
adalah yang mudah khitbahnya (lamarannya), yang mudah maharnya, dan yang mudah
keturunannya” (HR. Ahmad, No. 24478). Al-Albani menilai hadis ini
hasan (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Shaghir, I/444).
Jadi,
dalam menentukan besar dan kecilnya mahar, yang penting calon suami tidak
merasa terbebani. Sebaliknya, calon suami merasa mendapatkan keringanan dan
kemudahan dalam menyiapkan maharnya. Bagi calon suami yang berkecukupan,
mungkin mahar yang akan disiapkan bernilai besar, sebaliknya jika calon
suaminya pas-pasan, maka mahar yang dipersiapkannya mungkin bernilai kecil. Di
sinilah calon isteri yang harus memahaminya. Bila keduanya bersepakat dan ridha
dengan mahar yang telah dipersiapkan, maka keberkahanlah yang akan diperoleh calon
sepasang suami-isteri yang akan menikah. Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah menjelaskan:
أَنّ الْمُغَالَاةَ
فِي الْمَهْرِ مَكْرُوهَةٌ فِي النّكَاحِ وَأَنّهَا مِنْ قِلّةِ بَرَكَتِهِ وَعُسْرِهِ
“Berlebihan-lebihan dalam mahar hukumnya
makruh (dibenci) pada pernikahan. Hal ini (berlebih-lebihan dalam mahar) menunjukkan
(berakibat) sedikitnya barakah dan sulitnya pernikahan tersebut” (Ibn
al-Qayyim, Zaad al-Ma’ad, V/162).
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah
rahimahullah berkata: “Disunnahkan meringankan mahar dan tidak melebihi mahar
yang diperolah para isteri Nabi saw. dan anak-anaknya. ‘Aisyah ra. meriwayatkan
dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Wanita yang paling besar keberkahannya
ialah yang paling ringan maharnya”. Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw. bersabda:
“Sebaik-baik mereka (wanita) ialah yang paling mudah maharnya”. Dari al-Hasan
al-Bashri, ia menuturkan: “Rasulullah saw. bersabda: “Nikahkanlah kaum wanita
dengan kaum pria, tapi jangan bermahal-mahal dalam mahar”. ‘Umar bin
al-Khaththab berkhutbah kepada manusia dengan pernyataannya: “Ingatlah,
janganlah kalian bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, sekiranya
(bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu kemuliaan di dunia atau
merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi saw. orang yang paling utama
di antara kalian (dalam hal ini), (namun) beliau tidak pernah memberi mahar
kepada seseorang dari isteri-isterinya dan tidak pula meminta mahar untuk
seseorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah (ons) perak”. Al-Tirmidzi
menilainya sebagai hadis sahih” (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII /192).
Apa yang dilakukan
sebagian orang yang tidak ramah, sombong dan riya’ berupa memperbanyak mahar
untuk tujuan riya dan bermegah-megahan, sebenarnya mereka tidak berniat
mengambilnya dari suami, dan dia tidak pula berniat memberikannya kepada
mereka. Ini adalah kemunkaran yang buruk, menyelisihi Sunnah, dan keluar dari
syari’at (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/193).
Adapun yang dinukil dari
sebagian Salaf bahwa mereka memperbanyak pemberian mahar kepada wanita-wanita
(yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka berlimpah. Mereka
mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum menggauli, mereka tidak menundanya
sedikit pun. Dan siapa yang mempunyai kemudahan dan mempunyai harta lalu dia
senang memberi isterinya mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa (Ibn
Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/195).
Berdasarkan uraian tentang mahar tersebut di atas dapat
difahami bahwa mahar atau maskawin adalah pemberian
wajib berupa uang, barang atau jasa dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Tentang berapa besaran nilai maharnya
tidak ada ketentuan yang membatasi. Karena itu mahar boleh disiapkan dengan jumlah
nilai yang tinggi (mahal) bagi yang mampu dan juga boleh disiapkan dengan jumlah
nilai yang rendah (murah) bagi yang pas pasan.
Dengan demikian, wanita yang akan menjadi calon
isteri boleh saja meminta kepada calon suami tentang jenis mahar seperti apa
yang diinginkan, asal calon suami berkenan atau tidak keberatan, kemudian mampu
dan ridha. Dengan adanya keridhaan antara calon suami dan calon isteri tentang
maharnya, insya Allah akad nikahnya akan memperoleh banyak limpahan berkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar