Selasa, 23 Juli 2024

HUKUM WUDU DI KAMAR MANDI

 WUDU DI KAMAR MANDI

Oleh


Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

Permasalahan:

      Ketika serombongan wisata sedang dalam perjalanan, di antara mereka ada yang mengingatkan bahwa waktu salat telah tiba, karena itu mereka diajak berhenti dan mampir dulu di sebuah masjid atau musalla untuk melaksanakan salat. Salah seorang dalam rombongan dari kalangan Perempuan (ukhti) kebingungan saat hendak melakukan wudu karena tidak tersedia tempat wudu yang khusus, melainkan jadi satu dengan kamar mandi. Dalam pandangan ukhti ini wudu seharusnya dilakukan di luar kamar mandi dan tertutup dari pandangan umum.

              Melalui rubrik konsultasi agama MATAN ini saya mohon kepada Ustaz pengasuh konsultasi agar berkenan memberikan penjelasan secara lugas dan jelas mengenai hukum berwudu di dalam kamar mandi. Apakah boleh berwudu di dalam kamar mandi? Adakah dalil-dalil kuat yang dapat dijadikan hujjah? Demikian, atas perkenannya saya sampaikan banyak terima kasih (Ukhti dari RSI Hasanah Muhammadiyah Mojokerto).

Pembahasan:

              Di zaman yang sudah modern ini, kamar mandi biasanya juga dilengkapi dengan toilet di dalamnya. Tujuannya mungkin saja sekedar untuk kepraktisan. Karena itu, tidak jarang ketika ada orang yang mandi di dalamnya, begitu selesai mandi lalu orang itu langsung melakukan wudu di dalamnya. Permasalahannya, apakah boleh berwudu di dalam kamar mandi?

              Sebenarnya, bila ditanyakan apakah ada dalil yang jelas dan tegas mengenai larangan berwudu di kamar mandi? Jawabannya, tidak ada atau belum ditemukan dalilnya. Tidak ada satu pun hadis yang secara jelas dan tegas melarang berwudu di kamar mandi. Karena itu maka wajar bila ulama kemudian berbeda pendapat mengenai hukum berwudu di dalam kamar mandi. Dalam hal ini, sebagian ulama cenderung melarangnya, dan sebagian ulama lainnya hanya memakruhkannya. Penyebab munculnya perbedaan ini di antaranya dikarenakan oleh adanya perbedaan pemahaman terhadap teks hadis berikut ini:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ 

Artinya: Dari Ibn Umar, bahwasanya ada seseorang yang lewat saat Rasulullah saw. sedang kencing (di toilet). Orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya" (HR. Muslim No. 849).

              Dalam memahami hadis tersebut, ada dua pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa berzikir atau menyebut asma Allah di dalam toilet itu tidak dibolehkan (haram atau dilarang). Sikap Nabi saw. tidak menjawab salam saat berada di dalam toilet tersebut, difahami oleh kelompok ulama ini, menunjukkan tidak bolehnya (haram)nya menjawab salam termasuk berzikir saat berada di dalam toilet.

Sementara ulama yang lain, berdasarkan hadis tersebut, berpendapat bahwa berzikir di dalam kamar mandi hukumnya makruh. Kelompok ulama yang cenderung menghukumi makruh beralasan bahwa sikap diamnya Nabi atau tidak membalasnya salam dari sahabat yang memberikan salam saat beliau berada di dalam toilet itu difahami sekedar menunjukkan kepatutan atau keutamaan untuk tidak berzikir di dalam toilet, sehingga hukumnya hanya makruh (tidak disukai, tidak elok), tidak sampai dihukumi haram (terlarang).

 Berwudu di kamar mandi ini dipermasalahkan karena dalam berwudu ada beberapa saat untuk berzikir. Di antaranya saat memulai wudu disyariatkan (disunnahkan) membaca basmalah, dan setelah selesai wudu disyariatkan membaca zikir syahadat, yaitu bacaan asyhadu alla ilaha illallah wahdahu la syarikalah wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluh (Aku bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah, yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad itu hamba dan utusan Allah).

              Karena saat berwudu ada zikir-zikirnya maka terkait hukum wudu di kamar mandi juga diperselisihkan ulama. Sebagian ulama melarang wudu di kamar mandi, namun sebagian ulama yang lain memakruhkannya. Berikut ini akan dibahas lengkap dengan dalil-dalilnya atau argumentasinya mengapa sebagian mereka menghukuminya haram dan mengapa sebagian yang lainnya hanya memakruhkannya.

Alasan pendapat yang melarang

              Menurut kelompok ulama yang melarang berzikir di kamar mandi, berwudu yang dimulai dengan membaca basmalah tidak boleh dilakukan di dalam kamar mandi, karena ada larangan berzikir saat berada di dalam toilet. Namun, bila kondisi mendesak maka boleh berwudu di dalam kamar mandi dengan cara, membaca basmalah sebelum masuk ke kamar mandi, dan berdoanya setelah wudu, di luar kamar mandi. Bisa juga saat di kamar mandi membaca basmalah tetapi cukup di dalam hatinya tanpa menggerakkan lisan dan bibir.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan:

فَإِنَّهُ لاَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى بِلِسَانِهِ فِيْهَا -فِي هَذَا الْمَوْضِعِ وَمَا أَشَرْنَا إِلَيْهِ أَوَّلاً- وَلَكِن ذَكَرَ اللهَ بِقَلْبِهِ لاَ حَرَجَ عَلَيْهِ فِيْهِ.

Tidak perlu berzikir (mengucapkan nama Allah) dengan lisannya pada tempat yang kami isyaratkan (kamar mandi dan semisalnya). Akan tetapi, berzikir di dalam hati. Hal ini tidak mengapa” (al-Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad al-Darb, XVI/304).

 

Pandangan Syekh al-Utsaimin ini merujuk pada pendapat Imam Ahmad sebagai berikut:

إِذَا كَانَ فِي الْحَمَّامِ ، فَقَدْ قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَد: إِذَا عَطَسَ الرَّجُلُ حَمِدَ اللهَ بِقَلْبِهِ، فيُخَرَّج مِنْ هَذِهِ الرِّوَايَةِ أَنَّهُ يُسَمِّيْ بِقَلْبِهِ

“Apabila seseorang di kamar mandi, Imam Ahmad mengatakan: “Jika dia bersin maka baca hamdalah dalam hati”. Dari beberapa keterangan Imam Ahmad ini dapat disimpulkan bahwa membaca basmalah juga dalam hati (al-Utsaimin, Al-Syarhul Mumthi’, I/159-160).

 

Alasan pendapat yang memakruhkan

Menurut ulama yang memakruhkan zikir di kamar mandi, mereka cenderung membolehkan berwudu di kamar mandi. Hal ini karena hal yang asalnya makruh itu bisa menjadi dibolehkan jika ada hajat (kebutuhan), meskipun tidak mendesak.

Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa berzikir dan berdoa di dalam kamar mandi hukumnya makruh. Beliau rahimahullah berkata:

يُكْرَهُ الذِّكْرُ وَالْكَلَامُ حَالَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ، سَوَاءٌ كَانَ فِي الصَّحْرَاءِ أَوْ فِي الْبُنْيَانِ، وَسَوَاءٌ فيِ ذَلِكَ جَمِيْع الْأَذْكَارِ وَالْكَلاَمِ إِلاَّ كَلاَم الضَّرُوْرَة

Dimakruhkan berzikir dan berbicara ketika menunaikan hajat (buang air), baik itu di tanah lapang atau di dalam ruangan, sama saja hukumnya pada semua jenis zikir ataupun pembicaraan, kecuali darurat” (al-Nawawi, Al-Adzkar al-Nawawiyah, I/47).

Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan bahwa suatu hal yang hukum asalnya makruh itu bisa menjadi mubah hukumnya apabila ada hajat (kebutuhan), sebagaimana kaidah berikut ini:

الْحَاجَةُ تَزُولُ الْكَرَاهَةَ

Suatu hajat (kebutuhan) itu dapat menghilangkan hukum makruh (sehingga menjadi boleh)” (Ibn Taymiyah, al-Fatawa al-Kubra, I/324).

Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah juga menjelaskan demikian disertai contohnya. Beliau berkata:

لاَ بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ دَاخِلَ الْحَمَّامِ، إِذَا دَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَى ذَلِكَ، وَيُسَمِّي عِنْدَ أَوَّلِ الْوُضُوْءِ، يَقُوْلُ: (بِسْمِ الله)؛ لِأَنَّ التَّسْمِيَةَ وَاجِبَةٌ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَمُتَأَكِّدَةٌ عِنْدَ الْأَكْثَرِ

Tidak mengapa seseorang berwudu di dalam kamar mandi apabila ada hajat dan diucapkan di awal wudu, yaitu bacaan basmalah. Lafaz basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sebagian besar yang lain berpendapat hukumnya sunah muakkadah” (Abdullah Bin Baz, Majmu’ Fatawa Bin Baz, X/28).

         Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Syarh al-Kabir mengatakan bahwa orang yang sedang berada di dalam kamar mandi boleh saja berzikir kepada Allah, karena zikir kepada Allah itu merupakan perbuatan yang baik untuk dilakukan di mana saja selama tidak ada larangan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abu Hurairah pernah masuk ke dalam kamar mandi dan membaca kalimah tauhid la ilaha illallah. Lebih lanjut Aisyah ra meriwayatkan hadis (al-Bukhari No. 833 dan Muslim No.852) bahwasanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Nabi saw. biasa berzikir kepada Allah dalam segala keadaan (Ibn Qudamah, al-Syarh al-Kabir, I/232; Baca juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, I/558).

            Sufyan bin Abdillah juga meriwayatkan:

" كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إِذَا دَخَلُوا الْحَمَّامَ أَنْ يَقُولُوا: يَا بَرُّ يَا رَحِيمُ، مُنَّ وَقِنَا عَذَابَ السَّمُومِ"

Mereka menganjurkan kepada siapa saja yang memasukinya (kamar mandi) untuk mengucapkan atau membaca zikir: “Ya Barru, Ya Rahim, Munna Waqina ‘azab al-Samum”, artinya: “Wahai Yang Maha baik, wahai yang Penyayang, selamatkan kami dari siksaan bahaya racun dan sejenisnya. Ini diucapkan seperti doa” (Ibn Taymiyah, Syarh Umdat al-Fiqh, I/408; Ibn Qudamah, al-Mubdi’ Fi syarh al-Muqni’, I/204).

              Ibn Rajab, setelah mengutip bacaan tersebut (saat berada di kamar mandi), menambahkan keterangannya: “Beberapa orang salih kemudian menuangkan air dari bak mandi ke kepalanya, namun dia mendapati air itu sangat panas, lalu dia menangis dan berkata: Saya teringat firman Allah swt (Al-Hajj: 19): “Di atas kepala mereka disiram air mendidih” (Ibn Rajab, Lataif al-Ma’arif, I/319).

           Dari keterangan di atas, baik dari hadis Nabi saw., komentar ulama, dan praktik sejumlah orang-orang salih, dapat difahami bahwa berwudu di dalam kamar mandi memang diperselisihkan ulama. Sebagian ulama melarangnya dan sebagian ulama lainnya memakruhkan bahkan membolehkannya. Hal ini disebabkan karena tidak ditemukannya dalil yang secara jelas dan tegas melarangnya.

           Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang kedua, yakni tidak melarang berwudu di kamar mandi agaknya lebih memudahkan, selain didukung oleh dalil-dalil yang menguatkannya. Hal ini sesuai dengan prinsip “li al-taysir”, memberi kemudahan dalam beribadah. Dengan demikian, tidak ada masalah berwudu di dalam kamar mandi termasuk membaca basmalah dan zikir atau doa lainnya. Apalagi bagi ibu-ibu yang membutuhkan tempat tertutup saat berwudu. Pendapat ini juga diperkuat oleh hadis sahih bahwa Nabi saw. suka berzikir di dalam semua keadaan. Selain itu juga perbuatan Abu Hurairah yang pernah membaca kalimat tauhid (la ilaha illallah) saat berada di dalam kamar mandi. Wallahu A’lam bishshawab!

 (Artikel ini telah dimuat di majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Juli 2024)

Senin, 03 Juni 2024

MENDOAKAN SIAL

 MENDOAKAN SIAL

Oleh

 

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan

               Ada seseorang yang merasa hidupnya terzalimi. Karirnya dihambat. Hari-hari kegiatannya sering diintimidasi. Gerak langkahnya dibatasi. Lalu ia marah. Dalam keadaan demikian ia kemudian berdoa agar “orang itu” mendapatkan azab dari Allah, agar orang itu karirnya jatuh dan agar orang itu mendapatkan kesialan. Pertanyaannya, bolehkah berdoa seperti itu? Mohon pengasuh rubrik Konsultasi Agama berkenan membahasnya dengan dali-dalil dari al-Qur’an dan al-Hadis. Atas perkenannya, saya sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairan katsiran! (Wulan, Blitar).

Pembahasan

              Termasuk akhlak yang mulia adalah menyayangi sesama manusia. Tidak boleh menzalimi saudaranya atau menyakitinya. Tidak boleh mendoakan untuk keburukan atau kesialan orang lain, seperti agar orang itu jatuh sakit atau hilang jabatannya, dan lain sebagainya. Namun, bila seseorang dalam posisi terzalimi dan tak berdaya lagi, maka ia boleh mendoakan untuk keburukannya sekedar untuk membalas yang sepadan. Allah swt. berfirman:

 لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Nisa, 148).

              Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir menjelaskan bahwa menurut Ibn Abbas ra, ayat yang berbunyi: “Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, maksudnya adalah bahwa Allah tidak menyukai doa buruk (kesialan) seseorang atas orang lain kecuali bagi orang yang terzalimi. Bagi yang terzalimi maka ia diberi dispensasi untuk mendoakan (buruk) kepada orang yang menzaliminya. Sungguhpun demikian, bagi orang yang sanggup bersabar (tidak mendoakan buruk kepada orang yang menzaliminya) maka hal itu lebih baik baginya (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, II/442).

              Hasan al-Basri mengatakan: “Janganlah seseorang mendoakan keburukan kepada orang lain, tetapi katakanlah dengan doa: “Allahumma a’inni ‘alaihi wastakhrij haqqi minhu”, (ya Allah tolonglah aku atas perbuatan buruknya kepadaku, dan keluarkan hak ku darinya). Dalam riwayat lain diterangkan bahwa seseorang dibolehkan mendoakan buruk kepada orang yang menzaliminya asal tidak berlebih-lebihan (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, II/443). 

              Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw. bersabda:

الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ

“Dua orang yang saling mencaci (mencela) maka yang menanggung dosanya adalah yang memulai, selama orang yang terzalimi tidak melampaui batas” (HR. Muslim No. 6756).

              Menurut Imam al-Ghazali, mendoakan dan mengharapkan kebinasaan atau kesialan atas diri orang lain adalah perbuatan yang tercela dalam syariat Islam. Dalam kitab Ihya Ulum al-Din, beliau menerangkan:

وَيَقْرُبُ مِنَ اللَّعْنِ الدُّعَاءُ عَلَى الْإِنْسَانِ بِالشَّرِّ، حَتَّى الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ فَإِنَّهُ مَذْمُومٌ، كَقَوْلِهِ لِإِنْسَانٍ: لَا أَصَحَّ اللَّهُ جِسْمَهُ وَلَا سَلَّمَهُ اللَّهُ وَمَا جَرَى مَجْرَاهُ كُلُّ ذَلِكَ مَذْمُومٌ وَفِي الْخَبَرِ: «إِنَّ الْمَظْلُومَ لَيَدْعُو عَلَى الظَّالِمِ حَتَّى يُكَافِئَهُ»

Termasuk dekat dengan laknat adalah mendoakan keburukan kepada orang lain, sehingga berdoa untuk orang yang menganiaya adalah tercela, seperti ucapan doa seseorang: “Semoga Allah tidak menyehatkan badannya, semoga Allah tidak memberikan keselamatan untuknya, atau doa keburukan sejenisnya, karena semua itu adalah perbuatan tercela. Dalam hadis disebutkan, ‘Sungguh, orang yang teraniaya mendoakan keburukan untuk orang yang menganiaya sampai lunas terbayar” (Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, III/126).

Lebih lanjut Imam Al-Ghazali mengingatkan hal serupa dalam kitabnya Bidayat al-Hidayah. Jangan sampai kita mendoakan kebinasaan atas diri orang lain yang telah berbuat zalim karena kita sedang kecewa dan marah. Dikhawatirkan bobot doa kita melewati batas kezalimannya. Lebih lanjut Syekh Muhammad al-Nawawi Banten dalam kitabnya Maraqi al-Ubudiyah ‘Ala Bidayat al-Hidayah memberi penjelasan terhadap kitab Bidayatul Hidayah sebagai berikut:

        “Ketujuh mendoakan kebinasaan untuk orang lain. Peliharalah mulutmu agar tidak mendoakan seorang pun dari makhluk Allah sekalipun kamu dizalimi oleh orang tersebut. (Pasrahkan) serahkan (urusannya) masalah orang yang menzalimimu (kepada Allah). Cukup Allah yang menyelesaikannya. Dalam hadis disebutkan: ‘Sungguh, orang yang dizalimi mendoakan) kebinasaan (untuk orang yang menzaliminya sampai lunas terbayar) pembalasan dengan kezaliman yang setimpal (tetapi yang tersisa kemudian adalah kelebihan) ketambahan (hak orang yang berbuat zalim terhadapnya) terhadap orang yang dizalimi (yang akan dituntut olehnya). Maksudnya orang yang zalim kelak akan menuntut kelebihan haknya terhadap orang yang dizaliminya (pada hari kiamat’)” (Syekh M. Nawawi Banten, Maraqi al-Ubudiyyah ‘Ala Bidayat al-Hidayah, 69).

Berdasarkan keterangan tersebut dapat kita fahami bahwa mendoakan kebinasaan atau kesialan atas diri orang lain adalah perbuatan tercela dalam syariat Islam. Selain itu, balasan doa tersebut bisa berisiko pada tindakan yang melampaui batas sehingga kita jadi kalap dan berbuat zalim dengan doa habis-habisan untuk keburukan atau kesialan atas diri orang lain. Penganiayaan atau kezaliman oleh siapapun dan melalui apapun (termasuk doa) adalah tindakan terlarang dalam Islam meski dilakukan oleh orang yang semula terzalimi atau teraniaya. Mendoakan kebinasaan atas diri orang lain pada mulanya diizinkan, tetapi berdoa yang melampaui batas adalah bentuk kezaliman baru terlebih penganiayaan dan kezaliman yang dimaksud masih bersifat asumsi dan dugaan semata. Allah menyatakan bahwa doa orang yang teraniaya itu mustajab. Karena itu harus hati-hati dalam menggunakan doa ini. Apalagi doa Ibu kepada anaknya, jangan sampai ada doa yang mengandung kemurkaan yang dapat menjatuhkan si anak atau menyengsarakannya.

Dikisahkan dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim: “Tidak ada bayi yang dapat berbicara dalam buaian kecuali Isa bin Maryam dan bayi di masa Juraij”. Lalu ada sahabat yang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah Juraij itu?” Beliau bersabda: “Juraij adalah seorang rahib (ahli ibadah) yang tinggal di rumah peribadatannya (yang terletak di dataran tinggi atau suatu pegunungan). Di sana ada seorang penggembala yang menggembalakan sapinya di lereng gunung dekat tempat peribadatannya dan seorang wanita desa yang menemui penggembala itu (untuk berbuat mesum dengannya).

Suatu hari datanglah ibu Juraij dan memanggil anaknya (Juraij) ketika ia sedang melaksanakan salat. “Wahai Juraij”. Juraij lalu bertanya dalam hatinya: “Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan salatku?” Rupanya dia mengutamakan salatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya.  Juraij kembali bertanya di dalam hatinya: “Ibuku atau salatku?” Rupanya dia masih mengutamakan salatnya. Ibunya memanggil untuk kali yang ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hati: “lbuku atau salatku?” Rupanya dia masih tetap mengutamakan salatnya. Ketika sudah tidak menjawab pada panggilan (ketiganya), ibunya (dalam keadaan marah) berdoa: “Semoga Allah tidak mewafatkanmu, wahai Juraij hingga wajahmu dipermalukan di depan para pelacur”. Lalu ibunya pun meninggalkannya.

Suatu hari, wanita yang menemui (berbuat mesum dengan) penggembala tadi dibawa untuk menghadap raja dalam keadaan telah melahirkan seorang anak. Raja itu bertanya kepada wanita itu. “Hasil dari (berzina dengan) siapa (anak ini)?”. “Dari Juraij”, jawab wanita tersebut. Raja lalu bertanya lagi: “Apakah dia (Juraij) yang tinggal di tempat peribadatan itu?” “Benar”, jawab wanita itu. Raja lalu berkata: “Kalau begitu, hancurkan rumah peribadatannya dan bawa dia (Juraij) kemari”. Orang-orang lalu menghancurkan tempat peribadatannya dengan kapak sampai rata dan mengikatkan tangannya di lehernya dengan tali lalu menggelandangnya ke hadapan raja. Di tengah perjalanannya, Juraij dilewatkan di hadapan para pelacur. Ketika melihatnya, Juraij tersenyum dan para pelacur tersebut melihat Juraij berada di antara manusia.

Raja bertanya kepadanya (Juraij): “Siapa ini menurutmu?” Juraij balik bertanya: “Siapa yang engkau maksud, wahai Raja?” Raja berkata: “Dia (wanita tadi) berkata bahwa anaknya adalah hasil hubungan (zina) denganmu”. Juraij bertanya kepada wanita itu: “Apakah engkau telah berkata begitu?” “Benar”, jawab wanita itu. Juraij kemudian bertanya lagi: “Di mana bayi itu?” Orang-orang yang ada di sekitarnya menjawab: “(Itu) di pangkuan (ibu)nya”. Juraij lalu mendekatinya dan bertanya kepada bayi itu. “Wahai bayi, siapa ayahmu?” Bayi itu menjawab: “Ayahku adalah si penggembala sapi”.

Saat itu juga sang Raja (merasa bersalah lalu) berkata: “Apakah perlu kami bangunkan kembali rumah ibadahmu dengan bahan-bahan dari emas?” Juraij menjawab, “Tidak perlu”. “Ataukah kami bangunkan dari perak?” lanjut sang Raja. “Jangan, tidak perlu”, jawab Juraij. “Lalu dari apa kami akan membangun rumah ibadahmu?”, tanya sang Raja. Juraij menjawab: “Bangunkan saja seperti semula.” Raja kemudian (melihat Juraij tersenyum) lalu bertanya: “Mengapa engkau tersenyum?” Juraij menjawab: “(Saya tersenyum) karena menyaksikan (mengetahui) “suatu perkara”, yaitu terkabulnya do’a ibuku terhadap diriku”. Kemudian Juraij pun memberitahukan hal itu kepada mereka (Raja dan Masyarakat sekitarnya)” (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad No. 33, I/26). Al-Albani: hadis sahih (al-Albani, Sahih al-Adab al-Mufrad, I/15). Kisah ini juga disebutkan dalam Sahih al-Bukhari No. 1206 dan Sahih Muslim No. 6673 dengan sedikit berbeda redaksinya.

Ada dua pelajaran penting dari kisah tersebut. Pertama, waspadalah terhadap doa Ibu, karena doa Ibu itu sangat mustajab, mudah dikabulkan. Kedua, berhati-hatilah dalam berdoa terlebih doa yang bisa menyebabkan kehidupan seseorang mengalami kesialan dan kesengsaraan. Sikap menahan diri dan bersabar untuk tidak mendoakan sial bagi orang lain (meski pernah dizalimi) adalah sikap yang sangat terpuji.

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur edisi Juni 2024)

Selasa, 14 Mei 2024

HUKUM CALON ISTERI MINTA MAHAR

 CALON ISTERI MINTA MAHAR

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

 

Permasalahan

               Saya ada masalah, Ustadz! Insya Allah beberapa bulan kedepan saya akan menikah dengan seorang laki-laki yang shalih. Terkait mahar ustadz, katanya "sebaik-baik perempuan adalah yang paling ringan maharnya", dan "sebaik-baik laki-laki adalah yang memuliakan perempuan (isterinya)". Pertanyaan saya, bolehkah calon isteri meminta maharnya seperti begini atau begitu? Demikian Ustadz, atas perkenannya saya sampaikan banyak terima kasih dengan iringan doa jazakumullah khairal jaza’ (Lisa, Sidoarjo).

Pembahasan:

              Kata mahar berasal dari bahasa arab “al-mahr”. Dalam kamus Bahasa Arab disebutkan bahwa almahr adalah sinonim dari kata al-shadaq. Bentuk jamak dari al-mahr adalah al-muhur (Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, V/184 dan al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, I/615). Al-mahr saat ini sudah menjadi kata baku dalam Bahasa Indonesia “mahar”, yang artinya maskawin, yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah (KBBI).

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Butir d).

Ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon suami ketika akan melangsungkan akad nikah, di antaranya adalah memberikan mahar. Ulama bersepakat bahwa hukum memberikan mahar adalah wajib karena banyaknya ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang memerintahkannya. Di antara ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan mahar antara lain QS. Al-Nisa ayat 4, 24, dan 25.

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً... فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِه مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗ ...وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (QS. Al-Nisa, 4); …Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban (QS. Al-Nisa, 24; …Dan berilah maskawin mereka menurut yang patut (QS. Al-Nisa, 25).

Sedangkan dari Nabi saw. terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang pentingnya mahar dalam perkawinan. Di antaranya adalah dari Uqbah bin Amir ra., Rasulullah saw. telah bersabda: 

 خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهُ

“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah” (HR. al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi No. 14721 dan al-Hakim, al-Mustadrak No. 2742). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Shaghir, I/621).

Ketika Rasulullah saw. hendak menikahkan seorang sahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya, beliau bersabda:

اِلْتَمِسْ(انْظُرْ) وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ

“Carilah (mahar) sekalipun (berupa) cincin yang terbuat dari besi“.….Ketika sahabat itu tidak menemukannya, maka Rasulullah menikahkannya dengan mahar “mengajarkan beberapa surat Al-Qur’an kepada calon istrinya” (HR. al-Bukhari No. 5135; Muslim No. 3553).

          Memberikan mahar saat aqad nikah, dari calon suami kepada calon isterinya memang diperintahkan bahkan diwajibkan. Namun, mengenai nilai mahar atau besar kecilnya mahar tidak ditentukan atau tidak ditetapkan oleh syariat. Mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan tidak membebani dan tidak mempersulit keduanya, atau saling ridha. Al-Nawawi menjelaskan:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث أَنَّهُ يَجُوز أَنْ يَكُون الصَّدَاق قَلِيلًا وَكَثِيرًا مِمَّا يُتَمَوَّل إِذَا تَرَاضَى بِهِ الزَّوْجَانِ، لِأَنَّ خَاتَم الْحَدِيد فِي نِهَايَة مِنْ الْقِلَّة. وَهَذَا مَذْهَب الشَّافِعِيّ، وَهُوَ مَذْهَب جَمَاهِير الْعُلَمَاء مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف

“Hadis ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling ridha, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf” (Imam al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, V/134).

