MAKNA IDUL FITRI DAN HALAL
BI HALAL
Oleh:
Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb!
Ust. Achmad Zuhdi yang dirahmati
Allah! Mohon penjelasan tentang makna Idul Fitri dan Halal Bi Halal, dan amalan
apa saja yang harus dilakukan sebelum maupun sesudah Idul Fitri? Atas
jawabannya kami sampaikan terima kasih. Jazakallah khairan katsiran! (Abidah,
Sidiarjo)
Jawab:
Wa’alaikumussalam wr wb!
Ada dua hari raya
yang dipandang sah dalam Islam, idul fitri dan idul adha. Sedangkan
hari-hari besar Islam lain yang biasa diperingati oleh umat Islam Indonesia
seperti perayaan tahun baru hijriyah, isra dan mi’raj. maulid Nabi, dan nuzulul
Qur’an adalah hari raya “budaya Islam”, bukan hari raya “agama Islam”.
Jika Amerika mengenal ada
perayaan “Thanksgiving Day”, yang diperingati setiap tahun pada hari Kamis keempat bulan
November, oleh rakyat negeri itu dengan
bersuka-ria dan bersyukur kepada Tuhan bersama keluarga, maka di Indonesia ada
perayaan “idul fitri”, di mana gerak mudik
rakyat Indonesia terdorong kuat untuk bertemu keluarga, ayah-ibu, sanak-saudara
yang dikemas dalam budaya silaturrahim dan halal bi halal.
Makna Idul Fitri
Idul fitri terdiri dari
kata ‘id dan al-fithr. Kata ‘id berasal dari akar yang sama dengan kata-kata ‘awdah atau ‘awdatun, ‘aadah atau ‘aadatun
dan isti’aadatun. Semua kata tersebut mengandung makna asal “kembali”
atau “terulang”. Ungkapan bahasa
Indonesia “adat-istiadat” adalah serapan dari bahasa Arab ‘aadat wa
isti’aadatun yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan
akan terus terulang, yakni sebagai “adat kebiasaan”. Dalam bahasa Arab, hari
raya diartikan dengan ‘id, karena ia akan selalu datang kembali
berulang-ulang secara periodik setiap tahun.
Sedangkan al-fithr
adalah satu akar dengan kata al-fihtrah, yang berarti “kejadian asal
yang suci” atau “kesucian asal”. Secara kebahasaan, fithrah searti
dengan khilqah, yaitu ciptaan atau penciptaan. Allah sebagai Maha
Pencipta adalah makna dari kata al-Khaliq atau al-Fathir. Dalam
perkembangannya, istilah al-fithrah kemudian berarti “penciptaan yang
suci”. Dalam pengertian ini, kata Nurcholis Madjid, semua segi kehidupan
seperti makan, minum, tidur dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada
manusia dan kemanusiaan adalah fithrah. Semua itu bernilai kebaikan dan
kesucian karena semuanya itu berasal dari desain penciptaan Tuhan. Karena itu,
berbuka puasa atau “kembali makan dan minum” setelah tadinya berpuasa juga
disebut ifthar, yang secara harfiah dapat diartikan “memenuhi fitrah”
yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan
wajar pada manusia, merupakan bagian dari fitrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini dapat dimengerti
mengapa Islam tidak membenarkan manusia berusaha menempuh hidup suci dengan
meninggalkan hal-hal yang wajar seperti makan, minum, tidur, berumah tangga dan
lain sebagainya. Dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan
bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Saya mendengar bahwa kamu (Abdullah bin ‘Amr
bin As) puasa sepanjang siang hari dan bangun untuk selalu salat malam? Benar,
Ya Rasulullah. Beliau kemudian mengingatkan dengan sabdanya: “Janganlah berbuat
begitu, berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan bangunlah untuk salat malam,
karena sesungguhnya bagi tubuhmu ada hak, bagi kedua matamu ada hak, bagi
isterimu ada hak dan bagi tamu juga ada hak”. Hadis ini menerangkan bahwa
segala tindakan manusia yang meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah
tindakan melawan fitrah.
Berangkat dari pemahaman
tentang arti idul fitri tersebut, dalam perayaan idul fitri -setelah selesai
berpuasa selama bulan Ramadan- terkandung makna kembali kepada hakikat yang
wajar dari manusia dan kemanusiaan, yaitu wajar untuk memenuhi keperluan makan
dan minum sampai kembalinya manusia kepada fitrah dalam arti mentauhidkan Allah
dan hanya ingin berbuat yang baik dan benar.
Fitrah terkait dengan hanif,
artinya suatu sifat dalam diri manusia yang cenderung memihak kepada
kebaikan dan kebenaran. Nabi saw bersabda:
الْبِرُّ مَااطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاطْمَأَنَّتْ
إِلَيْهِ النَّفْسُ،
وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ،
وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ
Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat hati dan jiwa
merasa tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah dan
menimbulkan kebimbangan dalam dada (HR. Ahmad dan lain-lain. Syekh Al-Albani
menilai hadis ini hasan)
Hadis tersebut menerangkan bahwa perbuatan dosa adalah
tindakan yang bertentangan dengan hati nurani, tidak sesuai dengan fitrah yang
suci. Karena itu, idul fitri dapat berarti kembali kepada hati nurani, yang
hanya cenderung kepada kebaikan dan kebenaran sesuai dengan fitrahnya. Keadaan
ini hanya bisa diraih oleh orang yang benar-benar telah melatih dirinya dengan
ibadah puasa selama bulan Ramadan. Nabi Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan ibadah puasa atas dasar iman dan
penuh perhitungan, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Idul fitri berarti kembali kepada kesucian. Kesucian,
kata Quraish Shihab, adalah gabungan
tiga unsur: benar, baik dan indah. Sehingga, seseorang yang ber-idul fitri
dalam arti “kembali ke kesuciannya” akan selalu berbuat yang indah, baik dan
benar. Bahkan lewat kesuciannya itu, ia akan memandang segalanya dengan
pandangan positif. Ia akan selalu mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah.
Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika dan
mencari yanag benar menimbulkan ilmu. Dengan pandangan demikian, ia akan
menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan dan keburukan orang lain. Kalaupun
itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif
tersebut. Dan apabila hal itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan
berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.
Menyambut Idul Fitri
Idul fitri adalah hari raya umat Islam setelah selesai melaksanakan
ibadah puasa selama sebulan penuh. Idul fitri artinya kembali berbuka, dan kembali kepada kesucian (fitrah). Setiap pribadi
muslim yang telah menyelesaikan ibadah puasa dengan dasar iman dan penuh perhitungan, ia akan mendapatkan
ampunan atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, bagaikan bayi
yang baru lahir dari rahim ibunya.( HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Untuk mengagungkan dan memarakkan suasana idul fitri, disunnahkan :
Pertama, mengagungkan asma Allah dengan melaksanakan “takbiran”, yakni
mengumandangkan takbir, tahmid dan taqdis, mulai dari terbenamnya
matahari pada malam iduli fitri hingga shalat iduli fitri dilaksanakan; Contoh lafal takbir menurut riwayat Umar dan Ibn Mas’ud (baca Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,
I/275) adalah sebagai berikut:
أَللهُ
اَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ
الْحَمْدُ
Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada Tuhan kecuali Allah,
Allah Maha Besar Allah Maha Besar. Bagi Allahlah segala puji
Kedua, Pada saat hari raya idul fitri di sunnahkan melakukan hal-hal sbb: a). Mandi besar,
sebelum shalat idul fitri; b). Memakai pakaian
yang baik dan sopan
disertai harum-haruman; c). Makan dan minum
sekedarnya sebelum berangkat menuju ke tempat shalat idul fitri, sebagai
tanda bahwa hari itu sudah tidak puasa; d). Menempuh
perjalanan menuju tempat shalat dan kembali dari shalat melalui jalan yang
berbeda; e). Melaksanakan
shalat sunnah idul fitri dua rakaat secara berjamaah di lapangan; f). Mengadakan
silaturrahim (halal bi halal) antara satu dengan yang lain, setelah shalat idul fitri. Dan bila bertemu antara
satu dengan yang lain dianjurkan mengucapkan :
تَقَبَّلَ
اللهُ مَنَّا وَمِنْكُمْ
“Semoga Allah berkenan menerima amal-amal kita”
(Sabiq, Fiqhus
Sunnah, Vol. I, 274. Baca juga al-Albani, Tamamul Minnah, 335)
Idul Fitri dan Halal bi Halal
Halal bi halal adalah
sebuah tradisi yang sudah mengakar di negeri ini. Pelaksanaannya biasa
dilakukan setelah shalat idul fitri atau dalam suasana lebaran. Inti dari kegiatan halal bi halal ini
adalah sama dengan silaturrahim.
Jika dilihat dari asal-usul istilah halal bi halal, memang
tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Bahkan
dalam kamus bahasa Arab pun tidak ada istilah halal bi halal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka terdapat keterangan bahwa
halal bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Atas dasar ini,
maksud halal bihalal sesuai dengan istilah bahasa Indonesia
adalah untuk menciptakan suasana saling memaafkan antara satu dengan yang lain (Tim Penyusun Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1989 hal, 293).
Berdasarkan maksud penyelenggaraan halal bi halal tersebut,
ada ulama yang berusaha melakukan identifikasi mengenai asal-usul istilah halal
bi halal ini.
Menurutnya, istilah halal bi halal ini mungkin diambil dari ungkapan sabda Nabi Saw yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sbb:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيْهِ
فِى عِرْضِهِ أَوْ شَيْئٍ
فَلْيَتَحَلّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ (رواه البخارى)
“Barangsiapa melakukan penganiayaan (kesalahan) terhadap orang
lain, baik menyangkut kehormatan ataupun yang lain, maka hendaknya pada saat
itu juga minta dihalalkan/dimaafkan”. (HR. Al-Bukhari)
Pada hadis tersebut terdapat ungkapan bahasa Arab “fal yatahallalhu”,
yang artinya hendaknya minta dihalalkan atau dimaafkan. Kata-kata inilah yang
diambil oleh ulama Indonesia tempo dulu dalam rangka menciptakan suatu momen di
mana antara satu orang dengan yang lain bisa saling memaafkan. Istilah saling halal menghalalkan ini kemudian didekatkan dengan
kaidah bahasa Arab sehingga menjadi halal bi halal. Dengan demikian, halal bi halal bukanlah asli istilah dari Arab,
tetapi sengaja dibuat oleh ulama Indonesia dengan menggunakan kosakata Arab.
Sebenarnya perintah untuk saling halal-menghalalkan atau
maaf-memaafkan antara satu dengan yang lain, bukanlah hanya pada saat lebaran
atau dalam suasana idul fitri saja, akan tetapi berlaku sepanjang waktu, kapan saja, di mana
saja bilamana telah melakukan kesalahan atau penganiayaan kepada orang
lain. Imam al-Kahlani al-Shan’ani dalam kitabnya “Subul al-Salam”
mengatakan bahwa berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari
tersebut menunjukkan “wujub al-istihlal”, yakni kewajiban meminta maaf kepada orang yang didzalimi.
Mengenai ditempatkannya acara halal bi halal pada suasana lebaran atau suasana idul fitri, hal ini
ada hubungannya dengan amalan ibadah puasa. Salah satu bukti orang yang
berhasil melakukan ibadah puasa adalah munculnya sikap atau kepribadian yang
positif, di antaranya adalah suka memaafkan kepada orang
lain. Nah, dengan melakukan halal bi halal
yakni saling memaafkan antara satu dengan yang lain, diharapkan hal itu
menjadi salah satu bukti keberhasilan ibadah
puasanya. Orang inilah yang insya Allah akan
benar-benar dapat menikmati hakikat ber-idul fitri.
Wallahu a’lam !