SEBAB-SEBAB
TIMBULNYA KHILAFIAH
(PERBEDAAN
PENDAPAT)
Achmad Zuhdi Dh |
Ada beberapa sebab
yang mengakibatkan munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Ikhtilaf al-Qira-at; (
اختلاف القراءات)
Ikhtilaf al-Qira-at
adalah perbedaan dalam cara
membaca nash al-Qur’an. Sebagai contoh pada bacaan ayat al-Qur’an yang
menjelaskan tentang cara berwudu, khususnya dalam membasuh kaki; apakah kaki
itu wajib dibasuh atau cukup diusap saja. Adanya perbedaan hukum mengenai wajib
tidaknya membasuh kaki ini disebabkan adanya perbedaan dalam membaca nash
al-Qur’an[1]
berikut ini:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَ
ةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا
بِرُئُووْسِكُمْ وَأَرْجُلكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Ulama berbeda pendapat dalam membaca nash ayat
tersebut, khususnya pada kata ” وأرجلكم “ .
Imam Nafi’, Ibnu ‘Amir dan al-Kisa-i membaca kata وأرجلكم dengan
me-nashab-kan, yakni وَأَرْجُلَكُمْ . Bacaan ini mengandung konsekwensi hukum wajibnya membasuh
kedua kaki pada saat wudu, karena menjadi ‘athaf (mengikut) pada
perintah membasuh muka dan kedua tangan.
Sedangkan Ibnu Katsir, Abu ‘Amr dan Hamzah membaca
kata وأرجلكم dengan men-jarr-kan, yakni وَأَرْجُلِكُمْ .
Bacaan ini mengandung konsekwensi hukum wajibnya mengusap kaki ketika melakukan
wudu, karena menjadi ‘athaf (mengikuti) pada perintah mengusap kepala.
Dengan adanya perbedaan bacaan terhadap nash
tersebut, khususnya pada kata وأرجلكم maka mengakibatkan
perbedaan hukum dalam berwudu. Yang pertama berpendapat bahwa kaki itu wajib
dibasuh, sedangkan yang kedua berpendapat bahwa kaki itu wajib diusap saja.
Tentang ini, mayoritas ulama lebih cenderung pada
pendapat yang pertama, yakni wajib membasuh kaki ketika melakukan wudu. [2]
2.
‘Adam al-Iththila’ ‘ala
al-Hadits;
(عدم الا طلاع على الحديث)
Yang
dimaksud dengan ‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits adalah tidak
mendapatkan suatu hadits dalam masalah hukum tertentu. Hal ini terjadi karena tingkat pengetahuan
para sahabat Nabi berbeda-beda. Ada yang banyak menguasai hadits atau sunnah
Nabi, ada juga yang hanya sedikit saja. Di samping itu adakalanya, ketika Nabi
sedang menyampaikan keterangan tentang sesuatu hukum, sebagian sahabat tidak
hadir, sehingga tidak mengetahui tentang hukum suatu masalah. Akibat tidak
seragamnya pengetahuan sahabat Nabi tentang hadits itu menyebabkan mereka
berbeda dalam menetapkan suatu hukum.
Sebagai
contoh, pada suatu ketika seorang sahabat Nabi Saw yang bernama Abu Bakr
(sahabat kecil) mendengar Abu Hurairah berkata:
مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ
جُنُباً فَلاَ يَصُمْ
Artinya:“Barangsiapa masuk waktu subuh masih dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah”.
Ketika
mendengar ucapan Abu Hurairah seperti itu maka oleh Abu Bakr kemudian
dikonfirmasikan kepada ayahnya ( Abd al-Rahman bin al-Harits), lalu ayahnya itu
tidak membenarkan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah itu. Selanjutnya kedua
orang itu datang kepada ‘Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. dan menanyakan
persoalan tadi kepada keduanya. Lalu ‘Aisyah dan Ummu Salamah menjelaskan
bahwa:
كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُباً مِنْ غَيْرِ حِلْمٍ ثُمَّ يَصُوْمُ
Artinya: “Nabi Saw pernah di
pagi hari masih dalam keadaan junub, tetapi ia tetap melanjutkan
puasanya”.
Setelah
itu Abu Bakr dan Abd al-Rahman bin al-Harits datang kepada Marwan dan
menceritakan masalah tersebut. Lalu mereka mendatangi Abu Hurairah dan
menjelaskan tentang keadaan Nabi Saw yang bertentangan dengan perkataannya
tadi. Abu Hurairah bertanya: “Apakah Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. berkata
begitu?”. Mereka menjawab, ya! Abu Hurairah berkata: “Mereka berdua tentu lebih
tahu”! Setelah itu Abu Hurairah merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh
kedua istri Nabi tersebut.[3]
Terjadinya
perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya puasa bagi orang yang junub
hingga pagi hari tersebut disebabkan oleh karena tidak mendapatkannya informasi
mengenai hadits dari Nabi Saw. Abu Hurairah sempat menganggap batal puasanya
bagi orang yang junub hingga pagi hari, karena ia tidak mendapatkan
hadits yang menerangkan tentang keabsahannya. Tetapi setelah ia mendengar ada
hadits tersebut dari Aisyah dan Ummu salamah, akhirnya ia menerima pendapat
yang mengatakan tetap sahnya puasa bagi orang yang junub hingga pagi
hari.
3.
Al-Syakk Fi Tsubut
al-Hadits; (الشك فى ثبوت الحديث)
Yang
dimaksud dengan Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits adalah keraguan terhadap
keberadaan sebuah hadits. Hal ini menjadi bagian dari sikap kehati-hatian para
sahabat dan ulama berikutnya dalam menerima hadits Nabi Saw. Mereka, para
sahabat itu, tidak buru-buru mengamalkan suatu hukum sebelum jelas benar bahwa
memang ada hadits dari Nabi yang menerangkannya. Jika tidak yakin terhadap
keberadaan hadits maka mereka memilih tawaqquf atau diam yakni tidak mau
mengamalkan sesuatu amalan yang tidak jelas dasarnya.
Sebagai
contoh kasus tentang orang yang makan atau minum di saat puasa karena kelupaan.
Tentang ini, mayoritas ulama ahli fiqh berpendapat bahwa apabila ada orang yang
lupa makan dan minum di saat puasa Ramadlan maka ia tidak berkewajiban
mengqadlanya atau membayar denda. Para ulama ini berpendapat berdasarkan hadits
dari Abu Hurairah ra. Ia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْشَرِبَ
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Artinya: “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa lupa makan atau
minum pada saat ia dalam keadaan berpuasa maka hendaklah ia melanjutkan
puasanya, karena sesungguhnya Allahlah yang telah memberikannya makan dan
minum”. [4]
Tentang ini Imam Malik berbeda
pendapat. Menurutnya, orang yang sedang berpuasa kemudian ia makan karena lupa
maka batallah puasanya dan ia wajib mengqadlanya. Dalam pandangan Malik,
berbuka itu adalah lawan dari berpuasa. Menahan makan dan minum adalah
merupakan rukun puasa. Ia menyamakan dengan orang yang lupa jumlah rakaat dalam
shalat.Karena itu jika ia lupa makan pada saat berpuasa, maka ia wajib
mengqadlanya, karena mencegah makan pada saat puasa itu termasuk rukun puasa
yang harus dijaga.
Tentang hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut, Imam Malik meragukannya. Ia tidak
mendapatkan hadits itu. Kalaulah ada hadits seperti itu, statusnya sebagai khabar
wahid, tidak populer. Kalau ada hadits yang tidak populer kemudian bertentangan
dengan kaidah-kaidah yang berlaku, maka ia tidak mau mengamalkannya.[5]
Akibat
dari keberadaan hadits yang diragukan tersebut, muncullah perbedaan pendapat.
Bagi yang meyakini keberadaan hadits tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh
mayoritas ulama, mereka menetapkan bahwa orang yang lupa makan dan minum ketika sedang berpuasa, tidak membatalkan
puasanya dan ia tidak berkewajiban mengqadlanya. Tetapi bagi mereka yang
meragukan akan keberadaan hadits tersebut, seperti Imam Malik maka ia
berketetapan bahwa orang yang berpuasa lalu lupa kemudian makan maka puasanya
dianggap batal.
4.
Al-Isytirak Fi al-Ma’na; (الاشتراك
فى المعنى)
Satu kata
yang mempunyai makna dua atau lebih, dalam bahasa Arab disebut lafadh
musytarak. Dalam al-Qur’an , terkadang Allah menggunakan kata-kata yang mengandung makna
ganda atau yang disebut dengan “Al-Isytirak Fi al-Ma’na”. Misalnya
firman Allah Swt.:
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ
الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُو
ا النَّساَءَ فِى الْمَحِيْضِ
وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang المحيض , katakanlah bahwa dia (المحيض) itu
kotor (penyakit). Karena itu maka jauhilah wanita pada المحيض . Janganlah kalian mendekatinya
hingga mereka dalam keadaan suci”.[6]
Dalam bentuk mashdar, kata المحيض
berarti haid. Sedangkan sebagai isim makan, المحيض berarti tempat haid yakni farj
atau kemaluan. Dari sini kata المحيض jelas menunjukkan arti ganda.
Ulama fiqh dalam memahami ayat tersebut agaknya
berbeda-beda. Ada yang memahami dengan haid dan ada pula yang memahami dengan
tempat haid. Hal ini tentu berpengaruh
pada penetapan hukum.
Imam Malik, Syafi’i (dalam salah satu pendapatnya),
Al-Auza’i, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan
mayoritas ulama fiqh cenderung memahami kata المحيض dengan arti haid. Dengan
demikian mereka menetapkan hukum bagi suami untuk menjauhi istrinya di saat
haid. Hanya mereka membolehkan menggauli istri apa-apa yang di luar batas
antara lutut dan pusat. Pendapat ini beralasan pada hadits Nabi Saw bahwa suatu
ketika Nabi Saw ditanya oleh paman Hakim bin Hizam yang bernama Abdullah bin
Sa’ad:
مَايَحِلُّ لِىْ مِنِ امْرَئَتِىْ وَهِيَ حَائِضٌ؟ قَالَ لَكَ
مَا فَوْقَ اْلإِزَارِ
Artinya: “Apa yang halal
bagiku terhadap istriku yang sedang haid? Nabi Saw menjawab: “Apa saja yang di
luar kain atau sarung”.[7]
Imam Syafi’i (dalam salah satu pendapatnya yang lebih shahih)
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan المحيض adalah
tempatnya haid yakni farj atau kemaluan. Jadi yang harus dijauhi oleh
suami terhadap isterinya yang sedang haid itu hanyalah tempat haid atau
kemaluannya itu saja. Selebihnya boleh. Pendapat ini didukung oleh beberapa
ulama, di antaranya adalah Al-Tsauri, Muhammad bin al-Hasan dan Dawud. Mereka
beralasan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
إِنَّ الْيَهُوْدَ كَانُوْا
إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُوَاكِلُوْهَا وَلَمْ يُجَامِعُوْهَافِى
الْبُيُوْتِ. فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِىِّ
النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ: وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُو ا النَّساَءَ فِى الْمَحِيْضِ وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ النِّكَاحُ وَفِىْ لَفْظٍ
إِلاَّ الْجِمَاعُ.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi itu apabila isteri-isterinya
sedang haid, mereka tidak memberikan kepercayaan atau tidak berkumpul dengan
mereka dalam satu rumah. Sahabat bertanya kepada Nabi Saw tentang hal itu lalu
Allah menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang المحيض , katakanlah bahwa dia (المحيض) itu kotor (penyakit). Karena itu maka
jauhilah wanita pada المحيض . Janganlah kalian mendekatinya hingga mereka dalam keadaan
suci”. Setelah itu Rasulullah Saw bersabda: “Kalian boleh melakukan apa saja
terhadap istrimu yang sedang haid, kecuali bersetubuh”. [8]
Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Al-Fakhr al-Razi
mengatakan bahwa banyak dari kalangan sastrawan yang menduga bahwa yang
dimaksud dengan kata المحيض pada ayat di atas adalah haid. Menurut al-Razi, pemahaman tersebut tidak tepat. Yang tepat
arti kata المحيض adalah tempat haid yakni kemaluan. Jika yang dimaksud dengan
kata المحيض itu adalah haid maka berlaku larangan bagi suami mendekati
istrinya sewaktu sedang haid. Tetapi jika kata المحيض diartikan dengan tempat haid
atau kemaluan maka yang harus dijauhi oleh suami ketika istrinya sedang haid
adalah farj atau kemaluannya saja, selebihnya boleh.
Jika kita menerima bahwa kata المحيض mengandung arti ganda yakni
dalam arti mashdar dan isim makan, maka dengan pengertian isim makan yakni tempatnya haid atau farj
lebih populer ketimbang dalam arti mashdar.[9]
5.
Ta’arudl al-Adillah; (تعارض
الادلة)
Di antara sebab-sebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli
fiqh adalah “ta’arudl al-Adillah” yakni adanya dalil-dalil yang
nampaknya saling bertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lain.
Sebenarnya tidak ada dalil-dalil yang saling bertentangan antara satu dengan
yang lain, karena pada dasarnya semua dalil itu datangnya dari satu sumber
yakni Allah Swt, apakah dari al-Qur’an maupun sunnah RasulNya.
Misalnya kasus tentang
menyentuh dzakar (kemaluan) sesudah wudu, apakah ia membatalkan
wudu atau tidak?
Menurut ulama al-Syafi’iyah, al-Hanabilah, Ishaq dan dari Malik
yang lebih populer pendapatnya mengatakan bahwa menyentuh dzakar itu
dapat membatalkan wudu. Mereka ini mengambil dalil dari hadits Nabi Saw riwayat
Bisrah binti Shafwan bahwasanya Nabi saw bersabda:
مَنْ
مَسَّ ذَكَرَهُ فَلاَ يُصَلِّى حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artunya: “Barangsiapa menyentuh dzakar-nya
maka ia tidak boleh melakukan shalat sebelum melakukan wudu”.[10]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Saw
bersabda: “Barangsiapa menyentuh dzakarnya tanpa alas penutup maka ia
wajib melakukan wudu”.[11]
Di antara sahabat Nabi Saw yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar
itu mewajibkan wudu adalah ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, Ibnu
‘Abbas, ‘Aisyah dan Sa’ad bin Abiu Waqash.
Sedangkan Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat bahwa
menyentuh dzakar itu tidak membatalkan wudu. Kelompok ini menggunakan
dalil dari hadits Thalq bin Ali:
أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ
الرَّجُلِ يَمَسُّ الذَّكَرَ فِىْ الصَّلاَةِ
فَقَالَ: هَلْ هُوَ
بِضْعَةٌ مِنْكَ.
Artinya: “Bahwasanya Nabi Saw pernah ditanya tentang orang yang menyentuh dzakarnya
di waktu shalat, maka Nabi Saw mengatakan bahwa dzakar itu adalah
merupakan bagian dari dirimu sendiri”.[12]
Di antara kalangan sahabat Nabi Saw yang berpendapat
bahwa menyentuh dzakar itu tidak membatalkan wudu adalah ‘Ali, ‘Ammar
dan Ibnu Mas’ud.
Karena dalil-dalil yang dipakai oleh kelompok satu
dengan kelompok yang lain nampak ada pertentangan maka tibullah perbedaan
pendapat dalam menetapkan hukum. Masing-masing menganggap bahwa dalil yang
dipakai itu lebih kuat. Karena itu masing-masing bertahan pada pendapatnya.
Kelompok pertama berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu membatalkan
wudu. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu
tidak membatalkan wudu.[13]
6.
‘Adamu Wujudi al-Nash Fi
al-Mas-alah; (عدم وجود النص فى المسألة)
Di antara penyebab munculnya perbedaan pendapat di
kalangan ahli fiqh adalah karena “Adamu Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah”, tidak adanya dalil atau nash yang
menerangkan tentang seuatu masalah. Misalnya kasus orang banyak beramai-ramai
membunuh satu orang. Bagaimana hukumnya? Apakah semuanya dihukum bunuh atau
cukup dengan dikenai denda saja?
Kasus
seperti ini tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Saw, tetapi pernah terjadi
pada masa ‘Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu itu ‘Umar bin al-Khaththab
menetapkan hukuman bunuh bagi semua yang terlibat dalam pembunuhan satu orang
itu. ‘Umar berkata:
وَاللهِ لَوْ أَنَّ أَهْلَ
صَنْعَاءَ إِشْتَرَكُوْا فِىْ قَتْلِهِ لَقَتَلْتُهُمْ أَجْمَعِيْنَ
Artinya: “Demi Allah, kalau sekiranya seluruh penduduk
Shan’a bekerja sama dalam membunuh satu orang, maka aku akan membunuh
seluruhnya”.
Di antara para sahabat yang setuju dengan
keputusan ‘Umar ini adalah ‘Ali, al-Mughirah bin Syu’bah dan Ibnu ‘Abbas.
Sedangkan di kalangan tabi’in antara lain Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan,
‘Atha dan Qatadah. Dan ini juga dianut oleh madzhab Malik, al-Tasuri,
al-Auza’i, al-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur
dan para ashhab al- ra’yi.
Adapun yang menentang pendapat ‘Umar
tersebut di kalangan sahabat adalah Ibnu al-Zubair. Ia hanya menetapkan dengan
hukuman diat atau denda. Ini juga merupakan pendapat al-Zuhri, Ibnu
Sirin, Dawud, Ibnu al-Mundzir dan ini juga
menjadi pendapat Ahmad.
Terjadinya perbedaan pendapat tentang
hukuman terhadap orang banyak yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang ini
dikarenakan memang tidak ada dalil dari Nabi Saw yang menerangkannya. Karena
itu masing-masing berijtihad untuk menetapkan hukum berdasarkan ruh al-tasyri’.[14]
[1] QS. Al-Maidah, ayat 6.
[2] Mushthafa Said al-Khan, Atsar
al-Ikhtilaf Fi al-Qawa-id al-Ushuliyah
Fi ikhtilaf al-Fuqaha (Kairo: Muassasah al-Risalah, 1972), 38.
[3] Muslim, Shahih Muslim, III:
137.
[5] Al-Khan, Atsar al-Ikhtilaf,
58.
[7] HR. Abu Dawud.
[8] HR. Muslim, Ahmad dan Ashhab
al-Sunan.
[11] HR. Ahmad.
[12] HR. Al-Tirmidzi, Abu Dawud dan
al-Nasa-i.
[13] Al-Khan, Atsar al-Ikhtilaf, 100.
[14] Ibid., 114-115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar