CARA TURUN UNTUK SUJUD:
Dengan Kedua Tangan Dulu atau Kedua Lutut Dulu
Oleh:
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Matan
Hadis
Ada dua riwayat hadis yang berbeda tentang
tata-cara turun untuk bersujud:
Hadis
Pertama, meletakkan kedua lutut
sebelum kedua tangannya. Keterangan ini berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud
dari Wail bin Hujr:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ وَحُسَيْنُ
بْنُ عِيسَى قَالاَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنْ
عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ
يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ (رواه ابو داود)
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami
al-Hasan bin Ali dan Husain bin Isa, keduanya
berkata: “Yazid bin Harun menceritakan kepada kami, telah menyampaikan berita kepada kami Syarik
dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wail bin Hujr, ia berkata: “Aku
melihat Nabi Saw apabila melakukan sujud, ia meletakkan kedua lututnya sebelum
kedua tangannya, dan apabila ia bangkit, mengangkat kedua tangannya sebelum
kedua lututnya”. (HR. Abu Dawud No. 828)
Selain
diriwayatkan Abu Dawud no.828, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Tirmidzi no.
268, al-Nasa-I no. 206-207, Ibn Majah no. 882, al-Daruqutni no. 345, dan
al-Hakim no. 226.
Menurut
Ibn al-Qayyim, Rasulullah Saw biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya (ketika hendak bersujud), baru setelah itu meletakkan dahi dan
hidungnya. Ibn al-Qayyim menilai bahwa hadis yang menerangkan tentang cara
sujud seperti ini adalah sahih berdasarkan riwayat Syarik
dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wail bin Hujr [1].
Hadis
Kedua,
meletakkan kedua tangan sebelum kedua lututnya. Keterangan ini berdasarkan
hadis riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ
مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَسَنٍ عَنْ أَبِى الزِّنَادِ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا سَجَدَ
أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ
رُكْبَتَيْهِ (رواه ابو داود)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sa’id
bin Manshur, telah menceritakan kepada kami Abd al-‘Aziz bin Muhammad, telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Abd Allah bin Hasan dari Abu al-Zanad dari
al-A’raj dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Apabila salah
seorang di antara kamu hendak bersujud, maka janganlah berlutut seperti
berlututnya unta, dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua
lututnya” (HR.Abu Dawud no.840).
Selain diriwayatkan oleh Abu Dawud no 840,
hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad no.8942, al-Nasa-I no. 1091, al-Baihaqi
no. 2465, al-Darimi no. 1321, dan al-Tirmidzi no.269.
Menurut al-Hafid Ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini (yang menerangkan….hendaklah ia
meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya…) kualitasnya lebih kuat
dibandingkan dengan hadis riwayat Wail bin Hujr (…ia meletakkan kedua lututnya
sebelum kedua tangannya…)
Menimbang
kualitas kedua hadis
Hadis
yang pertama,
riwayat dari Wail bin Hujr, yang menerangkan bahwa Nabi Saw apabila
hendak sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dinilai oleh
Ibn al-Qayyim sebagai hadis yang sahih. Bahkan beliau mengatakan tidak
ada riwayat lain yang menerangkan cara sujud Rasulullah Saw selain itu[3].
Penilaian
Ibn al-Qayyim bahwa hadis riwayat Wail bin Hujr tersebut itu sahih,
dipandang oleh Muhammad Nasiruddin al-Albani sebagai penilaian yang tak
berdasar, karena bertentangan dengan hadis riwayat Ibn Umar yang sahih mengenai cara sujud Rasulullah Saw dan hadis
riwayat Abu Hurairah yang marfu’ mengenai perintah Rasulullah dalam bersujud, yang intinya menerangkan
bahwa cara sujud yang benar adalah mendahulukan kedua tangan daripada kedua
lutut.[4]
Bila
dilihat dari aspek sanadnya, dalam hadis riwayat Wail bin Hujr ini
terdapat seorang perawi yang bernama Syarik bin Abdullah al-Qadi; orang
ini dinilai lemah (da’if) dan jelek hafalannya. Oleh karena itu hadisnya
tidak bisa dijadikan hujjah bila riwayatnya sendirian. Adapun bila
bertentangan dengan hadis lain maka yang lebih kuat yang harus dipilih. Dalam
hal ini Ibn Hajar al-Asqalani menilai bahwa hadis yang dari Abu Hurairah
itu yang lebih kuat dibanding dengan hadis dari Wail bin Hujr[5].
Hadis
yang kedua, riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar, yang
menerangkan bahwa cara sujud yang disyariatkan adalah dengan mendahulukan kedua
tangan baru kemudian kedua lutut. Hadis ini dinilai sahih oleh Ibn
Khuzaimah, al-Daruqutni, dan al-Hakim serta disepakati oleh al-Dzahabi. Hadis
yang bertentangan dengan ini tidak betul. Hal ini dikatakan oleh Malik dan
Ahmad. Al-Marwazi di dalam al-Masa-ilnya telah meriwayatkan dengan sanad
yang sahih dari Imam al-Auza’i : “Aku mengetahui orang-orang (ketika
hendak bersujud) meletakkan kedua tangan mereka sebelum kedua lututnya[6]. Ibn Abi Dawud berkata bahwa perkataan ini
adalah pendapat ahli hadis.[7]
Pendapat
yang memandang bahwa cara sujud yang benar adalah dengan cara meletakkan kedua
tangan sebelum kedua lututnya, didukung dan diperkuat oleh dua alasan, yaitu
adanya hadis yang sesuai dengan perbuatan Rasulullah Saw, dan hadis yang
sesuai dengan perintah Rasulullah Saw.
Adapun
hadis yang sesuai dengan perbuatan Rasulullah Saw adalah berdasarkan
pada riwayat Ibn Umar ra sebagai berikut
كان
صلى الله عليه وسلم إذا سجد يضع يديه قبل ركبتيه "
(Rasulullah Saw itu apabila hendak bersujud,
meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya). Hadis ini diriwayatkan oleh
jamaah ahli hadis, di antaranya al-Hakim yang menilai sahih dengan
syarat Muslim, dan disepakati oleh al-Dzahabi.
Sedangkan hadis yang sesuai dengan perintah
Rasul Saw adalah hadis sebagai berikut:
إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع
يديه قبل ركبتيه
Artinya: “Apabila salah seorang di antara kamu
hendak bersujud, maka janganlah berlutut seperti berlututnya unta, dan
hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. Hadis ini
dinilai sahih oleh Abu Dawud dalam Sahihnya dan dinilai oleh
al-Nawawi dan al-Zarqani sebagai hadis yang jayyid, bagus[8].
Sebagian
ulama menilai hadis riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar ini memiliki tiga cacat
(kelemahan), yaitu:
1. Al-Darawardi meriwayatkan sendirian dari
Muhammad bin Abdillah;
2. Muhammad juga sendirian dalam meriwayatkan
dari Abu al-Zinad;
3.
Al-Bukhari berkata: “Aku tidak tahu apakah Muhammad bin Abdillah bin Hasan
pernah mendengar dari Abu al-Zinad
atau tidak ?
Menurut
Muhammad Nasiruddin al-Albani bahwa penilaian adanya tiga kelemahan dalam hadis
riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar tersebut “tidak ada masalah” dan tidak
mengganggu kesahihannya sama sekali. Al-Albani memberikan beberapa argumentasi
sebagai berikut:
1.
Mengenai masalah nomor satu dan nomor dua, bahwa sesungguhnya al-Darawardi dan gurunya Muhammad bin
Abdillah adalah orang-orang yang siqah, kredibel, dapat dipercaya.
Karena itu kesendiriannya dalam periwayatan hadis tidak masalah, tidak perlu
dikhawatirkan.
2.
Adapun yang ketiga, maka tidak ada yang memandangnya cacat selain al-Bukhari.
Sebagaimana yang sudah maklum bahwa al-Bukhari mensyaratkan adanya liqa,
pernah bertemu dalam periwayatan hadis. Persyaratan ini tidak dibebankan oleh
jumhur ahli hadis, tetapi cukup ’ashara, pernah hidup sezaman dan
memungkinkan bertemu serta aman dari “tadlis”, penipuan. Hal ini juga diakui oleh Imam Muslim
dalam penjelasan muqaddimah Sahihnya.
Untuk diketahui bahwa Muhammad bin
Abdillah tidak dikenal sebagai pelaku “tadlis”, dan ia pernah hidup
semasa dengan Abu al-Zinad
dalam waktu yang cukup lama. Muhammad meninggal tahun 145 H dalam usia 53
tahun, sedangkan gurunya yakni Abu al-Zinad
meninggal pada tahun 135 H. Hal ini berarti pada saat gurunya itu meninggal,
Muhammad berusia 43 tahun. Keterangan ini menunjukkan bahwa terjadinya liqa,
adanya pertemuan antara keduanya sangat mungkin. Atas dasar ini maka hadisnya sahih,
tidak meragukan sama sekali.
Adapun al-Darawardi, dia
tidak sendirian dalam periwayatan hadis, akan tetapi diikuti oleh sejumlah
periwayat yang lain. Seperti dalam riwayat Abu Dawud, al-Naasa-i dan al-Tirmidzi terdapat jalur melalui Abdullah
bin Nafi’ dari Muhammad bin Abdillah bin Hasan, yang meriwayatkan hadis:
يَعْمِدُ
أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَيَبْرُكَ كَمَا يَبْرُكُ الْجَمَلُ؟
Keterangan ini menjadi “mutaba’ah
qawiyyah”, penguat bagi periwayatan hadis dari al-Darawardi. Dan
sesungguhnya Abdullah bin Nafi’ juga siqah, kredibel, dapat dipercaya
sebagaimana al-Darawardi, yang menjadi rijal, perawi-perawi dalam hadis
Muslim. Karena itu tidak ada alasan
untuk melemahkan hadis riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar[9].
Selain dari aspek sanad/
perawi yang menjadi ajang kritikan terhadap hadis riwayat Abu Hurairah ini,
kritikan juga gencar ditujukan dari aspek matannya. Dari aspek ini sejumlah
ulama menilai hadis Abu Hurairah ini mudtarib, karena matannya
berlawanan dengan riwayat yang lain, dari Wail. Mereka juga menilai hadis ini maqlub,
yaitu terbalik lafalnya pada matan. Dalam hal ini mereka menganggap bahwa
yang benar adalah …”hendaklah meletakkan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya”, bukan ….”hendaklah meletakkan kedua tangannya sebelum kedua
lututnya”[10]. Keterangan ini diperkuat oleh Ibn al-Qayyim
al-Jauziyah bahwasanya unta itu kalau berlutut meletakkan kedua tangannya
sebelum kedua lututnya. Atas dasar ini Ibn al-Qayyim menduga bahwa hadis Abu
Hurairah itu terbalik.[11]
Pendapat Ibn al-Qayyim bahwa hadis
Abu Hurairah itu maqlub, dibantah oleh al-Albani yang mengatakan bahwa
hadis Abu Hurairah itu sahih. Tentang cara sujud manusia agar berbeda
dengan cara unta, al-Albani menegaskan bahwa sesuai dengan keterangan ulama
ahli bahasa, al-Fairus Abadi, bahwa sesungguhnya kedua lutut unta itu berada di
kedua tangan yang di depan itu.[12] Sesuai dengan pandangan ini, al-Tahawi dalam
kitabnya Syarh Ma’ani al-Atsar, mengatakan….”sebenarnya kedua lutut unta itu
berada pada kedua tangannya, demikian pula hewan pada umumnya. Sedangkan
manusia tidaklah seperti itu. Beliau berkata, manusia tidak berlutut di atas
kedua lututnya yang ada pada kedua kakinya, sebagaimana unta berlutut di atas
kedua lututnya yang ada pada kedua tangannya, akan tetapi (manusia) lebih
dahulu meletakkan kedua tangannya baru meletakkan kedua lututnya. Dengan
demikian berbedalah cara berlutut yang diperbuat manusia dengan cara yang
diperbuat oleh unta”.[13]
Keterangan bahwa manusia
berlutut/bersujud dengan mendahulukan kedua tangan daripada kedua lututnya,
sesuai dengan hadis riwayat Abu Hurairah dan Ibn Umar yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Nabi
biasa sujud dengan cara mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.
Lebih lanjut Imam Malik dan al-Auza’I berkata:
أَدْرَكْنَا النَّاسَ
يَضَعُونَ أَيْدِيَهُمْ قَبْلَ رُكَبِهِمْ : وَقَالَ ابْن أَبِي دَاوُد :
وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ
Imam Malik dan al-Auza’I
berkata:”…aku melihat orang-orang (ketika hendak sujud) meletakkan
tangan-tangan mereka sebelum lutut-lutut mereka..”. Ibn Abi Dawud berkata bahwa
pernyataan tersebut adalah merupakan pendapat ahli hadis.[14]
Kesimpulan:
1. Ada dua pendapat
tentang cara turun untuk sujud, yaitu:
Pertama, sujud dengan cara mendahulukan
kedua lutut baru kedua tangannya, berdasarkan hadis riwayat Wail bin Hujr;
Kedua, sujud dengan cara mendahulukan kedua
tangan baru kedua lututnya, berdasarkan hadis riwayat Abu Hurairah;
2. Masing-masing pendapat
meyakini bahwa hadis yang dipedomaninya shahih, sedangkan hadis yang bertentangan dengannya diyakini tidak
shahih.
3. Karena masing-masing
pendapat meyakini bahwa hadis yang dipedomaninya berkualitas shahih,maka masing-masing pendapat harus dihormati,
tidak boleh menyalahkan pihak lain yang tidak sama dengannya.
Wallahu A’lam bi al-Shawab !
[1] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad Fi
Huda Khayr al-‘Ibad, Vol.I, (Tt: Dar al-Fikr, tt), 56.
[2] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram Min
Adillat al-Ahkam, 75. Baca juga Muhammad Isma’il al-Kahlani, Subul
al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam, Vol.I (Tt: Dar
al-Fikr, tt), 186.
[3] Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, Vol.I, 56.
Baca juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.I (Beirut: Dar al-Fikr,
1983), 139.
[4] Muhammad Nasiruddin al-Albani, Tamam
al-Minnah Fi al-Ta’liq ‘Ala Fiqh al-Sunnah (Riyad: Dar al-Raayah, 1417 H),
193.
[5] Ibid., 194. Baca lagi al-‘Asqalani, Bulugh
al-Maram, 75 dan al-Kahlani, Subul al-Salam, Vol.I, 186.
[6] Muhammad Nasiruddin al-Albani, Sifat Salat
al-Nabi Saw Min al-Takbir Ila al-Taaslim Kaannaka Taraha (al-Riyad:
Maktabah al-Ma’arif, 1991), 140.
[7] Sabiq, Fiqh al-Sunnah, I, 139.
[8] Al-Albani, Tamam al-Minnah, 193-194.
[9] Muhaamd Nasiruddin al-Albani, Irwa
al-Ghalil Fi
Takhrij Ahadits Manar al-Sabil, Vol. II,
(Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), 78-78.
[10] Al-Kahlani al-San’ani, Subul al-Salam,
Vol.I, 187.
[11] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad,
Vol. I, 56-57.
[12] Al-Albaani, Tamam al-Minnah, 195.
[13] Al-Tahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar,
Vol.I, 150. Baca juga al-Albani, Tamam al-Minnah, 195.
[14] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh
Sahih al-Bukhari, Vol.II, 291. Baca juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,
Vol I, 139.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar