HIKMAH BERKURBAN
Oleh:
Dr.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Dari
Abu Hurairah ra, Nabi Saw bersabda:
مَنْ وَجَدَ
سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ، فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Barangsiapa mempunyai kemampuan (harta), kemudian ia
tidak mau berkurban, maka orang itu sungguh-sungguh tidak boleh mendekati
tempat shalat (Idul Adha) kami (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Bayhaqi, dll).
Al-Dzahabi
dalam al-Talkhish men-shahih-kan hadis ini, sedangkan al-Albani
dalam al-Targhib Wa al-Tarhib meng-hasan-kannya.
Hadis tersebut agaknya bernada
mengancam kepada orang yang tidak mau berkurban, bagi yang mampu. Ancamannya
tidak sembarangan, ancaman itu berupa larangan mendekati tempat shalat Idul
Adha yang diselenggarakan oleh Nabi Saw. Betapa tidak terhormatnya orang yang
tidak mau berkurban, sementara ia sebenarnya mampu. Hal ini menunjukkan betapa
kuatnya perintah berkurban dan betapa pentingnya berkurban untuk pembelajaran
dirinya dalam membangun komunikasi, baik kepada Allah (secara vertical) maupun
kepada sesama (secara horizontal). Untuk itu perlu dibahas, di sini, tentang makna dan hikmah berkurban.
Makna Kurban
Kata kurban, diambil dari kata qaruba(fi’il
madhi) – yaqrabu(fi’il mudhari’) – qurban wa qurbanan(mashdar),
yang berarti mendekati atau menghampiri. Menurut Ibn Mandzur, kurban yaitu
sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah(Lisan al-‘Arab,
Vol. I/662).
Menurut istilah, kurban adalah
segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik berupa
hewan sembelihan maupun yang lainnya(al-Mu’jam al-Wasith, Vol. II/723).
Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udhhiyah atau
dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhahi. Kata ini diambil
dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan
untuk melakukan penyembelihan kurban. Dari sini maka hari penyembelihan hewan
kurban kemudian dinamakan dengan Yaum ‘al-Adha(Subul al-Salam,
Vol. VI/304). Ibnu Mandzur menulis dalam Lisan al-‘Arab bahwa udhhiyah adalah kambing
yang disembelih pada waktu dhahwah, yaitu kala matahari agak meninggi
dan sesudahnya”( Lisan
al-‘Arab, Vol. XIV/
474).
Hikmah Kurban
Pertama, bukti kepatuhan kepada Allah dan
cinta yang sempurna;
Kurban
adalah pendekatan diri secara sempurna kepada Allah. Kurban akar kata dari qaruba-yaqrabu-qurbanan;
biasanya dalam bahasa Arab kalau satu kata diakhiri dengan alif dan nun
berarti sempurna. Dalam bahasa Arab disebut shighat mubalaghah. Misalnya
Qara-a yaqra-u qira-atan qur'anan, artinya bacaan yang sempurna; irfaanan,
artinya pengetahuan yang sempuna; maka kata qurbaanan, berarti
pendekatan yang sempurna. Untuk menggambarkan kesempurnaan itu terlihat pertama
kali pada binatang yang disembelih, tidak boleh ada yang cacat. Artinya hewan
yang disembelih harus sebaik-baiknya. Dari segi substansinya seorang yang
berkurban tidak boleh setengah-setengah, harus total-sempurna. Dalam hal ini
bisa dikaitkan dengan sikap Nabi Ibrahim saat diperintahkan untuk menyembelih
Ismail, putera yang sangat disayanginya. Saat itu ia pun secara total dan tanpa
ragu, siap melaksanakannya. Di sini Nabi Ibrahim sanggup memprioritaskan
perintahNya dan cintanya kepada Allah daripada cintanya kepada yang lain,
termasuk kepada anak yang sangat dicintainya. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran
bahwa dalam mencintai Allah itu tidak boleh setengah-setengah, dan harus
dibuktikan dengan kepatuhan secara total dalam menghadapi segala perintah
maupun larangan-Nya. Di sini, kita juga diuji, dapatkah kita memprioritaskan kepentingan Allah di atas
kepentingan yang lain? Allah menyatakan:
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu tidak akan memperoleh kebajikan,
sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu
infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha mengetahui. (QS. Ali Imran, 92).
Kedua, Menumbuhkan semangat berbagi, peduli
kepada sesama, terutama terhadap kaum dhu’afa;
Setelah hewan kurban disembelih,
maka daging-dagingnya kemudian dibagikan kepada kerabat, tetangga, terutama
kepada kaum dhu’afa. Kepedulian kepada
sesama, terutama kepada kaum dhu’afa yang sangat membutuhkan, bisa bernilai
lebih tinggi daripada ibadah haji (sunnah).