Rasulullah saw. bersabda:

ﺧَﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜَـﺎﺡِ ﺃَﻳْﺴَـﺮُﻩُ

"Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah" (HR. Abu Dawud No. 2117). Al-Albani menilai hadis ini sahih (al-Albani, al-Silsilah al-Sahihah al-Kamilah, IV/341). Dalam riwayat Ahmad, Nabi saw. bersabda:

إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا

Termasuk berkahnya seorang wanita adalah yang mudah khitbahnya (lamarannya), yang mudah maharnya, dan yang mudah keturunannya” (HR. Ahmad, No. 24478). Al-Albani menilai hadis ini hasan (al-Albani, Sahih al-Jami’ al-Shaghir, I/444).

              Jadi, dalam menentukan besar dan kecilnya mahar, yang penting calon suami tidak merasa terbebani. Sebaliknya, calon suami merasa mendapatkan keringanan dan kemudahan dalam menyiapkan maharnya. Bagi calon suami yang berkecukupan, mungkin mahar yang akan disiapkan bernilai besar, sebaliknya jika calon suaminya pas-pasan, maka mahar yang dipersiapkannya mungkin bernilai kecil. Di sinilah calon isteri yang harus memahaminya. Bila keduanya bersepakat dan ridha dengan mahar yang telah dipersiapkan, maka keberkahanlah yang akan diperoleh calon sepasang suami-isteri yang akan menikah. Ibnu al-Qayyim menjelaskan:

أَنّ الْمُغَالَاةَ فِي الْمَهْرِ مَكْرُوهَةٌ فِي النّكَاحِ وَأَنّهَا مِنْ قِلّةِ بَرَكَتِهِ وَعُسْرِهِ

 “Berlebihan-lebihan dalam mahar hukumnya makruh (dibenci) pada pernikahan. Hal ini (berlebih-lebihan dalam mahar) menunjukkan (berakibat) sedikitnya barakah dan sulitnya pernikahan tersebut” (Ibn al-Qayyim, Zaad al-Ma’ad, V/162).

              Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah berkata: “Disunnahkan meringankan mahar dan tidak melebihi mahar yang diperolah para isteri Nabi saw. dan anak-anaknya. ‘Aisyah ra. meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: “Wanita yang paling besar keberkahannya ialah yang paling ringan maharnya”. Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw. bersabda: “Sebaik-baik mereka (wanita) ialah yang paling mudah maharnya”. Dari al-Hasan al-Bashri, ia menuturkan: “Rasulullah saw. bersabda: “Nikahkanlah kaum wanita dengan kaum pria, tapi jangan bermahal-mahal dalam mahar”. ‘Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia dengan pernyataannya: “Ingatlah, janganlah kalian bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, sekiranya (bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu kemuliaan di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi saw. orang yang paling utama di antara kalian (dalam hal ini) sudah melakukannya, (namun) beliau tidak pernah memberi mahar kepada seseorang dari isteri-isterinya dan tidak pula meminta mahar untuk seseorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah (ons) perak”. Al-Tirmidzi menilainya sebagai hadis sahih” (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII /192).

 Adapun yang dinukil dari sebagian Salaf bahwa mereka memperbanyak pemberian mahar kepada wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka berlimpah. Mereka mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum menggauli, mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa yang mempunyai kemudahan dan mempunyai harta lalu dia senang memberi isterinya mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa (Ibn Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXXII/195).

              Berdasarkan uraian tentang mahar tersebut di atas dapat difahami bahwa mahar atau maskawin adalah pemberian wajib berupa uang, barang atau jasa dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Tentang berapa besaran nilai maharnya tidak ada ketentuan yang membatasi. Karena itu mahar boleh disiapkan dengan jumlah nilai yang tinggi (mahal) bagi yang mampu dan juga boleh disiapkan dengan jumlah nilai yang rendah (murah) bagi yang pas pasan.

              Dengan demikian, wanita yang akan menjadi calon isteri boleh saja meminta kepada calon suami tentang jenis mahar apa yang diinginkan, asal calon suami berkenan atau tidak keberatan, kemudian mampu dan ridha. Dengan adanya keridhaan antara calon suami dan calon isteri tentang maharnya, insya Allah akad nikahnya akan memperoleh banyak limpahan berkah.

Ada kisah unik tentang mahar yang diminta Ummu Sulaim. Rumaysha atau Ummu Sulaim adalah wanita pertama masuk Islam. Sebelumnya ia hidup dalam suasana jahiliyah, sempat menikah dengan Malik bin al-Nadhar kemudian melahirkan seorang anak bernama Anas Bin Malik.

Ketika menyatakan diri masuk Islam, ia ditentang oleh kerabat, keluarga, bahkan suaminya sendiri. Saat itu, suaminya sangat marah kepada Ummu Sulaim, dan berkata: "Apakah engkau telah musyrik?". Dengan penuh keyakinan dan ketegasan Ummu Sulaim menjawab: "Aku tidak musyrik tetapi aku telah beriman". Beberapa saat setelah Ummu Sulaim memeluk islam, Malik pun pergi menuju Syam dengan perasaan marah. Malangnya, Malik terbunuh saat perjalanan perang.

Setelah suaminya meninggal, Ummu Sulaim dengan penuh kesabaran membimbing serta merawat anaknya (Anas bin Maalik). Ia kemudian membimbingnya untuk mengucap dua kalimat sahadat dan memeluk Islam. Ummu Sulaim mengatakan: "Aku tidak akan memberi Anas makanan sampai ia meninggalkan musim susuku (ASI), dan aku tidak akan menikah lagi sampai Anas dewasa".

Sebagai orang tua tunggal untuk anaknya, Ummu Sulaim tak pernah melanggar apa yang ia ucapkan. Setelah tumbuh menjadi dewasa, Anas pun diantarkan kepada Rasulullah saw. dan diserahkan sebagai pelayan juga kerabat golongan muslimin. Akhlak yang mulia dari Ummu Sulaim dikagumi oleh banyak orang, termasuk Abu Thalhah, seorang saudagar kaya di zamannya.

Singkat cerita, Abu Thalhah terpikat kepada Ummu Sulaim yang sudah janda. Selanjutnya ia melamar Ummu Sulaim untuk menjadi isterinya. Sayangnya lamarannya ditolak dengan alasan Abu Thalhah masih kafir. Ummu Sulaim mengatakan, "Tidak sepantasnya aku menikah dengan seorang musyrik. Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesembahan kalian itu diukir oleh seorang hamba dari keluarga si Fulan. Sesungguhnya bila kalian menyalakan api padanya pastilah api itu akan membakarnya".

Lebih lanjut Ummi Sulaim mengatakan: "Wahai Abu Thalhah, tidak semestinya orang sepertimu ditolak, akan tetapi engkau masih kafir sedangkan aku seorang muslimah yang tidak boleh menikah denganmu. Aku tak berharap emas dan perak. Aku hanya ingin keislaman darimu”, lanjut Ummu Sulaim. 

Mendengar jawaban Ummu Sulaim, Abu Thalhah pun merasa patah hati lalu mendatangi Rasulullah saw. Dalam pertemuan tersebut, ia memutuskan memeluk Islam. Rasulullah berkata kepada para sahabatnya: "Telah datang kepada kalian Abu Thalhah yang nampak dari kedua bola matanya semangat keislaman".

Setelah menjadi seorang muslim, Abu Thalhah pun akhirnya bisa menikah dengan Ummu Sulaim. Ketika itu Ummu Sulaim tidak meminta mahar apapun dari Abu Thalhah selain keislamannya. Dari Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Tasbit bahwa Rasulullah bersabda: "Aku belum pernah mendengar seorang wanita mana pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim, karena maharnya adalah Islam" (al-Nasai, Sunan al-Nasai No. 3341, Ibn Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, VIII/ 424-427).

 (Artikel ini telah dimuat di Majalah MATAN PWM Jawa Timur Edisi Mei 2024)

Kamis, 04 April 2024

SEDEKAH SAAT PAS PASAN

 SEDEKAH SAAT SUSAH

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fi I

Permasalahan

              Saya pernah membaca ayat al-Qur’an bahwa infak dan sedekah itu dianjurkan bagi siapa saja, baik saat sempit (susah) maupun longgar (berkelebihan). Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana ketika saya ada uang hanya mencukupi atau pas-pasan untuk kebutuhan keluarga bahkan terkadang kekurangan, kemudian ada ajakan bersedekah untuk musibah bencana alam, apakah saya boleh ikut bersedekah dengan mengurangi jatah untuk keperluan keluarga? Mohon kepada pengasuh rubrik konsultasi agama berkenan memberikan pencerahan mengenai masalah tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Atas perkenannya, saya sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah ahsan al-jaza’! (Salim, Sidoarjo)

Pembahasan:

              Imam al-Qusyairi menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan sikap kedermawanan. Pertama al-shakha’ (السخاء), yaitu memberikan sebagian hartanya untuk orang lain dan sebagiannya untuk dirinya sendiri. Kedua, al-Jud (الجود), yaitu memberikan sebagian besar hartanya untuk orang lain, sisanya untuk dirinya sendiri. Ketiga, al-itsar (الايثار), yaitu saat ia masih sangat membutuhkan sesuatu, tetapi sesuatu itu malah diberikan kepada orang lain, yakni mengutamakan orang lain (Imam al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, 248).

              Dalam Islam, sedekah adalah amal yang sangat baik dan bisa menjadi salah satu tanda kesalihan serta ketakwaan seseorang. Perintah bersedekah, tidak hanya berlaku bagi orang yang hartanya berlebih, tetapi juga berlaku bagi siapa saja, baik saat longgar (banyak hartanya) maupun sempit (pas-pasan bahkan kekurangan). Allah swt berfirman:

وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. Ali Imran, 133-134).

              Perintah berinfak dan bersedekah dalam ayat tersebut dapat difahami bahwa jadi manusia itu tidak boleh mementingkan diri sendiri, tetapi juga memberikan perhatian dan bantuan kepada orang lain, terutama mereka yang sangat membutuhkan.

              Perintah bersedekah saat dalam kondisi harta berlebih dan berlimpah, di antara tujuannya adalah agar seseorang bisa mensyukuri nikmat pemberian Allah dan agar terhindar dari sikap sombong, serakah, serta sikap adigung adigina, sapa sira sapa ingsun. Merasa hanya dirinya yang paling hebat.

              Sedangkan perintah bersedekah saat kondisi hartanya pas-pasan bahkan mungkin kekurangan, di antara hikmahnya adalah agar seseorang tetap punya harga diri, tidak suka memposisikan tangannya selalu di bawah (sebagai penerima) tetapi juga bisa menempatkan tangannya di atas (sebagai pemberi).

              Allah swt berfirman:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (QS. al-Thalak, 7).

Rasulullah saw. mengingatkan kita agar mengutamakan amal sedekah dan menyegerakannya. Tidak perlu menunggu kaya, meski hanya dengan sebutir kurma. Nabi saw bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma. Bila tidak mendapatkan (apapun), maka sedekahlah dengan kalimat (ucapan) yang baik (HR. al-Bukhari No. 6563 dan Muslim No. 2397).

              Umumnya orang suka menumpuk harta dan terus menambah hartanya hingga berlimpah. Nabi saw tidak melarang orang menjadi kaya raya dan terus bekerja keras untuk meraih kekayaan. Namun, pada saat seperti ini, biasanya orang merasa eman untuk bersedekah dan hanya berpikir bagaimana menghimpun harta sebanyak-banyaknya. Karena itu Nabi saw mengingatkan agar seseorang tetap bisa menyempatkan bersedekah, tidak usah menunggu kaya.

              Nabi saw pernah ditanya tentang sedekah yang paling utama dan yang paling besar pahalanya. Saat itu Nabi saw menjelaskan:

 أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ

 Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat, masih sangat mencintai harta, masih berangan-angan menjadi kaya, dan masih takut menjadi fakir. Dan (sebagai peringatan), janganlah kamu menunda-nunda sedekah hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, lalu kamu baru berkata: “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan” (HR. al-Bukhari No. 2748).

              Pada hadis lain, Dari Abdullah bin Hubsyi Al Khats’ami, Nabi saw.  pernah ditanya mengenai sedekah apa yang paling utama. Saat itu beliau menjawab: “jahdul muqill (جَهْدُ الْمُقِلِّ), yaitu “Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR. Abu Dawud No. 1451 dan Al-Nasai no. 2526). Syaikh Al Albani mengatakan hadis ini sahih).

Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa sedekah adalah amal yang sangat mulia, bisa dilakukan oleh siapa saja, saat sedang berkecukupan dan berlebihan maupun sedang dalam keadaan pas-pasan atau bahkan kekurangan.

              Berikut ini kisah inspiratif tentang kemuliaan dan keberuntungan orang-orang yang bersedekah saat pas-pasan dan hidup susah. Kisah pertama terjadi pada masa Nabi saw. dan kisah kedua pada masa kita ini.

              Berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari No. 3798, dari Abu Hurairah ra.: “Ada seseorang (tamu) mendatangi Rasulullah saw. (dalam keadaan lapar), lalu beliau mengirim utusan kepada para istrinya. Saat itu para istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apa pun kecuali air”. Rasulullah saw. kemudian menemui para sahabatnya: “Siapakah di antara kalian yang mau menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berseru, “Saya.”

              Lalu orang Anshar ini membawa orang tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah saw.!” Istrinya menjawab, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.” Orang Anshar itu berkata, “Siapkan saja makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya.

              Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah saw. Beliau saw. bersabda:Malam ini Allah tertawa atau takjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah menurunkan ayat (QS. Al-Hasyr: 9, “…Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak…”). Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan nama orang Anshar yang melayani tamu tersebut adalah Abu Thalhah ra.  

              Kisah kedua dari orang Minang yang merantau ke Jakarta (hidayatullah.com). Tujuh tahun Abdullah merantau dari sebuah desa kecil di Padang-Sumatera ke Jakarta. Tujuannya hanya satu, mencoba peruntungan. Ia berharap bahwa Jakarta yang sering hanya dilihat di televisi bisa mengubah garis hidupnya.

Salah satu andalan yang bisa ia lakukan di kota paling besar di Negeri ini adalah berjualan kecil-kecilan. Ia memutuskan berjualan makanan Nasi Padang, khas kampungnya. Ia menetap dan tinggal di Jakarta Timur dengan menyewa sebuah tempat kecil. Ia bersyukur, meski kecil, warungnya tidak sepi. Setidaknya dengan warung itu ia bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Merantau dari desa ke Jakarta tujuannya memang untuk mengais rizki. Tentu, agar irit, semuanya ia lakukan sendiri. Mulai belanja, masak hingga menunggu warung, ia lakukan sendiri.

Suatu hari, di sebelah warung yang ia tempati ada musibah. Seorang bapak, meninggal dunia dengan meninggalkan anaknya yang masih kecil enam orang dan seorang istri. Ia memperhatikan kehidupannya pasca kematian suaminya benar-benar memprihatinkan. Entah, apa yang menggerakkan hatinya, kala itu ia ingin membantu. Namun karena kondisinya yang terbatas, yang mungkin ia lakukan adalah memberi makan mereka secara gratis. Itupun sekali dalam seminggu.

Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, itu saja yang ia kerjakan tanpa tahu makna dari itu. Boro-boro hadis Nabi tentang anak yatim, salat saja masih bolong-bolong, saat itu. Maklum, ketika datang dari desa, ia tak begitu mengenal makna hidup. Tidak terasa, anak-anak yatim yang ia santuni ternyata terus berkembang. Dari enam orang menjadi sembilan. Dan dari sembilan orang, akhirnya anak-anak yatim itu telah mencapai 150 orang.

SubhanallahKalau bukan Allah Swt, tidak mungkin bisa menggerakkan anak-anak yatim datang ke warungnya. Setiap hari Jumat, mereka datang ke warung untuk makan bersama dan pulangnya diberikan amplop sekedarnya. Sering juga muncul pertanyaan dari banyak orang, apakah dengan mengundang mereka makan, tidak menjadikan warungnya rugi? Entahlah, tapi faktanya justru terbalik. Semenjak kedatangan mereka ke warungnya, rezeki yang datang menghampirinya tidak pernah ada habisnya.

Betapa tidak, dahulu ia hanya menyewa warung kecil, kini tanah dan bangunan itu sudah ia beli dan menjadi miliknya sendiri. Tidak itu saja, ia bisa membeli rumah lagi di Jakarta, kemudian menambah beberapa warung Padang lagi untuk memperluas usaha. Dengan begitu ia bisa menambah jumlah karyawan yang semakin banyak.  Akhirnya, istri, anak dan keluarga bahkan semuanya bisa ikut hijrah ke Jakarta. 

Ia yakin benar bahwa semua itu karena karunia Allah yang dilimpahkan kepadanya semenjak ia dekat dan menyantuni serta menyayangi anak-anak yatim.

(Artikel ini telah dimuat pada Majalah MATAN PWM Jatim edisi April 2024)