Ibn
Katsir mengisahkan, suatu saat, Ibnul Mubarak (w.181 H) pergi haji bersama
rombongan.
Sesampainya di satu daerah, seekor burung yang mereka bawa mati. Abdullah bin
Mubarak pun menyuruh untuk membuangnya di tempat sampah yang ada di situ.
Ketika para sahabatnya telah berjalan di depan, beliau melihat seorang anak
perempuan mengambil bangkai itu kemudian lari masuk rumah.
Ibnul Mubarak mendatanginya
dan menanyakan keadaannya. Ia penasaran dan menanyakan juga untuk apa ia
mengambil bangkai burung itu. Anak perempuan itu menjawab: “Saya dan
saudara saya di rumah ini tidak memiliki sesuatu pun selain sarung ini.
Kami makan apa yang dilemparkan orang ke tempat sampah itu. Sejak
beberapa hari yang lalu, bangkai telah menjadi halal bagi kami. Bapak kami
sebenarnya berharta, namun ia dizalimi, hartanya diambil dan kemudian ia dibunuh.”
Mendengar keterangan anak
perempuan itu, Ibnul Mubarak langsung memberikan barang-barang yang dibawanya.
Lantas ia berkata kepada wakilnya: “Berapa uang yang ada pada Anda?” Wakilnya
menjawab, “1000 dinar.” Lalu beliau berkata, “Ambillah 20 dinar untuk
mencukupi kita sampai di Marwa dan berikan sisanya kepada anak perempuan itu.
Perbuatan ini lebih utama dari haji kita pada tahun ini.” Setelah itu
beliau pulang ke daerahnya(al-Bidayah Wa al-Nihayah, Vol. X, 178).
Untuk
meringankan beban anak itu dan keluarganya, Ibnul Mubarak rela membatalkan
hajinya, dan uang buat ongkos perjalanan hajinya dia berikan kepada anak itu. Itu prioritas.
Kita
ini biasa beragama tidak melihat apa yang prioritas. Kita biasa beragama
melaksanakan seperti apa yang kita sukai bukan seperti apa yang disukai Allah.
Secara syariat mungkin sudah betul tapi ada yang jadi prioritas utama. Boleh
jadi substansinya belum masuk atau boleh jadi substansinya sudah masuk tapi ada
yang lebih penting. Nah, ini yang harus diambil pelajaran atau hikmah dari ibadah
kurban. Kita tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, tetapi
juga harus memperhatikan kepentingan orang lain. Nabi Saw bersabda:
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ - أَوْ قَالَ لِجَارِهِ - مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِه
“Tidaklah seorang di
antara kamu dikatakan mukmin hingga ia sanggup mencintai saudara atau
tetangganya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. al-Bukhari No. 13; dan
Muslim No. 179).
Ketiga, Tidak boleh melecehkan manusia;
Dari
peristiwa Nabi Ibrahim yang begitu total dalam mematuhi perintah untuk
menyembelih Ismail, dan akhirnya Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan
qibas untuk disembelihnya, hal ini mengandung pelajaran, yakni jangan pernah
menganggap sesuatu itu ‘mahal’ kalau untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai
Ilahi. Selain itu, di sisi lain jangan sekali-kali melecehkan manusia, jangan
sekali-kali mengambil hak-hak manusia, karena manusia itu makhluk agung yang
sangat dikasihi Allah. Karena kasihnya Allah kepada manusia, maka digantilah
Ismail, yang tadinya akan dikurbankan, lalu diganti dengan seekor binatang. Hal
ini menunjukkan betapa mulianya manusia. Ia tidak boleh dihina dan tidak boleh
dilecehkan.
Dalam
hadis riwayat Abu Dawud dikisahkan, suatu ketika Abu Jurayy, Jabir bin Sulaim berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berilah
wasiat kepadaku”. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi wasiat:
« لاَ تَسُبَّنَّ أَحَدًا ».
“Jangan sekali-kali engkau
menghina seseorang(siapa) pun.”
قَالَ
فَمَا سَبَبْتُ بَعْدَهُ حُرًّا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ بَعِيرًا وَلاَ شَاةً
Abu Jurayy Jabir bin Sulaim berkata: “Sejak itu, aku pun tidak
pernah menghina seorang pun, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak,
seekor unta, maupun seekor domba.” (HR. Abu Dawud No. 4086). Menurut al-Albani, hadis ini
shahih(Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib,
Vol. III/37).
Semoga bisa memberikan
pencerahan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar